• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG (35): Jalan Panjang Sang Pawang Gajah

CERITA ORANG BANDUNG (35): Jalan Panjang Sang Pawang Gajah

Yayat Supriatna (48) menjadi pawang gajah di Kebun Binatang Bandung sejak 15 tahun lalu. Selain mengenali karakter satwa asuhannya, ia merasakan juga sakit mereka.

Yayat Supriatna (49), sang mahout atau pawang gajah di Kebun Binatang Bandung, berpose bersama Salma, gajah Sumatra asuhannya, Selasa (19/10/2021). Sebelum menjadi mahout, Yayat menghabiskan empat tahun sebagai penyabit rumput pakan. (Foto: Sarah Ashilah/BandungBergerak.id)

Penulis Sarah Ashilah23 Oktober 2021


BandungBergerak.id - Kebun Binatang Bandung, yang belakangan dipopulerkan dengan nama Bandung Zoo Garden (Bazoga), tidak luput dari hantaman gelombang pandemi Covid-19. Beberapa kali pengelola lembaga konservasi dengan koleksi sekitar 850 ekor satwa ini menyebut potensi kolaps akibat kehilangan pendapatan dari para pengunjung. Berbagai langkah efisiensi digulirkan, mulai dari pengurangan volume pakan hewan hingga pemangkasan jumlah karyawan.

Yayat Supriatna (49), sang mahout atau pawang gajah, ada di tengah pusaran masalah itu. Ia termasuk karyawan yang dipertahankan, namun dengan gaji terpangkas. Yayat, yang tahu betul kesulitan keuangan yang diderita yayasan pengelola, menerimanya. 

“Pekerjaan saya kan menyangkut nyawa gajah-gajah di sini. Kalau pekerjaan saya tidak seperti itu, mungkin saya juga sudah dirumahkan,” ujarnya sambil terkekeh-kekeh, ketika ditemui BandungBergerak.id, Selasa (19/10/2021).

Dalam dua hari terakhir, cuaca Kota Bandung sedang tidak bersahabat. Yayat harus lebih awal memasukkan dua ekor gajah ke dalam kandang. Jika tidak, keduanya bisa diserang gelisah.

Dari Penyabit Rumput

Yayat Supriatna, kelahiran Tasikmalaya, datang pertama kali ke Bandung pada tahun 1991 lalu. Ia dibawa oleh salah seorang bibinya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah anak angkat empunya Yayasan Margasatwa Tamansari, lembaga pengelola Kebun Binatang Bandung.

“Dulu waktu ditawari pekerjaan, (saya) tidak ditanya latar belakang pendidikan. Hanya ditanya bisa kerja atau tidak? Bagi saya yang sudah terbiasa kerja, ya jelas saya bisa. Setelah itu saya menjalani training selama tiga bulan,” ungkap Yayat.

Pertama kali bekerja di kebun binatang, Yayat menjadi petugas kebersihan untuk waktu yang cukup lama. Setelah itu ia menjadi penyedia pakan rumput untuk hewan-hewan herbivora. Yayat melakoni pekerjaan ini selama empat tahun.

Pindad merupakan salah satu lokasi favorit Yayat untuk mendapatkan rumput. Di kompleks pabrik senjata itu, ada petak-petak yang tidak terawat sehingga ditumbuhi banyak rumput liar.

Alat yang dipakai Yayat untuk menyabit rumput cukup unik, berupa klewang atau tongkat sabit dengan mata pisau sepanjang satu meter. Ia harus sangat berhati-hati ketika memotong rumput. Apalagi jika alat ini baru selesai diasah, tajamnya menyamai silet. Cara mengasah tongkat sabit ini pun tidak biasa. Bukan digosokkan ke batu asah, namun digetok-getok menggunakan semacam palu kecil.

Kerja keras dan kegigihan Yayat dilihat oleh atasannya. Apalagi ia diketahui sering membantu temannya di kandang gajah. Yayat akhirnya dipromosikan untuk merawat gajah Sumatra sekitar 15 tahun lalu. 

“Saya diwanti-wanti oleh senior saya, tolong anggap (gajah ini) seperti binatang sendiri, jangan dianggap binatang orang lain. Seperti misalkan kamu punya domba di rumah. Jadi ya kalau ada orang lain yang menyakiti gajah-gajah ini, saya juga akan merasa sakit hati,” kata Yayat.  

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (34): Keluarga Risma di Dunia Skateboard
CERITA ORANG BANDUNG (33): Nana, Jual Jeruk Peras Berbekal Ilmu Ikhlas
CERITA ORANG BANDUNG (32): Lilik dan Toko Rampai Tertua di Jalan Bojongloa

Salma dan Ira

Yayat Supriatna mengenal betul kedua gajah Sumatra asuhannya. Salma, berusia 50 tahun, memiliki tabiat lembut dan pendiam. Sedangkan Ira, 38 tahun, agresif dan kerap bertingkah iseng terhadap orang yang tidak dikenalnya.

Yayat akan segera tahu ketika kedua gajah betina itu jatuh sakit. Satwa berukuran besar itu akan terlihat murung, dengan gerak belalainya tidak selincah biasanya. Sang pawang pun dibuat turut sedih. Ia memikirkan kondisi gajah asuhannya, bahkan ketika sudah sampai di rumah sepulang kerja.

Keesokan harinya, Yayat akan buru-buru pergi ke kandang untuk memastikan kondisi si gajah. Jika rumput di sekelilingnya sudah habis, Yayat merasa amat lega karena itu tandanya si gajah mulai kembali sehat. Namun jika tumpukan rumput hanya diinjak-injak, itu pertanda gajah belum sepenuhnya pulih.

Yayat bersyukur saat ini ia bisa segera melaporkan kondisi gajah yang sakit kepada tim medis kebun binatang untuk ditindaklanjuti. Sebelum diambil alih pengelolaannya oleh Taman Safari Indonesia, tidak ada tim medis di sini. Inilah kesalahan fatal yang menyebabkan gajah Yani harus meregang nyawa pada 2016 lalu. Kasus tersebut mendapat sorotan luas bukan hanya di Bandung dan Indonesia, tapi juga mancanegara.

Bersama Jeje, yang sering mangasuh gajah Ira, Yayat saat ini merupakan mahout generasi lawas terakhir di kandang gajah. Para pendahulu mereka kalau tidak sudah pensiun ya meninggal dunia.  

Sebagai seorang mahout, Yayat Supriatna (49) mengenali dengan baik karakter kedua gajah asuhannya. Ia sudah bersama mereka selama 26 tahun terakhir. (Foto: Sarah Ashilah/BandungBergerak.id)
Sebagai seorang mahout, Yayat Supriatna (49) mengenali dengan baik karakter kedua gajah asuhannya. Ia sudah bersama mereka selama 26 tahun terakhir. (Foto: Sarah Ashilah/BandungBergerak.id)

Bekerja di Tengah Belantara Hutan Sumatra

Di usianya yang baru 6 tahun, Yayat Supriatna mengikuti orang tuanya bertransmigrasi ke Pulau Sumatra. Seluruh masa kecil dan remaja ia habiskan di Jambi. Untuk pergi ke sekolah, Yayat harus menempuh jarak 15 kilometer. Tanah Sumatra yang begitu datar membuat bangunan sekolahnya terlihat dari rumah meskipun teramat jauh. 

Biasanya Yayat akan dibekali air dan makanan oleh sang ibu. Masih terpatri dalam ingatannya, air minum itu berwadahkan botol kaca bekas minuman teh terkenal yang bagian atasnya ditutup dengan karet. Ketika itu Yayat hanya membawa satu buah buku yang diselipkan di punggungnya dan sehelai kantong kresek untuk menenteng barang bawaan lain. Tas hanya dimiliki oleh anak-anak dari kalangan berada.

Sewaktu sedang bandel-bandelnya di masa kecil, Yayat bersama teman-temannya sangat senang berenang di sungai. Apalagi ketika sungai sedang pasang. Mereka bisa leluasa berenang dengan gaya sebebas-bebasnya. 

Yayat juga ingat betul, setiap bulan November banjir akan melanda lingkungan rumahnya di Jambi. Karena itulah hampir setiap rumah memiliki perahu-perahu kecil agar dapat tetap berkendara ketika banjir. Entah untuk membeli sesuatu ke warung atau sekadar berkunjung ke tetangga.

Di masa remaja, Yayat sudah bekerja dan menghasilkan uang. Ia pernah bekerja sebaga petugas kebersihan di sebuah pabrik tripleks bersama sahabatnya. Tugasnya adalah memunguti kayu-kayu yang tidak terpakai dan membuangnya ke pembakaran. Yayat harus mengangkut kayu-kayu tersebut menggunakan gerobak dan berlari di sepanjang rel kereta. 

Saat itu usia Yayat baru menginjak 17 tahun. Lokasi pabrik yang berjarak tempuh 24 jam dari rumah, membuatnya jarang pulang ke rumah. Aktivitas yang dilakukannya selepas bekerja, seperti remaja pada umumnya. Ia akan berkumpul bersama teman-temannya untuk menonton film-film laga yang diaktori oleh Barry Prima atau sekadar nongkrong di depan pabrik.

Enjoy-lah pokoknya kalau mengingat masa muda. Kadang saya kalau di rumah suka melamun mengingat hari-hari itu, karena ini memori yang sangat berkesan untuk saya. Kebersamaan bersama teman-teman sangat terasa. Yang namanya persahabatan itu benar-benar saling menolong,” ujar Yayat. 

Yayat lalu bercerita tentang sahabatnya, Nepon, yang juga berasal dari Tasikmalaya. Hubungan keduanya sudah seperti kakak beradik, dengan kedua belah pihak orang tua sudah saling mengenal. Setelah berpuluh-puluh tahun tidak bertemu, karena Nepon menetap di Jambi bersama istrinya, akhirnya mereka pun bertemu di Jalan Laswi, Bandung. 

Kala itu Nepon memang sengaja datang ke Bandung demi bertemu Yayat. Momen haru tidak dapat dibendung. Semua kenangan manis yang pernah mereka lalui semasa remaja, hadir lagi.  

Dari pabrik tripleks, Yayat pindah bekerja ke tengah belantara hutan Sumatera. Ia terlibat projek pengeboran di sebuah perusahaan asing. Ia satu-satunya orang Sunda di sana. Kebanyakan rekan kerjanya berasal dari suku Batak, dan sebagian lagi berasal dari daerah Flores. 

Berbulan-bulan Yayat menghabiskan waktunya di hutan. Selain mengebor, ia juga memindahkan mesin-mesin seberat 50 kilogram yang harus digotong berdua, melewati jalan setapak dari dua blok kayu yang terkadang licin. Yayat mesti menggunakan sepatu spike dari luar negeri agar tidak terpeleset.

Akhir pekan di belantara tidak menyediakan banyak hiburan. Yayat dan teman-temannya biasanya memilih untuk melanjutkan pekerjaan. Bayaran bekerja di akhir pekan lumayan, bisa mencapai empat kali lipat upah di hari-hari lainnya.

Meski pekerjaannya amat melelahkan, Yayat bersyukur menerima besaran upah yang setimpal. Saat menerima gaji yang diantarkan ke tengah hutan dengan pesawat kecil, ia terkejut. Di genggamannya ada uang 1,3 juta rupiah, yang di hari ini kira-kira setara dengan 10 juta rupiah. 

Semua uang yang diperoleh Yayat diberikan untuk sang ibu. Baginya, sosok ibu tak tergantikan meski pada pada awal tahun 2000-an, kesedihan besar datang. Sang ibu meninggal akibat asma akut yang dideritanya.

Yayat percaya ‘doa emak’ senantiasa menyertai di mana pun ia berada, baik di tengah belantara Sumatra maupun di Kebun Binatang Bandung. Semua pengalaman dan rezeki yang ia terima tidak luput dari itu. Termasuk pekerjaan sebagai seorang mahout yang sudah ia lakoni sejak 15 tahun lalu.

Di tahun-tahun awal, gaji yang diterima Yayat memang tidak seberapa. Namun lambat laun, ia memperoleh pendapatan yang setara upah minimum kota (UMK). Dengan berhemat dan rajin menabung, Yayat mampu menyicil rumah dan menghidupi istri serta tiga anak mereka.  

Editor: Redaksi

COMMENTS

//