RUANG RENUNG #11: Peluang Bagi-bagi Cipta ala Tukang Bakso dalam Berbagi Berkarya
Tulisan ini adalah refleksi atas pameran seni rupa perupa Carla Agustian yang bertajuk Metamorfora pada 6-29 Januari 2023 di Galeri Ruang Dini di Kota Bandung.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
20 Februari 2023
BandungBergerak.id – Sebuah karya bukan perkara penghias dinding, karena bila lukisan hanya sekadar menghias dinding maka guratan atau coretan warna tersebut hanya sekadar “warna plus-plus” yang menjadi aksen ala kadarnya dari sang dinding. “Dekorasi plus-plus” bahkan tidak mampu mengatasi “dinding minus”. Bila sebuah lukisan ingin mengatasi kerasnya permukaan semen atau bahkan beton, maka sang kanvas harus bisa mengatasi dingin dan kerasnya matra permukaan dua dimensional yang hampir menafikan waktu.
Baca Juga: RUANG RENUNG #10: Meniti Parade Agora Tahun Baru Hening
RUANG RENUNG #9: Godaan Tertib dalam Rangkulan Kenakalan Hasrat
RUANG RENUNG #8: Merengkuh Realitas dalam Serpihan Cermin-cermin Retak
RUANG RENUNG #7: Jeda Titik Transit dalam Repetisi Identitas
“Bakso” Sang Perupa
Perupa bisa menempuh berbagai cara, dan inilah refleksi atas karya-karya yang dihadirkan oleh Metamorfora dari Carla Agustian dalam pameran yang berlangsung di Galeri Ruang Dini dari tanggal 6 sampai dengan 29 Januari di awal tahun 2023 ini. Cara yang ditempuh oleh sang seniman kali ini adalah kolaborasi hibrid, dan pengunjung pameran seperti sedang diajak makan bakso oleh Carla. Budaya sharing yang menjadi langgam hidup kita di abad ini seolah sudah meresap dan mendarah serta mendaging; dan, jauh sebelum kita membagikan apapun dalam hidup kita termasuk rahasia dapur dan kamar tidur.
Jauh sebelum Instagram dan Youtube menjadi keseharian kita yang paling intim, bagi membagi peran sudah menjadi detak keseharian orang Indonesia – tanpa perlu mengacu pada keluhuran nilai-nilai gotong-royong serta kemufakatan. Bakso adalah sesuatu yang asing bila Anda orang dari negara yang hidup di budaya suguhan sebagai sesuatu yang final. Di Eropa misalnya – apalagi di negara dengan kebanggaan kuliner tinggi seperti Perancis, apa yang disajikan sang chef tidak boleh diganggu gugat. Adalah sebuah skandal untuk sekadar menambahkan garam pada sajian di hotel bintang lima yang digawangi seorang koki dengan medali Michelin: Anda bisa diusir keluar dari restoran.
Bakso, sebaliknya, adalah titik ekstrem ujung dari ketatnya cita rasa restoran kelas langitan. Hidangan bakso masuk menyeruak ke mana-mana, dari jalan sahaja ke istana berulas karpet merah: yang makan ikut menentukan. Sambal, saus, kecap, cuka, dan beberapa bumbu lainnya menghias meja hidangan sang penjual. Karya yang muncul di dalam mangkuk tersebut adalah sebuah kolaborasi yang tidak bisa disangkal: peran sang “mamang” dan pedagang sama-sama monumental. Semangkuk bakso adalah sebuah upaya hibrid untuk memberi makna dengan cara berbagi peran dalam mencipta dan berkarya. Pameran Carla ini tak ubahnya bagai seutas kedai bakso yang membantu kita mewujudkan imajinasi kita.
Dari Aku Berkarya Menjadi Kita Berkarya
Carla memberi sebuah alternatif untuk melihat kata “aku” dan kemudian memperluasnya menjadi kita. Seorang filsuf Perancis, Bruno Latour, menggulirkan sebuah wacana baru tentang cara kita mengetahui. Bagi Latour, “saya adalah” – je suis – tidak sekaya “kita adalah” – on est. Latour bahkan menambahkan bahwa “saya adalah yang lain” – je suis un autre – masih lebih miskin dari “kita adalah yang lain” – on est un autre. Namun demikian, “saya” – je – tidak boleh disepelekan karena kita punya hak sebagai pihak yang aktif terlibat – aktan, istilah yang diambil Latour dari dunia seni peran.
Latour kemudian menawarkan sebuah solusi yang tidak lazim yang sulit kita cerna dalam perspektif bahasa Indonesia: Je est un autre. Verba “est” di sini memiliki nuansa orang ketiga tunggal dan sekaligus jamak. Dalam bahasa Perancis kata kami adalah “nous” yang berbeda dengan kita – “on”. Menggabungkan “je” dengan “est” seperti saya yang mempergunakan tangan yang lain dalam kerangka bekerja bersama. Di dalam bahasa Indonesia kita bisa memahaminya sebagai “saya sebagai yang lain yang sedang bertindak dalam kesayaan yang sangat kita”. Bak boneka Rusia yang menubuhkan paradoks tentang yang di luar ada di dalam kedalaman saya, demikian pula cara sang seniman ini bekerja.
Meski terkesan asing, kita bisa kembali lagi ke contoh bakso yang penuh kesederhanaan dan sarat kedalaman tentang berbagi. Sang “mamang bakso” dalam berkarya adalah sang “je” yang sedang bekerja dengan kita – “on” – pada saat yang bersamaan. Dalam bahasa Latour, sang tukang bakso sebagai mediator bukan sekadar menengahi – intermediasi – tetapi aktif mengubah. Sang tukang bakso adalah mediator upaya kita menyudahi rasa lapar, dan dia hadir di dalam kita lewat bakso yang siap kita bumbui ulang.
Kanvas Rasa yang Tidak Pernah Penuh
Carla dalam “gerobak bakso”-nya kali ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Yang ditawarkan sang seniman adalah kanvas-kanvas kosong yang berisi. Menariknya, kanvas ini berisi hingga kita mengosongkannya lewat alat kerja yang dipamerkan bersama dengan karya sang perupa. Ia memamerkan artefak proses ciptanya bukan sebagai bukti otentik bahwa perupa ini sudah bekerja, justru sebaliknya, alat-alat kerja ini diberikan untuk kita sang pengamat yang mencoba melanjutkan ulang – entah afirmasi entah negasi – kanvas-kanvas yang berjejer di dinding ruang pamer.
Singkatnya, proses berkarya ini adalah titipan untuk kita berkarya melanjutkan. Carla menawarkan semangkuk bakso yang tidak selesai kepada para pengunjung, dan justru undangan ini yang harus kita penuhi untuk “mengunjungi” pameran sesungguhnya yang ada di kepala kita. Bila kita mengacu pada tawaran judul sang seniman – metamorfora – maka yang dihadirkan Carla adalah dirinya sebagai ulat dan dedaunan alat kerja di tengah ruang agar kita dapat segera melepas sang kupu-kupu di kepala kita dan masuk dalam transformasi imaji.
Proses ini tidak mudah dan sangat jarang, meskipun demikian, dan tidak setiap pengunjung mau masuk ke pameran yang sesungguhnya. Di dalam gelagat verbal yang cenderung literal, semua nuansa sublim biasanya hanyut ditelan apapun yang instan. Pameran ini mungkin akan hanya menghasilkan ulat-ulat imajinasi lapar yang gagal menjadi kupu-kupu, namun setidaknya bila ada beberapa yang mau tekun memupuk sang ulat masuk dalam tahap kepompong, maka bingkisan pengalaman yang kita temukan di “pameran kedua” jelas tidak akan mengecewakan.