• Kolom
  • RUANG RENUNG #19: That Final “Door to the River”, Kisah Tiga Laga

RUANG RENUNG #19: That Final “Door to the River”, Kisah Tiga Laga

Ray Bachtiar Drajat, Iswanto Surjanto, dan Henrycus Napitsunargo – sudah punya jawaban masing-masing tentang seperti apa fotografi di era pasca-fotografi.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Suasana salah satu perhelatan pameran foto dalam rangkaian Bandung Photography Triennale tahun ini. (Foto: Dokumentasi Bandung Photography Triennale)

31 Mei 2023


BandungBergerak.id – Setiap wiracarita berhak mendapatkan sejumput petikan heroik panjang sebagai tinta penutupnya; entah cerita yang berakhir dengan sang pahlawan yang berjalan tegak mengusung perisai megahnya, atau sebaliknya terbujur kaku ditandu oleh rekan-rekan seperjuangannya. Tulisan ini adalah sebuah fragmen temporal dari gerak mengalir tanpa henti geliat fotografi kontemporer. Seperti yang dikatakan oleh filsuf Pra-Sokratik Heraklitos lewat ulasan pakar filsafat klasik Daniel W. Graham– éthos anthrôpôi daimôn – malaikat pelindung terbaik adalah semangat kita untuk terus berjuang: tulisan ini tidak pernah digarap dengan maksud selesai. Justru seturut panta rhei (“semuanya mengalir”) – kutipan paling puncak dari sang Heraklitos – opini ini sengaja diakhiri dengan tanda tanya yang tidak akan memberikan rasa nyaman bagi siapa pun. Sekali lagi, masih dalam kosa kata Heraklitean, moroi mezones mezonas meiras lanchanousi – kematian yang bernas adalah puncak keagungan abadi.

Baca Juga: RUANG RENUNG #16: An Other Land, Jotosan Balik Sang Nir-waktu Nir-ruang
RUANG RENUNG #17: Mengais Sein zum Leben dari Puing Sein zum Tode
RUANG RENUNG #18: “Door to the River”, Sisa Tenaga saat para Begawan Kadaluwarsa

Tiga Laga Kematian Fotografi

Dalam teori politik perimbangan kekuasaan, titik terbaik adalah saat semua pihak berpeluang untuk menang, namun tidak ada sedikit pun dari mereka yang berkesempatan untuk menang. Situasi trikotomis seperti itu memang sedang kita alami sekarang. Politik internasional sekarang diwarnai dengan Amerika Serikat yang lelah dan masih akan terus berkuasa, Rusia yang mengais ampas bipolaritas masa Perang Dingin (Cold War) dan terus menjadi pecundang nostalgia sejarah, dan Tiongkok yang sekarang secara de facto mengulang kembali kedigdayaan masa Cheng Ho saat armadanya mengarungi dunia mengunjungi berbagai peradaban kerdil yang pada masa itu hanya sanggup membuat rakit rapuh rawan karam. Ketiga negara tri-kuasa ini sanggup membuat kita semua menjadi fosil dalam hitungan minggu – mendegradasi peradaban manusia ke era Pra-Kambrian. Namun hingga kini ketiganya menjamin tidak ada jari-jari gatal mengintip tombol peluncur rudal berhulu ledak nuklir. Alasannya sederhana – dunia sudah lebih indah dari glorifikasi usang nasionalisme.

Kematian fotografi memang sudah jelas, dan dari abunya kebangkitan fotografi diramalkan meraih wujud yang berbeda-beda. Tiga penggiat fotografi yang kode genetik sel-sel darahnya sudah campur aduk dengan cairan pengembang foto: Ray Bachtiar Drajat, Iswanto Surjanto, dan Henrycus Napitsunargo – sudah punya jawaban masing-masing tentang seperti apa fotografi di era pasca-fotografi. Ketiganya memiliki sudut pandang formatif yang berbeda: Ray adalah seorang pegiat serba bisa yang sudah masuk ke setiap ceruk yang mungkin dari dunia fotografi Indonesia. Iswanto, sebaliknya, mulai dengan bertualang di negeri Paman Sam – bahkan mengambil studi yang sangat intens tentang fotografi di lembaga formal di Santa Barbara. Henrycus, atau Icus, adalah seorang aktivis foto yang berusaha mencari titik temu antara aktivisme kebersenian foto dan aspek tekno-estetisnya.

Menariknya pula, penulis pernah berbincang langsung dengan ketiganya. Dalam sebuah pameran tunggal dan seminal untuk mengangkat kepedulian ekologis yang beririsan dengan mitologi Sunda – Nyai Pohaci, penulis sempat berbincang secara intens dengan Kang Ray – sekitar dua dasawarsa silam. Sekitar beberapa tahun sebelum pandemi, penulis sempat terlibat dengan Iswanto sebagai penulis esai kuratorial dan sekaligus penanggap dalam pameran tunggalnya di Selasar Sunaryo Art Space – di Bale Tonggoh. Terakhir, masih dalam suasana Bandung Photography Triennale, penulis terlibat diskusi progresif dengan Icus dalam kajian-kajian filosofis yang berhubungan dengan gelaran akbar tiga tahunan ini – yang hasilnya dituangkan dalam berbagai tulisan akademik dan populer.

Ray – Kenakalan yang Abadi

Ray Bachtiar adalah anak nakal yang tidak akan pernah surut menjadi berandal. Perlawanannya terhadap gerakan Mooi Indie atau foto cantik ala Perhimpunan Amatir Foto (PAF) Bandung dilakukan dengan mengangkat aspek estetis dan reflektif bersama rekan-rekan seperjuangannya dalam Forum Fotografi Bandung – yang melibatkan berbagai seniman dan akademisi dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB). Ray aktif mengeksplorasi berbagai kemungkinan interaksi fotosensitif – dan sedapat mungkin bergerak ke wilayah anti-estetik dan bahkan estetika negatif. Uniknya, Ray juga hidup dari fotografi “wajar” sebagai fotografer komersial. Singkatnya, Kang Ray menempuh jalur paradoksal – ia hidup dari apa yang ia benci setengah mati. Uang yang ia hasilkan pun segera ia kucurkan untuk mengubur semua kecantikan visual dari hidupnya hidup-hidup.

Ray yang fiktif-imajerial mungkin jelmaan Dr. Jekyll dan Mr. Hyde rekaan novelis Robert Louis Stevenson. Namun dalam dunia nyata mungkin seorang Ray adalah versi lokal dari Man Ray – seorang figur fenomenal dalam perkembangan seni rupa. Persis seperti karakter fiktif Stevenson, Ray Bachtiar tidak pernah akan kita kenali sisi Jekyll bila kita lihat versi Hyde-nya, dan sebaliknya. Seorang Ray adalah figur yang oto-destruktif dan mengidap dilema internal. Konflik yang terjadi dalam Ray adalah ia versus dirinya. Sesuatu yang pernah dialami oleh Man Ray saat ia menghubungi temannya dan mengeluh bahwa dunia busana telah membunuh dirinya – dan sekarang ia sudah mati. Man Ray kemudian menciptakan “ray-o-graph” – sebuah olok-olok fotosensitif yang menertawakan tertibnya dunia fotografi makhluk-makhluk cantik tanpa roh. Ray Bachtiar, dengan geliat yang serupa, menciptakan “scanography”, sebuah lelucon pedas terhadap eksploitasi komodifikasi kamera dan pernak-perniknya, dan aktif dalam komunitas lubang jarum Indonesia sebagai tawaran alternatif dan demokratis dari fotografi.

Iswanto – Misi dan Martir

Saat diskusi seniman dalam pameran tunggalnya di Selasar Iswanto “dicincang” oleh perupa-perupa senior Bandung dengan tuduhan menodai “kuil suci high brow art” dengan kenakalan infantil ala seorang fotografer mapan. Iswanto dianggap telah melakukan kecerobohan dengan bermain-main untuk menggugah perhatian, dan kemudian menyianyiakan kepercayaan itu dengan ketidakmampuan untuk mengisi kenakalannya dengan kedalaman. Penulis hadir dan ikut “digilas dan digiling” di dalam panggung yang sama di Bale Tonggoh waktu itu, dan pada titik ini filsafat akhirnya harus bekerja keras untuk mencari titik temu yang bisa menyajikan rayuan argumentasi yang persuasif. Setidaknya, baik penulis dan Iswanto masih keluar panggung dalam keadaan hidup dan penuh tawa. Semua tudingan bergerak dinamis menjadi sebuah tawaran untuk terus berkarya – dan Iswanto memang tidak pernah berhenti berkarya.

Beberapa hari sebelum “pembantaian artistik” itu terjadi, penulis berbincang panjang dan lebar dengan Iswanto. Ia bercerita betapa peruntungan telah membawanya menuntut ilmu ke Amerika, bertapa di sebuah sekolah fotografi yang gulung tikar tidak lama setelah ia meraih gelar akademiknya. Sepulangnya ke tanah air Iswanto bekerja sebagai fotografer komersial, dan untuk sampai ke tarif seratus juta sekali pemotretan perkawinan ia harus “membunuh dirinya”. Uang mengalir deras, dan derasnya cuan menguras imajinasi dan kreativitasnya. Seperti semut yang mati di tumpukan gula, Iswanto pun tidak tahan lagi. Ia memilih mencari gelembung udaranya sendiri untuk bisa bernafas, dan saat ia bisa menghirup udara kreativitas, ia menarik nafas sedalam-dalamnya. Tanpa cerita ini penulis mungkin tidak akan rela membiarkan diri dicacah oleh para pengajar senior FSRD ini – dalam sebuah sidang dadakan yang muncul untuk sebuah keputusan seberapa seniman seorang Iswanto.

Henrycus – Bara Cinta yang tak Kunjung Padam

Pertama kali penulis berbincang dengan Icus – sapaan akrab dari seorang seniman-kurator yang mulai dengan fondasi studi arsitektur dan akhirnya berlabuh di dunia seni formal dan informal – di sebuah kafe yang sekarang sudah gulung tikar; namun obrolan yang muncul tidak akan pernah sirna karena sudah menjadi saksi hitam di atas putih di beberapa jurnal nasional. Dari ketiganya, Icus adalah seorang reader – pembaca yang aktif menguras kedalaman sumur wawasan tentang fotografi. Icus, berbeda dengan Ray dan Iswanto, tidak pernah dihidupi oleh fotografi. Seperti seorang petapa yang menghembuskan nafas batin pada kehidupan, Icus menguras stamina dan bahkan pundi-pundi dapurnya demi fotografi. Bak seorang Miyamoto Musashi di paruh pertama duel-duelnya, sebelum ia merampungkan karya abadinya Go Rin no Sho dan akhirnya menjadi penasehat daimyo, Icus masih dalam rangkaian tarungnya tanpa henti dan tanpa jeda.

Bila Ray dan Iswanto menjalani hidup paradoksal dengan fotografi, Icus tidak pernah mengalami konflik dengan kekasih gelap dan terangnya itu. Ia jatuh cinta pada semua wujud fotografi tanpa pernah mendapatkan apa-apa darinya selain janji cinta sejati sehidup semati. Dan pada titik ini Icus sudah memberikan cinta tak bersyaratnya pada fotografi. Ia mengadakan panggung-panggung yang menjadi definisi dari fotografi Indonesia – yang hingga sekarang tidak pernah punya fondasi apapun selalu cuilan-cuilan Heideggerian dari Seno Gumira Ajidarma dan beberapa fragmen-fragmen ulasan lain. Bila di panggung diskursus di negara mapan-seni fotografi sudah diulas hingga satu perpustakaan, maka gerak diskursif fotografi Indonesia masih belum memenuhi satu rak mungil. Padahal, fotografi adalah salah satu “powerhouse” pewacanaan filsafat di Barat. Ibarat sang mekanik, Icus berjuang agar lokomotif argumentatif ini bisa bergerak maju.

Simpang Tiga Fotografi

Baik Ray, Iswanto, dan Henrycus sebenarnya mencoba mengajukan sebuah solusi yang mungkin sekilas “usang dan basi”: phos dan foton. Titik seperti ini memang berbahaya dan bahkan sangat berisiko; di tangan amatiran semua argumen yang berbau phos dan foton adalah tanda kedangkalan wacana; sama dangkalnya saat filsafat dibahas secara philo dan sophia, atau ekonomi sebagai oikos dan nomos. Namun filsuf kelas berat setingkat Slavoj Žižek pernah mempergunakan argumen philo dan sophia sebagai sebuah stimulus wacana tingkat mahir. Penelusuran nominal seperti ini memang tidak punya garis tengah: di satu ekstrem strategi etimologis semacam ini adalah sebuah bahan tertawaan, di ekstrem lain ia bahkan memberi kejutan. Jelas ketiganya tidak sedang mempertontonkan kedangkalan yang bahkan tidak akan mungkin mereka berikan. Ketiganya adalah veteran dalam dunianya masing-masing – dan bahkan “kedangkalan” mereka adalah kedalaman.

Bagi Ray, cahaya adalah peluang. Membaca Ray mungkin sama seperti membaca Seno – dan keduanya memang minimal pernah bertukar tulisan. Ray ingin cahaya bekerja selepas-lepasnya dalam sebuah tatanan yang dikendalikan oleh sang fotografer. Pada domain ini Ray memosisikan diri sebagai orang tua yang mendidik anaknya tanpa jatuh dalam jebakan despotik. Ray menempatkan diri sebagai seorang ayah kreatif, yang memacu dan memicu anaknya untuk menjadi berandalan luhur yang berbobot – lengkap dengan kesantunan dan tradisi yang kuat – yang mungkin lahir dari paradoksikalitas sejarah masa lalunya sebagai fotografer komersial dan sekaligus berandalan dadais foto. Kamera lubang jarum Ray adalah sebuah upaya santun untuk mendapatkan hasil foto yang nakal dan bandel. Boleh pesta pora, tapi pulang jam sebelas malam, demikian garis besar solusi yang ditawarkan Ray.

Iswanto – sebaliknya – seperti Dr Jekyll yang melepaskan Mr Hyde lepas dari penjara persona normalitasnya. Iswanto membiarkan cahaya bekerja apa adanya. Seperti melepas lumba-lumba yang disiksa dari tontonan buas berlapis kepuasan kapitalistik pengunjung taman hiburan, Iswanto melepaskan cahaya sebagai cahaya – sebagai terang yang tidak akan pernah sunyi oleh gulita. Ia memosisikan diri sebagai pemilik kebun binatang yang kemudian melepas semua hewan binaannya ke alam bebas, lepas dari segala kerangkeng dan jeruji. Iswanto melepaskan cahaya untuk tampil begitu saja, ia bahkan mengembalikan phos ke tataran pigmen – dan bahkan piksel. Phos adalah cahaya, dan ia adalah terang – light. Jadilah terang sebagai terang adanya – mungkin itu misi seorang Iswanto dalam setiap misi martirnya yang ia bawa dari pameran satu ke pameran selanjutnya.

Persis di kutub opositorisnya, Icus menampilkan wajah cahaya yang sesungguhnya: anti cahaya. Sedikit fisika akan membantu kita memahami kejahilan seorang Henrycus. Sebuah partikel apapun di alam semesta ini punya kembaran anti-partikel, yang persis sama namun bergerak persis ke arah yang berlawanan. Realitas kita adalah sebuah realitas berlawanan, dan kamera persis menubuhkan itu. Phos dalam terminologinya adalah sebuah realitas terang yang lahir dari “anti-realitas” gelap. Lucida – terang – ia tandemkan dengan obscura – gelap. Rahim dari keduanya adalah camera – yang dalam bahasa latin berarti ruang atau kamar. Bila Iswanto mengangkat supremasi terang sebagai kebangkitan ultima fotografi, maka Icus mengembalikannya ke gelap sebagai disposisi gestatik – kerahiman – dalam kerangka Lacanian. Alfabet omega ia kembalikan ke alpha, untuk segera kembali ke menyusuri beta dan seterusnya.

Dua Pesan Burgin

Disposisi trikotomis fotografi akhirnya tidak berbeda dengan tarik-menarik tiga kekuatan: Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok. Ketiganya sama kuatnya, dan bagai tiga pintu Doraemon yang bisa membawa kita ke matra baru pasca-fotografi, ketiganya punya tawaran dan pengikut masing-masing. Bagi mereka yang mulai mual dengan trivialitas yang ditawarkan Salon Foto Indonesia yang tidak pernah berubah dari jaman superfisialitas klub hura-hura para juragan kolonial Belanda, namun takut untuk masuk terlalu jauh dalam belantara seni murni, pintu Kang Ray adalah sebuah jalan keluar yang melegakan. Minimal mereka kembali menjadi manusia hidup yang berinteraksi dengan mesin; bukan asisten mesin yang menghamba pada mesin.

Bagi mereka yang sudah lepas dari kedangkalan gula-gula visual cantik dan mulai masuk tahap reflektif dalam fotografi, yang ditawarkan oleh Iswanto adalah sebuah “jalan ninja” yang sulit untuk ditepis. Pintu ini memberi kelegaan pada aspek imajinasi yang bukan sekadar keruwetan teknis yang sebenarnya bisa diselesaikan AI sekaliber Midjourney dalam hitungan milidetik. Di sini phos menjadi lucida – cahaya menjadi terang, entah seberapa redup pun kertas fotosensitifnya. Dan bagi mereka yang sudah akrab dengan terang-terangan semacam ini, pintu yang ditawarkan Icus adalah pintu terakhir yang mungkin disambangi. Bagai bertemu dengan kembaran yang disekap puluhan tahun di gudang belakang, Icus mengajak mereka yang sudah kenyang dengan eksplorasi artistik yang untuk pergi lebih jauh lagi, menyapa sang obscura yang merupakan kesatuan sejati dengan sang lucida. Namun demikian, seberapa layak kita mengiyakan seniman-kurator yang satu ini?

Burgin, Victor Burgin, pernah menukas dua hal: bahwa foto tidak bisa ditolak, dan setiap bingkai bidik – frame – adalah potret jujur dari ideologi sang fotografer. Petuah argumentatif Burgin ini bisa dibaca dengan cara ini: pertama bahwa realitas fotografis adalah sebuah keniscayaan dalam dirinya sendiri, dan bahwa keniscayaan itu sangat personal. Dalam kerangka Burginian, yang dilakukan Icus dalam sebuah pameran yang berakhir tanggal 31 Mei 2023 di Sanggar Olah Seni (SOS) Bandung ini adalah sebuah upaya mematrikan dua mantra Burginian: semua karya di sini adalah jujur dan personal. Tragedi sungai Citarum dan Cikapundung pun disapa dengan kotak pinhole hitam tanpa bingkai bidik, sehingga baik sang phos lucida, dan kembarannya anti-phos obscura, tampil bersamaan. Realitas fotonik dihadirkan bersama dengan realitas anti-fotonik, dan dalam kegelisahan tragedi ekologis intensi ideologis sang seniman masuk dalam fase orgasmik.

Dan semua mengalir…

Foto-foto yang menutup keseluruhan rangkaian Bandung Photography Triennale ini adalah salam perpisahan dengan satu pesan Heraklitean: panta rhei. Aliran, rhei, adalah hakikat semesta ini bagi Heraklitos. Dan persis seperti yang dimantrakan olehnya, “potamois tois atois”: saat kaki kita masuk ke sungai, kita tidak pernah masuk ke sungai, karena sungainya selalu berbeda. Bencana komposisi yang dihadirkan oleh Icus adalah konsekuensi logis dari hadirnya dua realitas – fotonik dan anti-fotonik pada saat yang bersamaan, yang dijulangkan ke puncak lewat impersonalitas absensi bingkai bidik fisik. Ruang pamer ini sejenak berubah menjadi kapel, saat lucida merangkul obscura, dan intensi ideologis beralih dari Mata dengan huruf ‘M’ kapital (The Eye) ke hati. Inilah tawaran pintu ketiga – that final door – yang menurut Henrycus imun terhadap segala ekses hiper-komersialisasi imaji fotografis. Mungkinkah demikian?    

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//