• Kolom
  • RUANG RENUNG #21: Vaksin Fotografis untuk Daya Tahan Visuo-Mental Pasca Pandemi

RUANG RENUNG #21: Vaksin Fotografis untuk Daya Tahan Visuo-Mental Pasca Pandemi

Karya Asmujo menjadi pencuri perhatian di pameran Aesthetic Defence Mechanism di Galeri Teras Bandung. Karya kontemporer yang kental dengan semangat pembongkaran.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Karya Asmujo J. Irianto yang berjudul Untitled dalam pameran Aesthetic Defence Mechanism di Galeri Teras Bandung. (Foto: Mardohar B. B. Simanjuntak)

17 Juni 2023


BandungBergerak.id – Tidak ada foto yang dipamerkan dalam gelaran pameran Aesthetic Defence Mechanism yang dikuratori oleh duo Rizki “Kiki” Zaelani dan Rifky “Goro” Effendi. Semuanya lukisan, dan 27 orang yang karyanya hadir di sini adalah perupa yang setara di ATP Tour Grand Slam bila kita sandingkan dengan dunia tenis lapangan.

Namun ada satu perupa senior – yang lebih suka dikenal dengan sapaan seniman-kurator – Asmujo J. Irianto, yang sedikit pun tidak menghadirkan medium yang bersentuhan dengan cat atau kuas. Dari delapan cara – jika yang diterakan oleh Mas Kiki – sapaan akrab sang kurator – di dinding teks memang benar, kita jelas bisa memahami satu: sebuah karya yang dengan kecerdikan seni kontemporernya mencuri ruang dan mengambil waktu tanpa seizin karya-karya lainnya.

Baca Juga: RUANG RENUNG #18: “Door to the River”, Sisa Tenaga saat para Begawan Kadaluwarsa
RUANG RENUNG #19: That Final “Door to the River”, Kisah Tiga Laga
RUANG RENUNG #20: Menginstagramkan Ruang Pamer untuk Pamer di Instagram

Arsene Lupin dan Usikan Mencuri dari Hati

Literatur Perancis mencoba mencari celah sosok pencuri yang baik hati yang selama ratusan tahun menghiasi istirahat malam dan sejukan api unggun di berbagai tempat di benua Eropa – sosok sang Robin Hood dari hutan Sherwood. Bangsa pengabdi anggur ini terlalu anggun untuk kasarnya busur dan panah, dan mereka butuh persona yang elegan – yang bisa memukau dengan tangkai bunga mawar sekaligus meliuk lincah di antara pilar-pilar Versailles dan lolos dari kekakuan tubuh pejal pengawal istana, dengan keangkuhan permata bangsawan istana di saku – yang nanti akan berakhir jadi roti bagi mereka yang kelaparan di jalanan. Sebuah tafsiran sukses yang menemani suksesnya Debussy – lagi-lagi – yang merebut atensi publik musik dari dominasi komposer Jerman and Austria.

Asmujo memang seperti sedang mencoba menitikkan jeda terang bulan sang Clair de lune di antara sesakkan simfoni-simfoni buah intelektual komposer-komposer Wina yang menarik realitas mitik dan membawanya menjadi sebuah petualangan intelektual. Dengan cerdik Asmujo mencuri satu petik nada yang masih tergolong tonal – namun tidak dalam keseragaman tonalitas rampak dengan nada-nada yang tersuguhkan di pameran ini. Sang seniman-kurator bermain dengan moda operandi Lupinian, dan tiga lapisan pesan ia urai dari detak spasio-temporal yang singgah di Galeri Teras ini dari tanggal 20 Mei hingga 20 Juni 2023.

Luapan Semesta dalam Klaim Antroposen

Tanpa sadar, kita selalu masuk ke ruang monologis subjek yang mengobjektivikasi. Tanpa kita bisa kita paham juga, kita selalu menempatkan diri dalam disposisi objek yang siap diobjektivikasi. Tanpa perlawanan pula, kita menawarkan mata kita untuk melihat – tanpa perlu merasa untuk dilihat. Ketiganya sebenarnya adalah kulminasi dari arus seni yang berakar dari fondasi dikotomis subjek-objek yang kuat mengakar pada tradisi yang mungkin merupakan konsekuensi logis dari dimulainya revolusi agrikultural dalam sejarah peradaban manusia. Seorang petani dengan mudah akan menganggap dirinya sebagai subjek dari lahan yang digarap. Wajar – bila sang petani menjadi penting – karena tanpa kerja tangannya, tanah hanya tanah yang tidak punya nilai tambah dalam simfoni kehidupan.

Padi dan tanah – jika mereka punya suara – mungkin akan berteriak keras untuk menyentak tepukan bangga di dada sang petani dengan sebuah sela kearifan yang sulit untuk dibantah: “kami” – tukas sang “objek” – ada ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, atau mungkin jutaan tahun sebelum “kamu”. Objek-objek ini punya revolusi Kambrian yang ilmiah untuk membuktikannya. Homo sapiens dalam sejarah planet yang berumur 4 miliar tahun lebih ini baru saja bertandang sesekilas anak kos-kosan, namun manusia punya lagak seperti pemilik bumi. Sama seperti para kolonialis yang menancapkan bendera di benua Australia dan dengan lantang bercampur haru keangkuhan meneriakkan; “ini milik kami”, arogansi manusia saat revolusi agrikultural dimulai dengan proklamasi sepihak atas supremasi subjek yang dirasa sangat “wajar” dan “alami”.

Petikan Seni yang (Sejenak) Berhenti Menjadi Subjek

Seni adalah bayang-bayang material dari pekatnya realitas imajiner dalam kepala manusia. Dari ekspresi kolektif, menjadi kesenangan privat, dan akhirnya komoditas, seni dalam orgasme dikotomisnya memuncak dalam serpih-serpih Modernisme yang membuat sebuah karya menjadi sangat bernilai adalah kerja keras tripartit yang menyingkirkan segala kemungkinan peran partisan kultural – seberapa remeh pun itu. Seperti barang dagangan apapun – dari pengepul barang bekas hingga butik penjual tas seharga sebuah mobil SUV terbaru, selalu ada produsen, perantara, dan konsumen.

Setiap titik itu – dalam orat-oret Deleuzian – memiliki relasi kuasa hierarkis monologis: atas berbicara dan bawah mendengarkan. Seniman berbicara, dan material mendengarkan. Galeri berbicara, dan seniman mendengarkan. Kolektor berbicara, dan galeri mendengarkan. Dan mungkin, kritikus dan kurator berbicara, dan kolektor mendengarkan.

Arus linear semacam ini menghasilkan penebalan dan mungkin kristalisasi relasi komodifikasi yang sifatnya tidak dapat balik (non-reversible). Kejenuhan – saturasi – linearitas akhirnya membuat seni ambruk – gravitasi kapital tidak lagi sanggup ditopang oleh infrastruktur yang paling dasar: seniman dan kemampuannya menghasilkan dan mempertanggungjawabkan karya. Bila hal semacam ini terjadi pada komoditas yang tahan lama – seperti bahan baku atau bahan jadi yang tidak mengenal kata busuk dan layu – konsistensi kuantitas dan kualitas barang dagangan dapat dengan mudah dikendalikan. Penambahan kurva permintaan bisa diimbangi dengan kurva persediaan yang sifatnya lebih terukur dan mudah dikendalikan. Pengomodifikasian karya seni mengandaikan seorang seniman yang harus terukur dan terkendali.

Konsekuensi dari garis argumen ini adalah pada hakikatnya semuanya adalah pengrajin. Seniman papan atas pun hanya menghasilkan kerajinan, yang dikonsumsi oleh konsumen yang bersedia mengeluarkan uang lebih.

Intip Jahil seorang Asmujo

Seni kontemporer adalah reaksi atas siklus ban berjalan seperti ini. Dan sebagai reaksi antitesis, nilai – atau gereget – karya kontemporer akhirnya mengental dalam semangat “pembongkaran”. Lepasnya seni dari penjara siklik komodifikasi memang membuatnya menjadi semakin bernas: seni ada dalam tahapan genesis dari konstruksi wacana, yang sangat konstruktif bagi peradaban. Namun harga yang harus dibayar sama sekali tidak murah: saat seni menjadi titik dialektik dari sebuah gerak intelektual – maka apresiasi finansial yang bergantung pada mata rantai dikotomis subjektivikasi dan objektivikasi pun terkikis – atau bahkan lenyap sama sekali. Sederhananya, saat barang dagangannya menjadi tidak terukur dan lepas dari “nilai masa depan” – anuitas, pedagang tidak punya satu pun untuk dijual. Konsekuensinya, toko harus ditutup dan bisnis harus menggulung tikar yang pernah digelar.

Di antara 27 karya yang dipamerkan, karya Untitled dari sang penggugat memang sudah direlakan sebagai filantropi makna. Dibuat hanya dalam waktu sehari semalam, karya ini tidak ditujukan untuk kolektor. Semua karya yang harus dijual harus mulai dengan barang dagangan. Seorang seniman adalah barang dagangan – lukisan hanya proxy – dari produk yang sesungguhnya: nama sang seniman. Karya Asmujo malah mulai dengan pembeli – dengan medium cermin yang ia pilih. Sebuah keputusan absurd dari sisi bisnis, tapi paling tajam dari sisi wacana konstruktif. Orang dengan mudah melihat bahwa pandemi – tema pameran ini – adalah tentang kita – diri kita yang seolah dibidik. Asmujo memperlakukan karya ini persis seperti sebuah foto dalam garis Fontcuberta: karya adalah pertama dan terutama milik mereka yang terlibat dan melihat.

Yang ditampilkan Asmujo adalah sebuah swafoto – rekaman singkat tentang apa saja yang mungkin muncul di kepala kita saat kita memotret diri kita sendiri dan kemudian membiarkan angan kita berkelana. Mungkin yang muncul adalah seorang pahlawan super, mungkin tentang diri dan asal-usul keluarga kita, atau mungkin tentang refleksi spiritual soal peran Tuhan dalam pembiaran sebuah wabah berikut pergulatan batin di dalamnya. Mungkin pula – kita tidak paham apa yang sebenarnya menghuni kepala kita: entahlah. Dan begitu kita beralih – karya itu pun segera punah dari panca indera kita – dan segera bergerak masuk menuju ke perenungan lapis kedua yang lebih mendalam. Asmujo sang seniman hanya bertindak sebagai bidan yang mencoba untuk membantu kita menemukan kembali petik pengalaman yang sebenarnya berharga, yang mungkin terbuang sia-sia hanya karena kita abai kehadirannya yang sementara.

Pesan Fotografis sebagai Vaksin Mental

Lantas mengapa, bila demikian, kita perlu seorang Arsene Lupin di gelaran karya setingkat ini – apa urgensinya menghadirkan seorang pencuri baik hati yang menyiulkan Clair de lune saat menjalankan aksinya? Mungkin karena setiap gelaran adalah proklamasi “aku” dan “keakuan”, betapa “kamu” pun “aku”.

Pandemi telah mengajarkan kita betapa “aku” menjadi sangat destruktif – dan bahwa titik mulai kemanusiaan dimulai dari “kamu”. Kita perlu vaksin mental seperti yang didagang-rugikan oleh Asmujo untuk keluar dari perangkap “kamu yang seolah-olah aku”: aksi kedermawanan intelektual yang berujung pada agendum panjat reputasi komodifikatif. Dari pameran ini mungkin karya Asmujo akan berakhir di baris ke-27 di daftar prioritas kolektor. Namun agenda yang bisa ditarik dari karya fotografis semacam ini justru ada di baris-baris awal dari misi kemanusiaan pasca pandemi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//