• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Perjanjian Perkawinan, Pentingkah?

MAHASISWA BERSUARA: Perjanjian Perkawinan, Pentingkah?

Hukum Indonesia mengenal dan mengakui perjanjian perkawinan. Sebaiknya disahkan dan dicatatkan dalam akta nikah.

Anastasya Michelle

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Perjanjian perkawinan patut dipertimbangkan dalam sebuah perkawinan. (Ilustrasi: Anastasya Michelle)

4 Juli 2023


BandungBergerak.id – Perkawinan adalah pertalian lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga. Pertalian perkawinan akan diharapkan untuk berlangsung seumur hidup  sehingga perkawinan harus dilakukan dengan persiapan yang cukup matang agar rumah tangga dapat berjalan dengan harmonis. Rumah tangga yang harmonis merupakan impian masyarakat banyak karena jika tidak harmonis sering kali akan muncul keretakan dalam perkawinan. Keretakan muncul karena tidak dijalankannya hak dan kewajiban suami istri dengan baik yang dapat mengakibatkan terjadinya pertengkaran. Pertengkaran yang berlarut-larut seringkali membuat perkawinan berakhir pada perceraian, bahkan pertengkaran dapat tetap berlanjut setelah perceraian karena adanya perebutan hak asuh anak dan sengketa mengenai pembagian harta perkawinan.

Proses perceraian dapat memakan waktu lebih lama karena sangat mungkin terjadi bahwa salah satu pihak merasa pembagiannya tidak adil sehingga proses peradilan berlanjut ke tingkat banding dan kasasi. Akan berbeda, jika para pihak telah membuat perjanjian perkawinan, hakim dalam memproses sengketa perceraian akan melihat isi perjanjian perkawinan sehingga suami dan istri harus dapat menerima keputusan hakim yang didasarkan pada isi perjanjian perkawinan yang telah disepakati sebelumnya. Oleh karena itu, perjanjian perkawinan perlu dipertimbangkan sebagai model untuk mengantisipasi terjadinya konflik dalam perkawinan dan melindungi pasangan suami istri dari kemungkinan terburuk.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Rahasia Gelap dalam Seduhan Teh
MAHASISWA BERSUARA: Legalisasi Aborsi Bukan Solusi
MAHASISWA BERSUARA: Pemerintah Gagal Mengelola Sampah Kota Bandung?

Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan merupakan model yang banyak diterapkan dalam perkawinan masyarakat barat seperti di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Hukum perkawinan nasional Indonesia, dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengakui dan memperbolehkan dibuatnya perjanjian perkawinan dalam suatu perkawinan. Akan tetapi, di Indonesia model perjanjian perkawinan masih jarang digunakan karena dipengaruhi oleh hukum agama dan hukum adat yang menganggap bahwa perkawinan adalah ibadah dan ikatan suci, sehingga masyarakat Indonesia memandang perjanjian perkawinan sebagai sesuatu yang tabu, tidak etis, dan materialistis. Padahal, membuat perjanjian perkawinan tidak berarti bahwa suami dan istri tidak mempercayai pasangannya, perjanjian perkawinan justru digunakan untuk melindungi pihak-pihak dalam keluarga yaitu suami dan istri bahkan anak sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diharapkan. Sama halnya seperti mengikuti program asuransi kesehatan, bukan berarti seseorang mengharapkan dirinya akan sakit-sakitan, melainkan untuk berjaga-jaga di awal akan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi di kemudian hari.

Perjanjian perkawinan umumnya berkaitan dengan harta perkawinan, hak dan kewajiban pasangan, hingga pengaturan apabila terjadi perceraian. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenal konsep percampuran harta, sehingga harta yang diperoleh selama perkawinan adalah milik bersama suami istri. Suami dan istri yang tidak ingin harta mereka bercampur dalam perkawinan umumnya akan membuat perjanjian perkawinan untuk memisahkan harta kekayaan mereka.

Dalam pemisahan harta perkawinan, suami atau istri tidak membutuhkan persetujuan pasangan (spousal consent) dalam melakukan perbuatan hukum terhadap harta bendanya. Ketika suami atau istri ingin mengajukan fasilitas kredit, tidak diperlukan persetujuan pasangan karena nantinya hutang akan menjadi tanggung jawab perorangan suami atau istri yang membuat perjanjian kredit tersebut.

Menjamin Pengaturan Hak dan Kewajiban

Dalam hal terjadi perceraian, perjanjian perkawinan dapat mempermudah perhitungan dan pembagian harta perkawinan karena telah diatur dan disepakati di awal. Selain mengenai harta dalam perkawinan, perjanjian perkawinan dapat berkenaan dengan hak dan kewajiban suami dan istri. Perjanjian perkawinan dapat berisi pembagian peran dalam berumah tangga yang meliputi tanggung jawab suami dan istri dalam memenuhi kebutuhan, tanggung jawab keuangan, dan pengelolaan rumah tangga. Di samping tanggung jawab antara suami dan istri, tanggung jawab yang diatur dapat juga meliputi tanggung jawab terhadap anak. Perawatan dan pendidikan anak dapat diatur secara khusus dalam perjanjian perkawinan sehingga hak anak dapat dilindungi, bahkan juga tanggung jawab masing-masing pihak ketika terjadi perceraian seperti halnya hak asuh anak. Misalnya, dalam perjanjian perkawinan telah diatur bahwa ketika terjadi perceraian karena perselingkuhan, maka pihak yang diselingkuhi menjadi pihak yang berhak dalam mengasuh anak.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015 memaknai perjanjian perkawinan bukan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan tapi juga selama ikatan perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan mensyaratkan adanya kesepakatan yang berarti harus terdapat kesukarelaan dari kedua pihak, suami dan istri, untuk membuat perjanjian perkawinan. Dibutuhkan juga keterbukaan dalam merumuskan hal-hal yang perlu diatur bersama dalam perjanjian perkawinan.

Suami dan istri memiliki kebebasan dalam menentukan isi perjanjian perkawinan selama tidak melanggar hukum, agama, dan kesusilaan. Oleh karena itu, perjanjian perkawinan membutuhkan adanya pengesahan oleh pejabat pencatat nikah yang mengakibatkan perjanjian perkawinan memiliki kekuatan mengikat kedua belah pihak bahkan terhadap pihak ketiga. Perjanjian perkawinan juga akan dimuat dalam akta perkawinan, sehingga perjanjian perkawinan yang sudah disepakati harus menjadi pegangan dalam berumah tangga. Keberlangsungan perkawinan dapat lebih terjamin karena suami dan istri harus mematuhi isi perjanjian perkawinan yang akan menciptakan rasa aman dan nyaman karena hak dan kewajiban sudah teratur dengan jelas sehingga konflik dapat dihindari.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//