CERITA ORANG BANDUNG (37): Nyala Hidup Kuli Panggul Stasiun Bandung
"Pengin nangis saja, kalau udah tua gini mah mau kerja apa? (Kerja) Bangunan udah nggak keterima, apalagi di pabrik. Usia bapak udah lanjut, 61 tahun. ya tabah aja."
Penulis Putra Wahyu Purnomo28 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Pelan suara roda kereta terdengar memasuki stasiun Bandung. Kereta yang datang dari arah Jakarta itu lajunya melambat dan semakin lambat hingga perlahan berhenti. Tanpa menunggu kereta berhenti sempurna, sejumlah porter atau kuli panggul bergegas menaiki kereta yang masih melaju pelan. Dengan langkah cepat dan sigap mereka memasuki gerbong dan segera menawarkan jasa angkut pada para penumpang yang bersiap turun. Jika beruntung, para kuli ini akan mendapatkan penumpang yang meminta jasanya mengangkut barang-barang mereka. Jika tak beruntung, para kuli terpaksa turun dengan tangan kosong.
Kali itu salah seorang kuli panggul, Suparman Umri tak beruntung. Ia kembali keluar gerbong tanpa tentengan barang milik penumpang. Bersama beberapa rekannya yang sama-sama tak beruntung, Sudirman lalu menuju salah satu sudut stasiun. Duduk di situ sambil menunggu kereta yang akan datang, atau penumpang yang akan menaiki kereta dan meminta bantuan mereka untuk membawakan barang. Tanpa lelah, mereka terus menunggu dan memburu setiap kereta yang memasuki stasiun.
Suparman, pria berusia 61 tahun itu sudah 12 tahun mengadu nasib sebagai kuli angkut barang di stasiun Bandung. Ia mendapatkan pekerjaan sebagai porter karena diwarisi oleh ayahnya yang meninggal dunia dan telah puluhan tahun menjadi kuli panggul di stasiun Bandung. Saat itu usia Suparman sudah lebih dari 40 tahun. Sebelumnya, lelaki asal desa Ranca Mulya, Pamengpeuk Kabupaten Bandung ini bekerja sebagai kuli bangunan.
"Pernah kerja dulu ngeladen gitu, nembok lah tukang kuli bangunan, terus langsung udah itu gantiin orang tua kerja di sini (porter), sesudah (orang tua) meninggal baru digantiin sama bapak," kisah Suparman saat ditemui di pintu utara Stasiun Bandung, Kamis (21/10/21).
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (34): Keluarga Risma di Dunia Skateboard
CERITA ORANG BANDUNG (35): Jalan Panjang Sang Pawang Gajah
Suparman bercerita, alasannya memilih untuk menjadi porter juga karena dirinya tidak memiliki ijazah. Lelaki yang rambutnya telah memutih semua itu sempat mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar namun itu pun tidak selesai. "Dikarenakan bapak kan enggak punya ijazah, ya kalo sekolah mah SD, tapikan bapak enggak tamatlah, gitu," ujarnya.
Menurutnya, pekerjaan yang ia jalani saat ini haruslah dijalani dengan sabar. Dirinya tidak bisa memaksakan kepada setiap penumpang untuk menggunakan jasanya. Suparman bekerja mengikuti penumpang, jika ada yang meminta ia akan membantu, tapi kalau tidak, dirinya akan duduk-duduk sembari menunggu penumpang yang hendak menggunakan jasanya.
"Sukarnya banyak sih, kalo namanya porter kan enggak bisa seenaknya begitu. Kalau ada yang nyuruh ya baru dapet uang, kalau enggak ada yang nyuruh ya begini aja, diam," ujar Suparman.
Soal tarif Suparman juga tidak pernah menentukan berapa besaran yang harus dikeluarkan oleh penumpang. Ia mengaku persoalan upah adalah urusan masing-masing penumpang saja. Asalkan penumpang ikhlas, Suparman sudah sangat bersyukur berapa pun besaran yang ia terima.
"Misalkan masalah uang gitu, enggak minta. Ya seikhlasnya aja gitu, kadang-kadang orang yang mengerti, ada juga yang enggak mengerti tapi itu tergantung ke dianya (penumpang), soalnya kalau porter itu enggak ada tarifnya," tuturnya.
Suparman menyampaikan, bersama rekan-rekannya yang lain pernah menetapkan tarif untuk jasa porter di stasiun. Namun, ternyata penetapan tarif tersebut justru dianggap terlalu mahal oleh penumpang. Sehingga saat ini ia bersama porter-porter lainnya sepakat untuk tidak menetapkan tarif angkat barang.
"Ya walaupun kemarin-kemarin ada (tarif) 20 ribu ada 25 ribu, tapikan kalau kebanyakan kan orang kemahalan gitu, makanya kalo ada yang nanya berapa ini, terserah bapak atau ibu (penumpang)," cerita Suparman.
Dalam satu bulan, waktu efektif Suparman bekerja di stasiun adalah 15 hari. Hal itu disebabkan adanya pembagian waktu kerja dengan kelompok porter lainnya. Di stasiun Bandung sendiri ada dua regu porter yakni regu merah dan regu hijau. Suparman adalah porter dari regu hijau, jam kerjanya ialah dua hari sekali.
Setiap masuk kerja Suparman biasanya tiba di stasiun pada pukul 12 siang. Jarak tempat tinggalnya dan stasiun Bandung cukup jauh dan ia menggunakan kendaraan umum, bukan kendaraan pribadi. Bahkan, Suparman mengakui, setiap hari selama bekerja ia selalu bermalam di sebuah musala yang ada di luar stasiun Bandung. Sebab, selepas jam kerjanya, tak ada lagi angkutan yang menuju ke rumahnya.
"Kalau sekarang-sekarang paling jam 12, soalnya kan kalau bapak pake angkot, enggak seperti orang lain pake kendaraan ya pake motor gitu, kalau pulangnya bapak nginep di sini, ini di luar musala. Soalnya kan di dalam sekarang enggak boleh, ya di luar," ujar Suparman.
Bekerja Serabutan selama Pandemi
Selama pandemi Covid-19 melanda, segala urusan yang menyangkut kegiatan masyarakat menjadi terbatas. Segala bidang pekerjaan terdampak pagebluk, tak terkecuali para porter yang bekerja di stasiun Bandung. Pembatasan kegiatan yang sangat ketat, berdampak pada keputusan pemerintah untuk membatasi perjalanan kereta. Akibatnya, jumlah penumpang turun drastis dan stasiun menjadi sangat sepi. Para kuli panggul meninggalkan stasiun untuk sementara waktu. Ada yang beralih menjadi kuli bangunan atau menjajal pekerjaan lain demi memperjuangkan dan mempertahankan hidupnya.
Bagi seorang porter seperti Suparman, pembatasan kegiatan masyarakat akibat Covid-19 jelas berdampak besar pada pekerjaannya. Ia mengaku, selama pandemi berlangsung sejak awal 2020, baru bulan-bulan terakhir ini ia kembali bekerja menjadi porter. Selama setahun lebih ia mencoba mencari pekerjaan lain untuk menyambung hidupnya.
"Pingin nangis aja, kalo udah tua gini mah mau kerja apa? Bangunan udah enggak keterima apalagi di pabrik, apalagi usia bapak udah lanjut 61, ya tabah aja," ujarnya dengan nada suara tergetar.
Suparman menyampaikan, selama libur dari pekerjaan menjadi porter, ia hanya mengerjakan pekerjaan apabila ada orang yang memintanya. Biasanya pekerjaan yang ia lakukan adalah membersihkan lingkungan rumah warga di sekitarnya atau lingkungan milik warga lain. Hal tersebut dilakukannya agar dirinya dan keluarga tetap dapat makan di kondisi serba sulit ini.
"Di rumah kadang ada yang nyuruh, misalnya ada yang bala-bala (kotor) itu sama bapak dikorek (bersihkan) dibetulin, jadi ya gimana caranya bapak supaya mendapatkan beras atau uang gitu, walaupun enggak disuruh misalkan gini gini gini sama bapak dikerjain, menitipkan inilah perut, seolah-olah nitipkeun perut gitu."
Ketika ditanyakan apakah pernah menerima bantuan, Suparman mengaku bersyukur karena beberapa kali mendapat bantuan, terutama dari tempatnya bekerja di stasiun Bandung maupun PT. Kereta Api Indonesia. Selain itu ia pun banyak menerima sumbangan bantuan selama pandemi dari pihak-pihak lain yang peduli terhadap sesama masyarakat.
Setelah kondisi yang makin membaik saat ini, Suparman kembali bekerja sebagai porter di stasiun Bandung. Dirinya bersyukur, kondisi saat ini sudah mulai mereda dan beberapa perjalanan kereta jarak jauh sudah mulai dibuka kembali. Tentu saja hal tersebut membawa berkah tersendiri baginya yang berkerja sebagai seorang kuli panggul.
"Alhamdulillah ya, sekarang sudah jalan kereta dari yang awalnya cuma satu, naik jadi dua dan seterusnya. Ya Alhamdulillah bapak ada penghasilan lagi, cuma ya enggak bisa ditentukan kan kalau pikul," ujar Suparman.
Suparman pun berharap untuk kedepannya semoga keadaan semakin membaik dan pagebluk ini segera berlalu. Pun ia berharap semoga perjalanan kereta api jarak jauh kembali normal seperti semula.
"Soalnya penghasilan kan bapak dari kereta, bukan digaji dari kereta gitu, cuman kan bapak ada penghasilan dari angkut barang sebagai porter gitu, semoga cepetan selesai lah koronanya gitu."
Meski usia menjelang senja, nyala hidup Suparman tetap bertahan. Harapannya tak pernah mati meski didera pandemi.