• Kolom
  • RUANG RENUNG #20: Menginstagramkan Ruang Pamer untuk Pamer di Instagram

RUANG RENUNG #20: Menginstagramkan Ruang Pamer untuk Pamer di Instagram

Karya grafis yang dihadirkan Beyond Crap dalam pameran “U R My Inspiration: Love Letters to the *** World” mengubah ruang pameran menjadi akun Instagram raksasa.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Suasana pameran U R My Inspiration: Love Letters to the *** World di Ruang B Selasar Sunaryo Art Space Bandung. (Foto: Mardohar B. B. Simanjuntak)

13 Juni 2023


BandungBergerak.id – Jauh sebelum pandemi yang mengubah wajah kerja dunia berlangsung, penulis pernah melontarkan sebuah gagasan liar di tengah sebuah diskusi penyelenggaraan sebuah gelaran seni rupa: bagaimana bila seandainya galeri dipindahkan ke media sosial Instagram. Usul yang penulis lontarkan di paruh kedua dekade 2010an ini memang asing dan aneh. Gayung tidak bersambut, dan penulis pun menyimpan gagasan ini di peti es yang paling bawah. Waktu bergerak – bahkan mungkin melompat – dan pandemi covid-19 membuat gagasan “brutal” barusan seperti ide yang terlalu biasa dan basi. Setelah wabah ini mulai tanggal taringnya jadi sekadar flu biasa, sebuah alter ego berlabel BC – Beyond Crap – hadir di Ruang B Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Pameran panjang ini dimulai tanggal tiga Maret, dan selesai di bulan Juni 2023. Dengan kurator Krishnamurti Suparka, judul yang digulirkan adalah “U R My Inspiration: Love Letters to the *** World”.

Baca Juga: RUANG RENUNG #17: Mengais Sein zum Leben dari Puing Sein zum Tode
RUANG RENUNG #18: “Door to the River”, Sisa Tenaga saat para Begawan Kadaluwarsa
RUANG RENUNG #19: That Final “Door to the River”, Kisah Tiga Laga

Sang Pre-frontal Korteks yang Datang Terlambat

Menuliskan judul pameran yang tergolong “jahil” memang sulit dituliskan di sini karena memuat dua emotikon menantang yang tidak ramah aplikasi ketik standar kantoran – dan sembul kejahilan ini berjalan saling menggamit dengan anonimitas dari sang seniman. Kita bisa dengan mudah mencoba mengorat-oret dua skenario.

Pertama, ini adalah kerjaan remaja tanggung iseng – “bau kencur” – yang mau mengusik kenyamanan institusi seni dengan tujuan sederhana: agar ia didengar, diakui, diangkat. Beberapa pakar neurosains dan psikologi perkembangan mencoba melunakkan kejengkelan kita terhadap fenomenon semacam ini dengan satu baris kejelasan: bahwa remaja-remaja “labil” ini belum tumbuh bagian neo-korteksnya dengan sempurna. Akibatnya, sudah sewajarnya bila mereka terus-menerus menguras karisma potensi mereka dan menukarnya dengan recehan celaan dan omelan.

Kedua, di sisi lain, lepas dari pengakuan sang BC sendiri bahwa ia sudah dewasa saat anak remaja sekarang baru lahir hampir dua dasawarsa lalu, kenakalan semacam ini boleh jadi merupakan sebuah bahasa simbolik untuk menolak siklus jerat kehidupan yang itu-itu saja; sebuah upaya untuk bebas dari kebekuan perangkap normatif yang selalu menjamin masyarakat menjadi konservatif selama ribuan tahun. Justru di sini neo-korteks yang bekerja untuk mengimitasi pola strategi anti-estetik yang bertujuan untuk meniadakan sensasi estetis; bahkan tujuan utamanya adalah pengalaman negatif dari segala stimuli estetik yang mungkin. Dengan cerdas ia menginstagramkan Ruang B selasar dengan menaklukkan lapis demi lapis – bahkan sampai ke ceruk cekungan tujuan tidak lepas dari “instagramasinya”.

Anti-Instagram yang Instagrammable

Karya grafis yang dihadirkan BC lebih menyerupai layar-layar linimasa dari Instagram, di mana kaki kita lanjut dari satu gambar ke gambar lain dengan modus operandi yang sama dengan “scrolling”. Dengan cepat kita menggeser tubuh kita dari satu komposisi ke komposisi berikutnya. Cerita yang kita dapat di setiap gambar pun sama-sama saja; persis seperti satu petak komik diisi dengan belasan kata yang berbeda. Hal yang sama menjangkiti selancaran kita di media sosial – kita bergerak dari satu hal yang sama ke keserupaan yang lainnya dalam kerangka kebaruan. Di beberapa tembok, BC bahkan menghadirkan sebuah sapuan monokromatik berwarna pastel yang seringkali menghiasi applikasi medsos, yang diisi dengan celaan, hujatan, dan sumpah serapah.

Di bagian terakhir cekungan ceruk dalam ruang pamer, kira mengisi ruangan “komen” yang menjadi kewajiban kita sebagai warganet. Tidak ada batasan atau rambu yang mengawasi kita untuk menulis, dan kita punya kebebasan penuh untuk memaki-maki BC sebrutal yang kita bisa. Namun demikian, tetap saja segala kemungkinan komentar yang kita gelindingkan – hanya tinggal di tempat yang itu-itu saja. Singkatnya BC mengubah Ruang B menjadi sebuah akun Instagram raksasa – yang dibuat dengan tujuan-tujuan untuk menegasi keseluruhan elemen estetik yang muncul dari sebuah “post” atau “story” atau “reel”. Kejahilan akan menemukan keparipurnaannya saat pengunjung pameran kemudian “memposting” atau “men-story” atau “me-reel”-kannya. Misi pra-tekstual BC kemudian menemukan lingkaran lengkapnya: bagaimana realitas “instagramable” mencapai titik pendulum – bergerak dari akun digital ke analog dan kemudian kembali ke digital.

Kertas-kertas yang di atas meja dan tertempel di dinding adalah komentar pengunjung pameran U R My Inspiration: Love Letters to the *** World di Ruang B Selasar Sunaryo Art Space Bandung. (Foto: Mardohar B. B. Simanjuntak)
Kertas-kertas yang di atas meja dan tertempel di dinding adalah komentar pengunjung pameran U R My Inspiration: Love Letters to the *** World di Ruang B Selasar Sunaryo Art Space Bandung. (Foto: Mardohar B. B. Simanjuntak)

Lebur dalam Bermain

Kenakalan yang dilakukan BC memang terlihat belum seberapa untuk ukuran remaja tanggung bandel yang membuat orang tua bolak-balik ruang guru, tapi terlalu nakal untuk “meteran” ala Hans-Georg Gadamer. Misi pasca-Kantian berbalut undangan Nietzschean memang melahirkan pemikir-pemikir yang harus keluar dari dikotomi subjek versus objek, dan Gadamer menggali cetusan pendahulunya untuk sampai pada tawaran “permainan yang menenggelamkan”. Sebuah permainan sepak bola, misalnya, tidak mengenal subjek maupun objek. Alur gocekan dan operan bola akan menyangkal semua kemungkinan dikotomis, sehingga mengoper dan dioper menjadi samar saat semua tenggelam – dari pemain, wasit, penonton, dan bahkan bola membentuk sebuah kesatuan.

Gadamer memperkenalkan konsep “subjektum” untuk setiap elemen yang terlibat dalam keasyikan tiada henti dan jeda. Intensi setiap pihak yang terlibat dalam permainan, bagi Gadamer, akan terkupas satu demi satu saat bola mulai bergerak dari gawang satu ke gawang berikutnya. Tiada penjelasan (Erklaerung) yang dibutuhkan, karena semua pihak akan paham (Verstehen) pada waktunya. Setiap partisipan yang mengambil bagian harus bersedia untuk “kalah” – agar permainan bisa berjalan dan menghasilkan pemenang: pengalaman bermain yang utuh dan bermakna.

Dalam kejahilannya BC mencoba untuk bergerak lebih dari sekadar subjektum – dan permainan ini akhirnya digiring ke satu arah – sebuah eskapisme dari penatnya media sosial yang mencoba berdialog dengan pengunjung. BC mulai dengan mengambil alih “45 menit pertama” hingga turun minum – mulai dari sisi depan hingga menjorok masuk agak ke belakang. Mungkin salah satu intensi dari sang seniman adalah untuk mengingatkan betapa agresifnya perlakukan media terhadap para penggunanya yang naif, yang digiring begitu saja oleh racikan umpan – feed – dari kecerdasan buatan. Baru 45 menit berikutnya BC mencoba bermain untuk mulai mengundang mereka masuk dalam merenung – sebuah fase reflektif yang sekarang sangat sulit kita temui.

BC dengan kata lain, memasukkan orang ke dalam “Instagram” dalam aksi instagramasinya – dan kemudian menarik mereka keluar untuk sejumput kesadaran bahwa permainan ini bukan permainan berat sebelah. Media sosial mungkin brutal; namun bagi BC, keterlibatan kita adalah untuk bermain sepenuh hati dan menang menggamit makna baru yang utuh.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//