RUANG RENUNG #22: Kutub-kutub Pseudo-artistik versus Saintifik
Pameran tunggal Dionisius Caraka “Apel + Newton = Gravitasi” di Galeri Ruang Dini Bandung mengangkat betapa samarnya batas yang saintifik dengan yang “nyeni”.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
28 Juni 2023
BandungBergerak.id – Dionisius Caraka hadir dengan sebuah sentakan yang langka di galeri Ruang Dini, Bandung – dari 13 hingga 24 Juni 2023 yang lalu. Dion bertandang ke galeri ditemani dengan wall text dari Alia Swastika. Judul yang dibawa sang seniman juga menabrak tembok kelaziman – hampir seganjil Elon Musk yang memberi frase matematis sebagai nama sang anak.
Tajuk pameran tunggal ini adalah Apel + Newton = Gravitasi; dan pengunjung tidak diberi kisi-kisi mana yang variabel dan mana yang konstanta. Tugas mereka yang berkenan hadir di pameran ini adalah untuk menyelesaikan persamaan ilmu pasti, yang biasanya diselesaikan dalam tiga langkah: (1) diketahui, (2) ditanya, dan akhirnya (3) jawab.
Baca Juga: RUANG RENUNG #19: That Final “Door to the Riverâ€, Kisah Tiga Laga
RUANG RENUNG #20: Menginstagramkan Ruang Pamer untuk Pamer di Instagram
RUANG RENUNG #21: Vaksin Fotografis untuk Daya Tahan Visuo-Mental Pasca Pandemi
(1) Diketahui: Sebuah Gelaran Pseudo-artistiko-saintifik
Belum pernah penulis sekalipun masuk ke sebuah pameran yang memiliki vibrasi Saussurean sekuat ini. Kekuatan langue – sebagai sebuah struktur baku dan keras bahasa – berhadapan dengan tarikan urat parole – sebagai rumah dan ranah kultural dari elemen linguistik apapun yang lincah dan elastis. Dari sisi langue, jelas semua elemennya adalah elemen pameran: karya, yang diletakkan di atas dudukan dan dipasang di dinding.
Karya-karya dimampirkan di sebuah galeri – lengkap dengan elemen primer ruang pamer dan elemen sekunder kafe dan toko cinderamata. Dua kolom verbal sebelah menyebelah dari Alia, sang kurator nasional yang berbasis di Yogyakarta. Seluruh kontak centang kebersenian sudah diterakan di sini, sehingga status seniman sah dilekatkan pada Dion, dan status pameran berhak dicantum-brosurkan oleh Ruang Dini.
Dari sisi parole – semua elemen saintifik seolah berlomba tampil menyergap mata – dan juga jemari kita. Ada kanvas dan kayu yang semuanya menjadi papan tulis – blackboard dan greenboard – khas ruang kelas. Simbol-simbol matematis hadir menggantikan warna – semua frase simbolik yang biasanya membuat murid sekolah alergi. Tidak hanya itu, ada tabung reaksi yang biasanya menjadi hantu-hantu menakutkan di laboratorium kimia – atau sebaliknya sebagai fetish para kutu buku dan juga mahasiswa “kupu-kupu” – kuliah pulang-kuliah pulang. Ada bandul yang membagi kanvas menjadi dua bidang komposisi. Tidak lupa pula beberapa jurnal laboratorium yang wajib diisi pada setiap eksperimen tegak di atas dudukan.
Bayang saintifik di ruang pamer ini cukup pejal untuk menegasi misi artistiknya.
(2) Ditanya: Apa Pentingnya Negasi Seni dan Sains?
Dion menghadirkan dua ruang yang saling membatalkan untuk merespons galeri ini. Yang artistik dituntut untuk membungkam yang saintifik – dan begitu pula sebaliknya. Setiap kali kita bergerak dari kanvas satu ke yang berikutnya, atau dari pedestal satu ke yang selanjutnya, kita terus menerus bergerak berosilasi seperti sebuah pendulum. Sialnya – bagi kita – dan mungkin untungnya bagi Dion – keberadaan sains yang hampir seni dan seni yang hampir sains ini bersifat reflektif, satu memantulkan yang lain.
Dion seolah memasang cermin yang terletak berhadap-hadapan. Bayangan di dalamnya pun menjadi sangat samar: yang seni menjadi pseudo-seni dan yang artistik juga bertemu dengan batas-batas kesemuannya. Pertanyaan dalam metode ilmiahnya adalah: mengapa?
Kita berhak bertanya dengan mempertanyakan pertanyaan yang diajukan Dion: mengapa kedua kaki kita digeser dari posisi nyaman artistik maupun saintifik. Kita bisa berprasangka buruk dengan menduga-duga bahwa sang seniman hanya sedang bermain, atau sedang bermimpi di siang bolong, atau sedang mencurahkan keluh kesan kegagalannya menjadi peraih hadiah Nobel.
Kita sebenarnya berhak untuk tidak menganggap serius sang juru lantur, yang seolah tidak menyadari bahwa aksi infantilnya hanya membuang-buang waktu kita. Namun demikian, kita juga berhak menduga, bahwa ada agendum penting dari misi sang seniman untuk menyadarkan kita tentang musuh pseudo-saintifik yang tidur dalam selimut rasionalitas kita.
(3) Jawab: “Homofilia” dan “The Echo Chamber of Me”
Jawaban yang diberikan oleh Dion sebenarnya tergolong jitu. Gelagat keilmuan dan kebersenian kita pada saat ini cenderung problematis, dan menyesatkan. Kita sekarang berpretensi untuk tahu dan sekaligus tidak mau tahu.
Ambiguitas karakter manusia urban saat ini dibahasakan dengan baik oleh P.W. Singer dan Emerson T. Brooking. Keduanya menengarai munculnya berbagai ruang narsistik – “the echo chamber of me” – yang terus menerus berbicara tentang apa yang saya suka secara faktual. Di satu sisi seolah terlihat betapa hiraunya saya dengan data, sementara di sisi lain saya dengan begitu mudah mencoba untuk mengabaikan informasi akurat hanya karena akurasinya mengganggu preferensi mutlak saya tentang diri saya sendiri - homofilia.
Kita – seturut garis argumen homofilik (kecintaan akan yang sama dengan preferensi personal) ini – misalnya memilih data elektabilitas hanya dari pasangan calon yang kita suka. Kita dengan mudah menerima semua artikel ilmiah dalam jurnal manapun – asal konklusinya sejalan dengan apa yang kita inginkan. Kita mengagungkan betapa bergizinya alpukat karena kita suka buah tropis ini, misalnya, dan mati-matian meragukan khasiat buah stroberi karena rasanya tidak sejalan dengan indera pengecap di lidah. Kita dengan mudah mengabaikan perkembangan batere mobil listrik yang sekarang sudah bisa mencapai jarak Jakarta-Surabaya sekali jalan tanpa pengecasan, hanya karena kita penggemar mobil bensin. Kegelisahan jarak – “range anxiety” – kita menjadi sangat irasional.
Gugatan Nilai Kuis Rasionalitas Manusia Urban
Pameran yang tergolong singkat ini, menurut hemat penulis, termasuk cerdik karena persoalan yang diangkat – sekaligus kisi-kisi jawabannya – sangat relevan dengan persoalan hidup kita di abad ini. Dion mencoba mengangkat betapa samarnya batas yang saintifik dengan yang “nyeni”.
Di titik opositoris yang lain, sang seniman menunjukkan potensi estetik dari banalnya simbol dan bahasa akademis. Ke-“biasa”-an mungkin terkesan mandul bagi banyak seniman – bahkan direaksi secara antipatik. Batas rasionalitas dan irasionalitas kemudian menjadi samar – saat misi diskursif seorang Dion tergelar di ruang pamer yang sekaligus ruang kelas yang tak pernah tuntas dan jelas. Tawaran sang perupa juga jitu dan tangkas: bila seni bisa bertukar peran tanpa henti dengan sains – maka dilema yang artistik dan saintifik mungkin sudah tidak relevan lagi.