• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Metode Kekerasan tidak Efektif Menanggulangi Bahaya Terorisme

MAHASISWA BERSUARA: Metode Kekerasan tidak Efektif Menanggulangi Bahaya Terorisme

Penyiksaan menggunakan kekerasan secara fisik dan mental tidak efektif pada para terpidana terorisme yang beberapa dari mereka bahkan “tidak takut mati".

Jareisha Ivana Kyla

Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Terorisme menjadi masalah yang dihadapi negara-negara di dunia termasuk Indonesia. (Desain: Jareisha Ivana Kyla/ mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan)

9 Juli 2023


BandungBergerak.idTerorisme sejak dulu telah menjadi sebuah tantangan yang kerap dihadapi oleh berbagai macam negara di dunia, salah satunya Indonesia. Dalam memerangi terorisme, Indonesia telah menggunakan berbagai macam metode untuk dapat memberantas gerakan yang terdorong paham radikal ini. Kendati demikian, Indonesia belum memiliki perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang cukup matang untuk menjalankan program deradikalisasi.

Hingga saat ini praktik deradikalisasi masih dikelola dan dijalankan oleh lembaga pemasyarakatan (Lapas) sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing lapas dalam menerapkan metodenya. Pendekatan digunakan dengan berbagai cara, mulai dari cara halus hingga kekerasan demi menyadarkan dan mengaplikasikan program deradikalisasi ini. Namun apakah cara halus maupun kekerasan benar-benar efektif untuk menyadarkan tiap-tiap narapidana terorisme di penjara?.

Metode kekerasan dinilai efektif oleh beberapa orang karena menyebabkan guncangan mental yang cukup signifikan bagi para pelaku pidana. Salah satu metode yang digunakan untuk memberikan siksaan psikologis bagi para narapidana ialah penerapan Sel Tikus untuk mengisolasi narapidana yang sulit diatur. Keberadaan Sel Tikus tentunya menyiksa para pelaku kejahatan dengan cara melumpuhkan mental bahkan fisik mereka yang terkurung di dalamnya. Dengan rata-rata ukuran ruangan hanya sekitar 1x1,5 meter, sinar matahari pun tidak dapat menembus sel ini. Para terpidana juga harus melakukan segala aktivitas di dalam sel tanpa adanya kesempatan untuk keluar dalam jangka waktu yang cukup lama.

Penyiksaan menggunakan kekerasan secara fisik juga kerap kali digunakan untuk metode interogasi. Berdasarkan data dari tujuh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), terdapat 28 kasus kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Namun, cara-cara kekerasan tidak efektif untuk diaplikasikan pada para terpidana terorisme yang beberapa dari mereka bahkan “tidak takut mati”. Hal ini berdasar pada paham jihad dan mati syahid yang mereka anut sehingga cara penyiksaan maupun kekerasan hanya akan semakin menguatkan iman mereka dan tidak menyadarkan mereka dari penyimpangan paham yang selama ini mereka yakini.

Kebanyakan dari pelaku terorisme dikuasai pemikiran yang penuh kebencian terhadap kaum-kaum yang tidak sepaham dengan mereka. Kelompok ini seperti telah dibutakan oleh ideologi menyimpang yang mereka anut sehingga menganggap semua orang di luar kelompok mereka adalah salah dan perlu mendapat balasan yang kejam. Dari sini diperlukan adanya pendekatan secara halus, bahwa para terpidana dari kelompok radikal ini perlu diperlakukan secara baik dan manusiawi oleh lingkungan lapas yang dihuni orang-orang beragam latar belakang di luar ajaran syariat mereka.

Diharapkan dengan melihat kebaikan dan akhlak mulia dari lingkungan sekitar dapat meluluhkan hati pelaku terorisme dan memunculkan adanya rasa toleransi ketika ia dibebaskan nanti. Akan tetapi cara ini tidak menjamin konsistensi perilaku yang akan ditunjukkan oleh para pelaku apabila mereka dibebaskan nanti dan dihadapkan dengan lingkungan individu yang berbeda dengan yang mereka temui di dalam penjara.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mudarat PLTU Batu Bara Kita!
MAHASISWA BERSUARA: Perjanjian Perkawinan, Pentingkah?
MAHASISWA BERSUARA: Belajar dari Keberhasilan Singapura Mengolah Sampah

Program Deradikalisasi

Terorisme merupakan masalah serius yang mengancam berbagai aspek, bahkan merusak suatu bangsa. Menanggulangi terorisme memerlukan keterlibatan dari berbagai kalangan masyarakat. Imam Rozi, salah satu dari eks teroris yang bertaubat mengatakan, menanggulangi teroris tidak hanya memerlukan peran eksteroris melainkan seluruh kalangan masyarakat juga harus terlibat.

Dari situlah pemerintah lalu sampai pada metode kesimpulan yaitu deradikalisasi. Dengan metode ini pemerintah tidak hanya memberikan tanggung jawab kepada lembaga kepolisian dan lembaga pemasyarakatan, namun juga ikut melibatkan lembaga-lembaga lain di luar kedua lembaga tersebut, seperti Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial yang ikut berpartisipasi untuk mengedukasi masyarakat mengenai radikalisasi itu sendiri dan membantu sesuai kapasitas dan kewenangan masing-masing lembaga.

Proses deradikalisasi merupakan bentuk dari pendekatan dengan cara halus namun jauh lebih berintegritas dan sistematis. Deradikalisasi dalam prosesnya mencoba untuk menggeser ideologi yang dianut oleh para pelaku, salah satu caranya dengan mendatangkan ulama-ulama yang mampu menyadarkan dan meluruskan ajaran yang selama ini menyimpang.

Pemisahan antara tahanan teroris dan tahanan teroris lainnya juga dilakukan agar tidak adanya tindakan saling mempengaruhi yang menyebabkan kumatnya pemikiran menyimpang mereka. Setelah diberlakukan metode deradikalisasi ini, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar mengklaim Indeks Risiko Terorisme di Indonesia mengalami penurunan di tahun 2022 sebanyak 2,2 persen dari 12,2 persen di tahun 2020 menjadi 10 persen.

Metode Kekerasan tidak Efektif

Indonesia dan negara-negara lainnya yang juga menghadapi masalah terorisme telah melakukan bermacam upaya dengan mencoba berbagai metode yang cocok untuk diaplikasikan di negaranya. Hal ini dikarenakan terorisme merupakan ancaman serius yang membutuhkan adanya penanganan khusus.

Penggunaan metode kekerasan ternyata tidak efektif dalam menyadarkan para pelaku walaupun secara psikologis efektif untuk mengguncang mental seseorang. Namun terpidana terorisme merupakan individu yang berideologi kuat dan berlandaskan atas kepercayaan suatu agama sehingga sulit untuk menggoyahkan prinsip mereka. Beralih pada cara halus yang kurang sistematis juga tidak begitu memberikan dampak berjangka panjang dalam meluruskan pemikiran pelaku karena dikhawatirkan ketika ia dihadapkan dengan situasi yang berbeda akan kembali terbuai oleh ajakan oknum di luar penjara saat mereka dibebaskan.

Deradikalisasi lalu menjadi solusi yang dipilih pemerintah dalam memerangi serangan ini. Metode ini melibatkan pendekatan secara halus yang dikombinasikan dengan metode isolasi, sehingga cara ini diklaim oleh pemerintah efektif untuk mengurangi angka terorisme di Indonesia tiap tahunnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//