• Kolom
  • RUANG RENUNG #17: Mengais Sein zum Leben dari Puing Sein zum Tode

RUANG RENUNG #17: Mengais Sein zum Leben dari Puing Sein zum Tode

Seniman Luky Supriadi dan Trie Aryadi Harijoto mencoba menjejalkan bayang-bayang kematian lewat pameran bertajuk Preliminaries di galeri Orbital Dago.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Bincang santai seniman Luky Supriadi, Trie Aryadi Harijoto, dan sang kurator Mujahidin Nurrahman dalam pembukaan pameran bertajuk Preliminaries di galeri Orbital Dago. (Foto: Mardohar B. B. Simanjuntak)

17 Mei 2023


BandungBergerak.id – Seandainya manusia bisa hidup sampai seribu tahun, atau bahkan lebih, mungkin kita tidak akan menghasilkan apa-apa. Demikian pola pikir paradigmatik yang dijulangkan oleh pemikir Martin Heidegger lewat “Sein zum Tode”: hidup itu akan mencapai titik sempurnanya dalam bayang-bayang kematian. Harta terbesar manusia (Dasein, dalam istilah Heideggerian) adalah kerapuhan dan kefanaannya. Pada titik ini kita bisa menarik garis ekstrapolasi yang keras – dan mungkin getas – bahwa peradaban manusia hingga saat ini adalah sebuah bentuk adorasi – pemujaan – kematian. Setidaknya Luky Supriadi dan Trie Aryadi Harijoto mencoba menjejalkan itu ke mata kita, lewat pameran Preliminaries di galeri Orbital Dago, dari tanggal 21 Maret hingga 30 April 2023 yang lalu.

Baca Juga: RUANG RENUNG #16: An Other Land, Jotosan Balik Sang Nir-waktu Nir-ruang
RUANG RENUNG #15: Land/Escape, Keping-Retak Musik Kamar untuk Simfoni Embrionik Ganjil
RUANG RENUNG #14: Bersaing Meng-aku di Tengah Impitan Pasar Cinta

Seniman Setengah Mati dan Kesetengahmatian Seorang Seniman

Pameran Preliminaries kali ini mengambil format pembukaan sebagai sebuah momen tanya jawab seniman sekaligus. Bersama sang kurator, seniman Mujahidin Nurrahman, format bincang yang terkesan santai dan longgar ini memuat banyak ruang untuk ditilik dan ditarik untuk menjadi sebuah diskursus; meski Mujahidin mengingatkan bahwa baik bagi Luky maupun Trie gelaran karya tandem ini adalah sebuah langkah awal – sekaligus sebuah penjelasan tentang judul pameran. Setelah aktif demi periuk nasi keluarga mereka, kembalinya Trie dan Luky lebih berupa panggilan daripada paksaan. Mereka ingin menuangkan “perjumpaan” mereka dengan sang maut.

Bagi Luky, perkenalannya dengan titik pencabutan nyawa adalah pengalaman tangan pertama: ia mengalaminya secara langsung. Luky punya masalah kardiologis yang membuatnya sempat melihat sebuah dunia yang putih begitu saja – sebuah NDE – atau Near Death Experience. Pengalaman itu datang padanya pada saat jantungnya menolak untuk melanjutkan denyut ke detak berikutnya. Alhasil, Luky sudah “berjabat tangan” dengan maut, meski uluran tangan itu kemudian ditolak dan Luky kembali ke dunia hidup yang dia kenali sejak lahir. Berbeda dengan Luky yang langsung merasakan – entah debaran entah greget – titik final tubuh biologis manusia, Trie mendapatkannya dari tangan kedua.

Aryo – demikian panggilan akrab dari Trie – mengalami kematian secara “biasa”: sebuah titik saat orang yang kita cintai berakhir tanda biologisnya dan berhenti berinteraksi dan segera masuk dalam tahap inkapasitansi. Adalah sang ayah yang menjadi kartu undangan bagi Aryo untuk masuk dan membahas kematian, dan mencoba mengakrabinya, sekalipun mungkin setiap detik yang ia rengkuh terasa seperti berjalan di atas balok es tanpa ujung dengan telapak kaki tak beralas. Seperti berbagai seniman yang telah mengisi sejarah seni dengan kontemplasi intim mereka – sebuah obituari dari orang tersayang dan sekaligus terdekat – yang ditulis dengan catatan kaki berbalut air mata. Meskipun demikian, baik Aryo yang mendapatkannya secara “tidak langsung” maupun Luky yang satu kakinya sudah pernah menginjak dunia orang mati keduanya punya pesan sederhana: kematian itu biasa.

Biasa Mati dan Luar Biasa Mati

Karena kematian biasa, maka akrabilah ia dengan “biasa-biasa saja” – tukas Mujahidin. Bila dalam menyikapi kematian semua panca indera manusia dalam keadaan siap siaga, maka kedua seniman pun hanya menyajikan satu hidangan cerapan inderawi saja: mata; itu pun dengan “kebiasa-biasa sajaan” yang menolak untuk memberikan eskalasi sensasi yang bisa membawa imajinasi kita selangkah lebih dekat dengan kengerian akan kematian. Bahkan film bergenre horor masih menawarkan poin auditif yang membuat pengalaman menonton dengan kekasih tercinta menjadi kesempatan untuk berteriak dan memeluk dalam “ketakutan”. Semua karya yang tersaji lebih berupa buku harian yang ditulis dengan cara yang sama dengan keseharian kita berbelanja sabun cuci piring di toko terdekat. Tidak ada yang khusus dari kematian, titik.

Menariknya, kematian tidak pernah biasa-biasa saja. Kerapuhan biologis manusialah yang membuat manusia menciptakan arsitektur yang paling pertama dalam sejarah peradabannya: sebuah kuil – bangunan spiritual sebagai jawaban atas ketidakmampuan kita menjawab pertanyaan sederhana: apa yang terjadi setelah kita mati. Lihat Göbekli Tepe, lihat Stone Henge, dan lalu lihat piramida yang ada di Mesir. Lihat pula Taj Mahal, dan lihat berbagai monumen lainnya di dunia. Bangunan-bangunan kolosal historis itu sebenarnya adalah batu nisan dalam skala monumental, dan tanpa kematian tidak akan ada arsitektur. Manusia menulis karena ia bakal mati. Kematian yang membuat manusia membuat sistem monarki: The king is dead, long live the king! Kematian memicu ilmu kedokteran. Manusia hidup atas kematian mahluk lain: bahan makanan. Kematian itu luar biasa.

Argumen Lucretius dan Imortalitas

Mujahidin, Aryo, dan Luky, setidaknya punya alasan untuk memeyoratifkan kematian. Pemikir dari era Epikurean, Lukretius, menawarkan sebuah argumen yang jika dipadatkan oleh pemikir Steven Luper dapat kita kuras dan ekstrak dalam dua kalimat: sebelum kita lahir ketiadaan kita biasa-biasa saja; selanjutnya, jika demikian, maka ketiadaan kita setelah kita menjalani kehidupan adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Sederhananya: sebelum kita hidup kita bukan apa-apa, sehingga bila kita mati menjadi bukan apa-apa, kita tidak kehilangan apa-apa. Argumen ini mungkin bisa mementahkan segala kekhawatiran yang “tidak penting” tentang dimensi eksistensial kita. Namun demikian, saat mati menjadi sesuatu yang samar, premis semacam ini menjadi tidak relevan.

Ada telomere: sebuah enzim yang berperan dalam hidup matinya sel. Bila telomere tidak pernah habis, maka seribu tahun bukan masalah. Ada proyek konektom: kesadaran neural manusia disimpan dalam bentuk interaksi saraf artifisial. Pemetaan model konektomik dari otak saya berarti saya tidak akan pernah punah – sebuah kecerdasan buatan yang berbicara seperti saya, menulis seperti saya, dan berpikir seperti saya akan selalu abadi. Ada peta genomik: sebuah rekaman akurat dan sangat rinci – tersekuensi – dari keberadaan biologis saya. Bila peta genomik saya disimpan, maka saya secara biologis dapat dihadirkan kapan saja. Bahkan peta kode genetik semacam ini berguna saat saya hidup: koreksi atas penyakit dan anomali bisa dengan mudah dilakukan pada level selular. Saya bisa terus dikoreksi selama ratusan tahun – dan hidup.

Singkat cerita, Lukretius tidak lagi relevan. Kehadiran manusia sekarang adalah untuk tetap hidup, setidaknya di paruh kedua abad ini kita mungkin mulai rutin merayakan ulang tahun ke-100 serutin kita merayakannya setiap tahun. Dengan bertambah padatnya jejak eksistensial kita, maka kita tidak lagi biasa-biasa saja, bahkan setelah kita mati. Heidegger pun harus belajar menelan ludahnya sendiri: kita sekarang ada untuk hidup – Sein zum Leben. Bila sebelumnya keberadaban manusia dibangun di atas kematian, sekarang kita masuk babak selanjutnya: kita harus menyusun bata-demi-bata peradaban di atas kehidupan. Sekarang tidak ada lagi finitum yang bisa memanjakan kita untuk menjadi lebih manusia. Bagai berlari dari garis awal tanpa garis akhir, hanya ad infinitum yang akan menemani kita terus sampai titik final yang tak akan pernah selesai.     

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//