• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG (32): Lilik dan Toko Rampai Tertua di Jalan Bojongloa

CERITA ORANG BANDUNG (32): Lilik dan Toko Rampai Tertua di Jalan Bojongloa

Toko rampai yang ditunggui Lilik jadi tempat bertemunya orang-orang dari berbagai latar belakang etnis dan kebudayaan. Dia senang bisa bertemu dan melayani mereka.

Kamila alias Lilik, pekerja toko rampe di Jalan Bojongloa, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung, Senin, (21/6/2021). (Foto: Sarah Ashilah/BandungBergerak.id)

Penulis Sarah Ashilah8 Oktober 2021


BandungBergerak.idHampir seluruh bab kehidupan Kamila, yang akrab disapa Lilik, dihabiskan untuk menjaga toko rampai yang buat sebagian orang terkesan mistis. Di sana ada bau kemenyan, bunga-bunga setaman, lembaran kain kafan, minyak wangi untuk orang mati, hio, dupa, dan benda-benda lain yang biasa dipakai ritual tradisi.

Toko rampai itu ada di Jalan Bojongloa, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung. Berdiri sejak tahun 1920-an, toko ini menjadi yang tertua. Saking tuanya, toko rampai ini dikenal oleh kalangan artis yang akrab dengan ritual mandi kembang meski jumlahnya sekarang terus merosot. 

Lilik, yang sekarang berumur 65 tahun, adalah penunggu toko rampe itu. Dia melakukannya sejak berumur 15 tahun. 

Meski sudah renta, Lilik bekerja dengan cekatan. Setiap jam 3 pagi dia sudah membuka kiosnya, menunggu para pelanggan setianya berkunjung secara berkala.

“Banyak macam yang aku jual di sini. Ada hio (dupa Cina). Biasanya masyarakat Tionghoa yang akan beli hio, kan buat keperluan ibadah di klenteng. Ada juga apel jin, air mawar, bunga tujuh rupa, dupa, sama perlengkapan untuk pemakaman muslim juga komplet,” tuturnya ketika ditemui pertengahan September 2021 lalu.

Lucunya, walaupun setiap hari selama 50-an tahun bersinggungan dengan perlengkapan yang biasa dipakai ritual mistis, Lilik tidak melakukan praktik-praktik seperti itu. Menurutnya, yang paling penting adalah mempercayai keberadaan Tuhan dan bergantung pada Yang Maha Kuasa. Pada saat bersamaan, terhadap para pelanggannya yang beragam dan datang dari berbagai latar belakang, dia menaruh rasa hormat.

Inilah juga pengalaman paling berkesan bagi Lilik selama menunggui kios rampainya. Dia bertemu banyak orang dan berusaha memperlakukan mereka seperti memperlakukan keluarga sendiri.

“Kita mah sebagai manusia, gak boleh pilih-pilih orang. Semuanya harus diperlakukan baik. Aku mah deket neng sama yang bertato sampai yang pakai peci. Gak boleh menilai orang dari penampilan luarnya saja,” katanya dengan mata berbinar.

Malam Jumat Kliwon

Seperti setiap usaha lain, toko rampai Lilik memiliki waktu-waktu ramainya sendiri. Pada malam Jumat Kliwon atau malam Selasa, jumlah pengunjung lebih banyak dari hari-hari biasa. Dalam kepercayaan Sunda maupun Jawa, dua hari tersebut dianggap hari yang tepat untuk melangsungkan sebuah ritual.

Juga sama seperti usaha orang-orang lain, pandemi Covid-19 juga menghantam pendapatan Lilik. Dari biasanya 500 ribu rupiah per hari, omzet hariannya kini hanya sebesar 100 ribu rupiah.

Pendapatan per bulan Lilik sendiri tidak seberapa, dan hanya cukup untuk memenuhi keperluannya sehari-hari. Dia dibayar sejumlah 30 ribu per hari. Artinya, dalam sebulan Lilik memperoleh uang 900 ribu rupiah saja.  

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (31): Sri Jamrud di antara Kopi, Bunga, dan Jerat Utang
CERITA ORANG BANDUNG (30): Kisah Jaja di Tengah Rontok Bisnis Hotel
CERITA ORANG BANDUNG (29): Icam, Sepeda, dan Keresahan Anak Muda pada Pemanasan Global
CERITA ORANG BANDUNG (28): Penjualan Seragam Sekolah Nyai Sepi Senyap Selama Pagebluk

Kamila alias Lilik, pekerja toko rampe di Jalan Bojongloa, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung, Senin, (21/6/2021). (Foto: Sarah Ashilah/BandungBergerak.id)
Kamila alias Lilik, pekerja toko rampai di Jalan Bojongloa, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung, Senin, (21/6/2021). (Foto: Sarah Ashilah/BandungBergerak.id)

Ketika Jalan Bojongloa Masih Alas

Lilik lahir dan tumbuh di kawasan Jalan Bojongloa, jalan yang menghubungkan Kota Bandung dengan Bandung selatan. Di zaman dulu, kawasan ini masih memiliki banyak pohon dan satwa liar seperti ular. Orang-orang menyebut daerah ini sebagai alas atau hutan.

Ketika itu hanya ada toko rampai yang sekarang ditunggui Lilik dan Apotek Djaja yang juga masih berdiri hingga sekarang. Di masa kecilnya, Lilik gemar bermain-main di dekat apotek itu bersama teman-temannya.

“Permainan kesukaan saya dulu itu loncat karet, main bekel, dan sondah, permainan yang loncat dengan satu kaki itu lho. Congklak juga aku suka main. Dulu mah permainan ya begitu saja, belum ada boneka yang bagus-bagus atau gim di HP,” ujar Lilik.

Jika malam tiba, orang-orang enggan melintas di kawasan Jalan Bojongloa. Hanya ada Lilik seorang diri yang menjaga toko rampai ini hingga tengah malam. Dia mengaku tidak takut karena toh daerah ini merupakan rumahnya, tempat dia dilahirkan.

Sejak kecil hingga umurnya menginjak kepala enam, Lilik mengaku belum pernah meninggalkan Kota Bandung. Dia meninggalkan Jalan Bojongloa hanya untuk pergi ke pasar. Seluruh keluarganya pun berasal dari Bandung dan masih tinggal di kota ini sampai sekarang.

Lilik terlahir dalam sebuah keluarga dengan 8 bersaudara. Lima dari saudaranya, yakni kakak-kakaknya, sudah pergi meninggalkannya, menyisakan tiga orang termasuk dirinya. Sementara itu, orang tua Lilik yang juga bekerja menunggui toko rampai seperti dirinya, meninggal ketika usianbya 30-an tahun.

“Aku tinggal sendiri, paling sekarang sama cucu dari anak laki-laki ya," ucap Lilik dengan suara tercekat. "Suami sudah meninggal sejak lama."

Editor: Redaksi

COMMENTS

//