• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Bahaya Busa Deterjen yang Melimpah

MAHASISWA BERSUARA: Bahaya Busa Deterjen yang Melimpah

Banyak masyarakat beranggapan bahwa deterjen yang menghasilkan banyak busa akan membersihkan pakaian lebih optimal. Anggapan yang membahayakan lingkungan.

Jessica Christabel Graviela Saputra

Mahasiswa Program Studi Teknik Kimia Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Eni (46) mencuci pakaiannya di bangunan MCK yang ada di kawasan Gedong Cai Cibadak, Rabu (8/12/21). Walaupun keluarganya menggunakan layanan PDAM di rumah, untuk mengurangi tagihan penggunaan air bulanan, dia dan beberapa warga lain memanfaatkan bangunan ini.

10 Juli 2023


BandungBergerak.id – Ada anggapan keliru pada masyarakat bahwa deterjen yang menghasilkan busa melimpah akan lebih efektif dalam membersihkan pakaian. Padahal, busa yang banyak belum tentu memiliki pengaruh signifikan pada pakaian dan justru akan memicu peningkatan limbah.

Deterjen memiliki banyak bahan penyusun. Deterjen secara umum mengandung surfaktan, pemutih (bleaching), alkil benzene sulfonate (ABS), builder (biasanya mengandung sodium tripolifosfat), dan bahan tambahan seperti pelembut dan pewangi. Bukan karena jumlah busanya, sebenarnya faktor keampuhan deterjen dalam mengangkat kotoran pada pakaian berasal dari surfaktan. Kandungan surfaktan inilah yang akan mengikat kotoran pada pakaian.

Pada umumnya terdapat zat aktif permukaan dalam deterjen yang mempunyai gugus ujung berbeda, yaitu hidrofilik atau bagian suka air dan hidropobik atau bagian yang tidak suka air. Jika senyawa surfaktan berikatan dengan air, maka bagian hidrofilik akan mendekati air dan bagian hidrofobiknya menjauhi air. Akibatnya, kotoran dan air tersebut menjadi homogen dan lepas dari pakaian. Sedangkan, senyawa yang menghasilkan busa yang melimpah yaitu ABS juga mempunyai kemampuan surfaktan yang baik.

Terlepas dari manfaatnya, surfaktan inilah yang memiliki dampak negatif yang terbesar pada lingkungan. Surfaktan menghasilkan zat toksik yang dapat  mengurangi kemampuan biota laut dalam berkembang biak.

Ikan yang terkena dampak dari deterjen dapat mengalami gangguan pada insang. Insang merupakan organ yang vital bagi ikan karena merupakan alat pernapasannya. Kondisi insang akan bengkak dan mengeluarkan darah dari insangnya, sehingga ikan lama-kelamaan akan mati.

Selain itu, senyawa lainnya seperti ABS dapat mencemari stabilitas lingkungan hidup dan menyebabkan eutrofikasi. Eutrofikasi yaitu melimpahnya zat hara sehingga menyuburkan dan mempercepat pertumbuhan eceng gondok pada perairan. Dengan begitu, perairan menjadi penuh akan eceng gondok dan ikan-ikan menjadi sulit mendapatkan oksigen serta sinar matahari. Sehingga, penggunaan ABS pada deterjen kini dilarang dan sekarang ini mulai digantikan dengan LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) yang lebih ramah lingkungan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Perjanjian Perkawinan, Pentingkah?
MAHASISWA BERSUARA: Belajar dari Keberhasilan Singapura Mengolah Sampah
MAHASISWA BERSUARA: Metode Kekerasan tidak Efektif Menanggulangi Bahaya Terorisme

Bahaya Deterjen

Selain masalah lingkungan, deterjen juga dapat menyebabkan dampak kesehatan. Bahaya dari zat yang terkandung dalam deterjen, dapat menurunkan kualitas air. Jika dibuang ke daerah sawah, kandungan deterjen dapat meracuni padi sehingga secara tidak langsung, masyarakat yang memakannya dapat mengalami masalah pencernaan atau keracunan. Lebih parah lagi jika deterjen sampai mencemari air minum, berbagai penyakit seperti diare, kolera, tifus, dan berbagai penyakit lainnya dapat mudah menyerang masyarakat. Dampak kesehatan lainnya jika terpapar air yang sudah terkontaminasi deterjen, yaitu alergi, iritasi kulit, mata, paru-paru, atau bahkan kondisi terparahnya dapat mengakibatkan kanker.

Semua masalah ini bersumber dari ketidaktahuan masyarakat atas penggunaan deterjen. Banyak masyarakat beranggapan bahwa deterjen yang menghasilkan banyak busa, akan membersihkan pakaian lebih optimal. Hal ini makin disesatkan dengan adanya iklan produk deterjen yang malah menawarkan busa melimpah. Padahal, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, busa yang dihasilkan deterjen tersebut akan menjadi limbah yang sulit terurai dan mencemari lingkungan. Ditambah dengan tidak adanya sosialisasi dari pemerintah mengenai bahaya deterjen.

Perlu adanya edukasi sejak dini kepada masyarakat tentang penggunaan deterjen. Seperti pendidikan lingkungan dari Toyama di Jepang. Mereka mengajarkan kepada sekolah menengah tentang pembelajaran dari penyakit pencemaran, upaya tujuan pembangunan kota, dan pemisahan sampah sehingga mereka memahami penggunaan busa deterjen dan dampak negatifnya. Mengenai hal tersebut, pemerintah bisa mengupayakan edukasi tentang penggunaan deterjen kepada masyarakat, baik melalui iklan deterjen, pengetahuan di kurikulum sekolah, ataupun sosialisasi dari pemerintah setempat.

Selain itu, solusi terbaik yang bisa dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan yaitu tindakan dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat dapat memulai dari hal yang kecil dengan memilih produk deterjen yang ramah lingkungan. Deterjen dapat dikatakan ramah lingkungan jika kandungan fosfat dan Natrium hidroksida (NaOH) yang sedikit dibandingkan dengan deterjen lain, mudah dibilas, serta menghasilkan busa yang sedikit.

Sekarang ini, sudah cukup banyak perusahaan dan pabrik deterjen yang membuat produknya ramah lingkungan atau eco-friendly, yaitu dengan hadirnya produk deterjen biodegradable. Deterjen biodegradable terbuat dari bahan dan proses lanjutan, mampu terurai secara alami, namun tetap efektif dalam membersihkan kotoran. Selain itu, masyarakat dapat mengurangi dampak dari pencemaran deterjen dengan cara menanam tanaman yang dapat menyerap limbah, contohnya seperti kiambang dan kangkung. Adanya kandungan mikroba Rhizosfer pada tanaman tersebut membuatnya mampu membantu masyarakat dalam mengurai limbah. 

Seringkali hal seperti ini dianggap sepele oleh masyarakat kini. Padahal, langkah kecil seperti ini menjadi pencegahan dari kerusakan serta kesehatan lingkungan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//