RUANG RENUNG #16: An Other Land, Jotosan Balik Sang Nir-waktu Nir-ruang
Pameran foto An Other Land , Bandung Photography Triennale babak kedua di Galeri Orbital Bandung. Mementahkan optimisme, menegasi semua kenyamanan fotografi.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
8 Mei 2023
BandungBergerak.id – Tulisan ini dibuat pada tanggal 4 Mei 2023 – satu hari setelah pembukaan pameran Bandung Photography Triennale babak kedua: An Other Land, yang digelar di Galeri Orbital dan akan berlangsung selama sepuluh hari hingga tanggal 14 Mei. Dengan tandem kurator rumah Rifky “Goro” Effendy – Henrycus Napitsunargo melanjutkan eksperimen solonya yang dimulai di Gedung Pusat Kebudayaan – Maret lalu. Tanggal 4 Mei – untuk mereka yang tidak berminat dengan kegilaan mitos abad 20 Star Wars – adalah “May the Fourth”: sebuah pelintiran dari diktum bangun remitologisasi yang digagas oleh George Lucas, “May the force be with you”.
Baca Juga: RUANG RENUNG #15: Land/Escape, Keping-Retak Musik Kamar untuk Simfoni Embrionik Ganjil
RUANG RENUNG #14: Bersaing Meng-aku di Tengah Impitan Pasar Cinta
RUANG RENUNG #13: Dilema Sang Penipu, Merengut Verasitas dari Keruhnya Realitas
Strauss, Lucas, dan Also sprach Zarathustra
Komposisi dari Richard Strauss mematok sebuah prasasti tak tertulis – bahkan keniscayaan – bahwa bangun mitologi berjalan dalam tiga tahapan; setidaknya itulah pesan komposisi kolosal Also sprach Zarathustra yang berbau Nietzschean. Sang Übermensch – manusia super – mesti hadir dalam tiga peristiwa: bangun, jatuh dan bangun, dan akhir terbang ke angkasa. Strauss dengan cerdik – dan cerdas – merangkumnya secara triadik dalam sebuah overture – pembukaan – dan membuatnya seolah begitu mudah. Bahkan orang yang baru pertama kali menyentuh tuts piano dapat memainkannya.
Sebelum diambil oleh raksasa media Disney – Star Wars adalah sebuah upaya untuk membuat cerita api unggun pengantar tidur dari zaman prasejarah relevan dengan peluncuran roket dan pendaratan Neil Armstrong, manusia pertama di bulan, di titik Mare Tranqualitatis pada tanggal 20 Juli 1969. Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada tanggal 7 Desember 1972 waktu Planet Bumi, astronot sekaligus ilmuwan tim Apollo 17 Harrison H. Schmitt untuk pertama kalinya mengambil foto “mutiara biru” planet yang menjadi rumah manusia selama dua setengah juta tahun. Lima tahun kemudian, dari berbagai tradisi wira-carita, dari mitos Nordik J.R.R. Tolkien di Inggris hingga legenda bushi-ronin Eiji Yoshikawa Miyamoto Musashi di Jepang, Lucas mereinvensi sebuah mitos abad antar-planet: Star Wars.
Lucas menggabungkan struktur lapisan ksatria Eropa dengan sosok karismatik bushido Jepang. Sebuah kasta baru pun lahir: Jedi. Bangun awal narasi Lucas dikemas persis seperti yang diwangsitkan oleh Strauss: sebuah konstruksi dalam tiga tahapan. Tahun 1977 adalah saat “kelahiran” tokoh Luke Skywalker dalam A New Hope. Sekuel berikutnya, The Empire Strikes Back, adalah saat sang pahlawan bangun dan jatuh. Sekuel asli terakhirnya, Return of the Jedi, sebelum waralaba ini menjelma menjadi sembilan seri – adalah saat Luke Skywalker “terbang ke langit” dan menghajar angkara murka sang Kaisar Sith dan mengembalikan perdamaian ke pangkuan galaksi.
The God Father, Harry Potter, dan Tanah-tanah Tak Bernama
Kejatuhbangunan karakter Skywalker dalam The Empire Strikes Back adalah sebuah situasi gamang dan ambigu. Sebuah limbo dalam tradisi religius tertentu. Sebuah tanah tak bertuan: tempat ketidakpastian dan ketidaknyamanan tumbuh subur dan membunuh harapan yang baru disemai. Kedigjayaan yang baru tumbuh pun sirna tanpa harap. Dan dua ikon kultural lainnya, The Godfather dan Harry Potter, pun menggemakan hal yang sama.
Michael Corleone yang digjaya di bangun awal cerita berlatar kekejaman Mafia Sisilia pun seolah pupus di The Godfather Part II, saat saudaranya sendiri mencoba membunuhnya dan ia harus pun terpaksa membunuh saudara seayah dan seibunya. Kehebatan Harry pun seolah menjadi tanpa arah hilang makna dalam Harry Potter and the Half-Blood Prince, saat mentor terbaiknya, Albus Dumbledore, harus mati dan meninggalkan Harry seorang diri menghadapi Lord Voldemort – sang nemesis yang semakin kuat dengan pasukan Death Eaters-nya.
Tera incognita semacam ini memang sebuah tahapan yang bukan untuk para pecundang, meski kita bisa tampil sebagai diri kita yang paling dipecundangi. Risiko semacam ini yang akhirnya ditempuh oleh Henrycus – Icus – yang akhirnya menguras stamina intelektualnya juga. Setidaknya, sekalipun ia harus jatuh kali ini, Icus menyadari penuh risiko yang ia tempuh. Sebagaimana kutukan yang melekat dalam judulnya, An Other Land, sang kurator masuk dalam limbo semiotik yang akhirnya menegasi keseluruhan pameran itu sendiri.
May the force be with you?
Pameran bangun dan jatuh ala Strauss ini mencoba untuk mementahkan titik nyaman. Semua imaji fotografis biasanya selalu mengandalkan yang itu-itu juga dan itu-itu saja: titik-titik nyaman. Semua komposisi “cantik” bahkan menarik kenyamanan ini pada tahapan prostitusi visual. Kemanjaan diumbar dengan bebas dan buasnya, dan bahkan semua titik adalah pijatan plus-plus bagi organ visual kita termanja ini. Persis titik inilah yang dilibas oleh Icus. Ia memastikan bahwa kedelapan seniman yang ia giring ke tempat eksekusi semiotik ini tidak memberi titik berhenti yang diandalkan. Mata kita dipaksa untuk bergerak, dan bahkan saat mata kita benar-benar berhenti – kegamangan konseptual kita mulai.
Ada yang “memotret gempa”, ada yang menghadirkan waktu yang berputar-putar tanpa alur lewat kenangan visuo-literal tentang sang ibu, ada yang membunuh medium lentur kertas dan menggantinya dengan kekakuan alumunium, ada yang memotret dengan cantik untuk menghadirkan pisau sarkasme sosial yang seketika membunuh kepuasan visualnya. Ada yang menghantam titik tengah dengan negasi oposisi biner langsung beton versus alam. Ada yang menegasi harapan dalam mengintip imaji lewat jendela kereta, ada yang memberi lubang untuk mengintip tapi mencincang imaji yang bisa diintip. Ada yang terang-terangan menghadirkan “diam” tetapi kemudian menariknya dengan tusukan benang untuk membuatnya menjadi “setengah foto”.
Henrycus kali ini menjadi berandalan intelektual yang menegasi semua kenyamanan fotografi – bukan fotografis – ke titik negasi dan distopia. Kedelapan “algojo” yang ia bawa dengan sukses membuat pameran ini gagal pamer dengan penuh kesengajaan. Ia tidak memamerkan foto apapun di galeri ini; ia dengan sengaja menggelindingkan roda Sisiphean yang merusak kenikmatan melihat yang semestinya sudah menjadi hak para pengamat. Dengan ini, Icus membuka dan sekaligus menutup pamerannya. Pita yang barusan ia gunting ia sambungkan kembali, dan para pengunjung segera dipulangkan dengan paksa. Ia mempecundangi dirinya dengan sengaja – dan mementahkan semua optimisme yang mungkin terbangun di sekuel pertama, Land/Escape dari rangkaian pameran jilid dua ini.
Pengunjung pameran mungkin berhak menampar Henrycus pada titik ini, karena ia telah mengambil apa yang menjadi hak pengunjung. Yang datang ke pameran ini telah memberikan waktunya, dan Icus dengan sukses dan jahil mengambil kembali jamuan temporo-spasio-visual yang mestinya ia berikan pada mereka yang telah membayar dengan dengan mata uang temporal dan spasial. Tidak ubahnya seperti pedagang yang menolak memberikan barang pada pelanggan yang sudah membayar, seperti itulah polah sang berandal kali ini. Seperti disengaja pula, sang kurator seolah sudah bersedia untuk ditampar. Dan mungkin setelah menamparnya berkali-kali, kita baru menyadari bahwa yang kita tampar adalah diri kita sendiri, dan yang kita anggap nyaman adalah sesuatu yang sebenarnya sangat semu.
Biru atau merah, Mr. Anderson?
Tulisan ini penuh dengan ikon kultural, karena memang untuk menghibur kekalahan kita butuh cerita-cerita kemenangan yang tidak sesederhana datang, lihat, dan menang. Persis seperti konvensi mitik yang digadang oleh Strauss, titik tengah memang tidak nyaman, karena garis awal sudah kita tinggalkan, dan garis akhir belum kita jelang. Penulis pun kecewa dengan sang kurator – yang kali ini seakan merobek tiket menonton film di depan penulis, melemparkan potongannya ke muka, dan tidak pernah menayangkan film yang dijanjikan. Kedatangan penulis ke ruang pamer ternyata memang didesain untuk tidak mendapatkan apa-apa. Tidak ada narasi teleologis di sini, yang ada hanya konstruksi negatoris.
The eternal now – kata Nietzsche – justru hadir di tera-tera incognita seperti ini. Konsep yang tidak memiliki label verbal memang tidak pernah nyaman; setidaknyaman kita saat tersesat di sudut kota yang baru pertama kali kita sambangi di titik malam buta tanpa ongkos dan ponsel yang tertinggal di kamar hotel. Namun seperti fragmen abadi dari cult film berjudul The Matrix, saat Morpheus menyodorkan dua pil pada Neo – sang Thomas A. Anderson, Icus kali ini hanya menyodorkan pahitnya fotografi di era kecerdasan mesin. Perkara kita mau menyambut atau menepisnya, sepenuhnya itu adalah hak kita.