• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Legalisasi Aborsi Bukan Solusi

MAHASISWA BERSUARA: Legalisasi Aborsi Bukan Solusi

Ada kompleksitas di balik persoalan mengenai aborsi. Solusinya pun tidak semata-mata dapat diselesaikan dengan tataran legalisasi aborsi.

Christin Vincencia Simbolon

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Konsultasi kesehatan di bagian layanan ibu dan anak Puskesmas Tamblong, Bandung, Kamis (17/12/2020). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

3 Juli 2023


BandungBergerak.id – Aborsi merupakan praktik pengguguran kehamilan dengan cara merusak janin untuk mengakhiri kehamilan. Dilansir dari artikel Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenai aborsi, para peneliti memperkirakan kurang lebih 2 juta aborsi yang di induksi terjadi di Indonesia dan di Asia Tenggara setiap tahunnya dan sekitar 8% dari klien yang melakukan tindakan aborsi merupakan anak di bawah umur. Tindakan aborsi biasanya didorong oleh suatu kehamilan yang tidak diinginkan, hal ini bisa saja disebabkan oleh beberapa faktor tertentu. Faktor-faktor tersebut yakni kehamilan di luar pernikahan, ketidakmampuan ekonomi, minimnya dukungan dari keluarga, pertikaian dengan pasangan, dan lainnya.

Aborsi masih menjadi isu hangat yang sangat kontroversial dan telah diperdebatkan selama beberapa dekade. Hal ini melibatkan keseimbangan antara hak janin dan hak wanita. Di satu sisi, janin memiliki hak untuk hidup dan berkembang dengan baik, namun aborsi dapat mengingkari hak tersebut. Di sisi lain, wanita memiliki hak otonomi tubuh dan memiliki hak untuk membuat keputusan terhadap tubuhnya sendiri. Janin memiliki hak untuk hidup dan berkembang dengan baik, oleh sebab itu hak tersebut sudah seharusnya dilindungi oleh negara. Legalitas aborsi adalah masalah kompleks yang melibatkan keseimbangan hak-hak perempuan dan janin, serta pertimbangan kesehatan dan keselamatan masyarakat.

Undang-undang mengenai aborsi berbeda-beda di setiap negara dan telah menjadi bahan perdebatan politik dan hukum. Beberapa berpendapat bahwa aborsi harus legal dan dapat diakses oleh semua wanita, sementara yang lain percaya bahwa aborsi harus dibatasi atau dilarang sama sekali. Namun di Indonesia, aborsi merupakan tindakan terlarang, baik dari segi hukum positif yang berlaku, hukum adat, maupun hukum agama. Maka tindakan aborsi dilarang secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 346 yang berbunyi, “Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.”

Mengenai legalitas tindakan aborsi tentunya dapat menuai pro dan kontra. Beberapa orang tentunya berpendapat bahwa hak untuk melakukan aborsi merupakan hak asasi manusia yang mendasar. Namun jika kita berbicara melalui perspektif hukum positif yang berlaku di Indonesia, melalui hukum adat, dan melalui hukum agama, kita dapat menemukan bahwa tindakan aborsi bukanlah suatu tindakan yang tepat untuk dilakukan.

Keputusan untuk mengakhiri kehamilan itu rumit, dengan banyak faktor yang berperan. Etika, keyakinan pribadi, dan moralitas semuanya dipertanyakan saat mempertimbangkan aborsi, hal tersebut menjadikannya isu kontroversial di kalangan masyarakat. Namun, terlepas dari kontroversinya, ini tetap menjadi topik penting yang membutuhkan pertimbangan dan diskusi yang matang.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mencegah Hak Veto Dewan Kemanan PBB Mencederai Perdamaian dan Keamanan Dunia
MAHASISWA BERSUARA: Besok Sungai Bukan Air tapi Sampah Plastik
MAHASISWA BERSUARA: Rahasia Gelap dalam Seduhan Teh

Perspektif Hukum Positif di Indonesia Mengenai Aborsi

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menentang tindakan aborsi demi melindungi serta menjamin hak untuk hidup sebagai manusia termasuk janin. Indonesia memberikan perhatian yang cukup serius terkait maraknya kasus aborsi akhir-akhir ini. Larangan tindakan aborsi pun secara jelas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan tepatnya dalam Pasal 75 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap individu dilarang melakukan tindakan aborsi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk intervensi negara dalam mencegah bahaya praktik aborsi ilegal.

Lalu dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dalam Pasal 75 ayat (2) dinyatakan beberapa pengecualian dalam larangan mengenai aborsi, yaitu indikasi kedaruratan medis yang terdeteksi pada awal kehamilan, baik yang membahayakan kondisi kesehatan ibu atau janin, yang menderita penyakit genetik  serius atau cacat bawaan maupun yang tidak dapat disembuhkan sehingga dapat mempersulit bayi tersebut untuk hidup di luar kandungan; atau kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma kejiwaan bagi korban pemerkosaan tersebut. Maka tindakan yang disebutkan dengan persyaratan yang terdapat dalam ayat (2) tersebut dapat dilakukan setelah menjalankan proses konseling oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

Perempuan di bawah umur yang melakukan tindakan aborsi akibat pemerkosaan tidak harus di pidana, mengingat trauma psikologis yang dialami oleh perempuan di bawah umur tersebut. Pengguguran kandungan terhadap bayi hasil pemerkosaan mendapatkan pengecualian di mana perempuan di bawah umur tidak dikenakan pidana, hal ini diatur dalam Pasal 75 ayat (2) huruf B UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Segala regulasi yang berkaitan dengan larangan tindakan aborsi merupakan bentuk sinergi pemerintah dalam mempertimbangkan kesehatan dan keselamatan nyawa ibu karena praktik aborsi ini memiliki risiko yang sangat tinggi.

Perspektif Hukum Adat di Indonesia Mengenai Aborsi

Maraknya kasus tindakan aborsi ilegal yang dilakukan di kalangan masyarakat menandakan bahwa Indonesia mengalami krisis terhadap nilai adat yang berlaku. Adat juga merupakan suatu bentuk perwujudan dari kebudayaan atau kebiasaan sebagai tata cara berperilaku yang dilakukan selama turun menurun. Dalam beberapa hukum adat yang berlaku di Indonesia, terdapat peraturan-peraturan yang terkait dengan larangan tindakan aborsi. Sebagai contoh tindakan aborsi ilegal yang dilakukan secara adat yang dilakukan di Nagari Salimpaung. Kasus aborsi ini dilakukan dengan bantuan dukun kampung. Tindakan tersebut tentunya telah melanggar undang-undang dan hukum adat yang berlaku di masyarakat setempat. Kasus aborsi ilegal ini termasuk dalam Undang-Undang Nan Salapan (Hukum Pidana Adat di Minangkabau).

Maka pelaku tindak aborsi termasuk dukun yang membantu tindakan tersebut pun dikenai sanksi hukum adat setempat setelah melalui musyawarah dan mufakat. Pelaku tindak aborsi dikenakan sanksi denda berupa 20 sak semen, sedangkan sanksi yang diberikan kepada dukun tersebut adalah sanksi  siria, dimana dukun kampung ini akan dikucilkan sehingga hak dan kewajiban yang dimiliki pun telah dicabut. Sanksi-sanksi tersebut dilakukan karena pelaku tindak aborsi dan dukun kampung yang membantu tindak aborsi telah melakukan perbuatan yang telah mencemari nama baik kaum dan nama baik kampung Nagari Salimpaung tersebut dan telah melakukan pelanggaran berat berupa tindakan aborsi.

Lalu mengapa penyelesaian  atau sanksi yang diberikan terhadap pelaku dan dukun tersebut tidak sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia melainkan dengan hukum adat yang berlaku di daerah setempat? Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu kuatnya nilai-nilai adat yang masih dipegang oleh masyarakat di Nagari Salimpaung, terdapat aturan yang telah disepakati dan tidak dapat diubah begitu saja oleh para tokoh adat setempat, masyarakat Nagari Salimpaung yang masih berpegang teguh terhadap nilai-nilai sumbang dalam pergaulan di mana nilai-nilai tersebut mengajarkan cara bergaul dan memperlakukan seseorang sesuai norma adat yang berlaku, dan terakhir yaitu masyarakat setempat yang cenderung menerima dan melaksanakan aturan adat yang berlaku tetapi lalai dengan aturan yang tertera dalam undang-undang.

Perspektif Agama Mengenai Aborsi

Tindakan aborsi merupakan salah satu tindakan yang tercela dan dilarang oleh agama. Dalam agama Islam, tidak ada satu pun ayat di dalam Al Quran yang mengizinkan umatnya untuk melakukan tindakan aborsi. Sebaliknya banyak ayat yang mengatakan bahwa janin dalam kandungan sangat mulia, kemudian terdapat banyak ayat yang melarang manusia untuk membunuh. Maka dengan melakukan tindakan aborsi, sama saja merampas nyawa seseorang. Tidak hanya dalam agama islam, namun hal tersebut berlaku juga dalam agama lainnya. Seperti di ajaran agama Hindu, wanita-wanita yang tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai wanita yang suci maka tidak pantas mendapatkan tempat yang layak, baik di dunia maupun di akhirat.

Begitu pula dengan pandangan Gereja Katolik mengenai tindakan aborsi, para umat Katolik berkeyakinan bahwa, "Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara mutlak sejak saat pembuahannya. Sejak awal keberadaannya, hak manusia sebagai manusia harus diakui, termasuk hak hidup yang tidak dapat diganggu gugat, serta dimiliki oleh setiap makhluk yang tidak bersalah.” Oleh karena itu, membunuh janin dianggap sebagai kejahatan yang sangat serius dan tindakan aborsi ditolak secara mentah-mentah. Menurut agama Buddha yang bersumber pada Buddha Pancasila, jelas bahwa melakukan pembunuhan atau aborsi adalah dosa. Ajaran Buddha melawan segala bentuk pembunuhan, apalagi membunuh janin yang tidak bersalah karena ada teori karma dalam agama Buddha yang merupakan teori sebab dan akibat.

Berikut dengan pandangan agama Protestan mengenai aborsi, di mana kehamilan merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, jika Tuhan tidak menghendaki dan mempercayai seorang wanita untuk mengandung, meskipun dia sudah berusaha sebaik mungkin, wanita tersebut tetap tidak bisa hamil. Aborsi adalah suatu tindakan merampas nyawa manusia yang tidak bersalah sehingga dianggap pelanggaran berat. Agama Khonghucu pun memiliki pandangan yang sama terhadap tindakan aborsi ini karena upaya legalisasi aborsi yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Jika terdapat masalah terkait kesehatan seorang ibu dan janin, hal tersebut mendapatkan pengecualian demi keselamatan masing-masing individu baik sang ibu maupun janin yang sedang dikandung.

*

Maka dari itu, dapat kita simpulkan mengingat kompleksitas persoalan mengenai aborsi yang masih menjadi topik sensitif sampai saat ini, maka solusinya pun tidak semata-mata dapat diselesaikan dengan tataran legalisasi aborsi yang diatur dengan baik dalam undang-undang dan regulasi lainnya. Pada tingkat legalisasi aborsi dalam kasus-kasus tertentu yang ditata dalam undang-undang dan ordonansi lainnya. Legalisasi aborsi harus diikuti juga dengan kebijakan lainnya seperti di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pada bidang pendidikan, pemerintah dapat melakukan kegiatan sosialisasi dan edukasi sejak dini mengenai pendidikan seks dan kesehatan reproduksi (PSKR) secara menyeluruh.

Ekonomi juga menjadi faktor determinan dari tindakan aborsi, maka pemerintah juga dapat melakukan pemberdayaan ekonomi untuk meminimalisir tindakan aborsi akibat kemiskinan. Sedangkan dalam konteks sosial budaya, diperlukan adanya pergeseran pola pikir masyarakat mengenai “banyak anak, banyak rezeki,” hal ini harus diluruskan karena anak bukanlah semata-mata beban ekonomi orang tua. Maka segala legalisasi mengenai aborsi jika tidak diwujudkan bersama kebijakan lainnya, tidak akan berjalan dengan efektif. Oleh karena itu, pencegahan tindakan aborsi ini selayaknya dijalankan dengan kualitas pelayanan dan penyuluhan yang disampaikan dengan baik kepada masyarakat luas demi menjunjung tinggi hak asasi manusia seorang perempuan dan anak.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//