• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mencegah Hak Veto Dewan Kemanan PBB Mencederai Perdamaian dan Keamanan Dunia

MAHASISWA BERSUARA: Mencegah Hak Veto Dewan Kemanan PBB Mencederai Perdamaian dan Keamanan Dunia

Hak veto membuat kedudukan negara-negara anggota PBB menjadi tidak seimbang. Diperlukan amandemen Piagam PBB untuk membatasi penggunaan hak veto.

Novian Lie

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Lambang organisasi dunia United Nations atau Persatuan Bangsa-bangsa (PBB). (Sumber: www.un.org)

24 Juni 2023


BandungBergerak.id – Hak Veto adalah hak yang dimiliki anggota permanen Dewan Keamanan organisasi dunia Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) untuk menolak usulan negara anggota Dewan Keamanan PBB lainnya. Anggota-anggota permanen yang dimaksud di atas adalah negara pemenang perang dunia kedua, sekaligus pendiri PBB. Ada lima negara yang memiliki hak veto, yaitu Amerika Serikat, Prancis, China, Rusia, dan Inggris. Akibat dari adanya hak veto ini adalah kekuatan antara negara-negara yang menjadi anggota biasa dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB tidak setara. Contohnya jika 14 negara anggota Dewan Keamanan PBB menyetujui suatu usulan, namun satu negara anggota permanen menggunakan hak vetonya untuk menolak, maka usulan itu akan otomatis ditolak dengan mengabaikan persetujuan anggota lainnya.

Tujuan awal dibuatnya hak veto adalah karena negara-negara yang dulu berkuasa, kelima negara pembentuk tersebut, sepakat bahwa jika mereka satu suara dan saling mendukung maka keamanan dan perdamaian dunia dapat tercapai. Hal ini juga bertujuan untuk menjaga hubungan baik di antara mereka. Namun prakteknya tentu saja tidak sesuai dengan ekspektasi para negara pembentuk dahulu kala. Selain karena kondisi dunia internasional yang sudah berubah, penggunaan hak veto sebetulnya sudah bermasalah sejak dahulu. Bahkan salah satu dari lima negara pemegang hak veto tersebut, yaitu Prancis, sudah menolak keberadaan hak veto.

Mulai dari tahun 1946, sejak pertama kali hak veto digunakan, hingga tahun 2022, hak veto sendiri sudah digunakan sebanyak 262 kali. Dengan pengguna hak veto terbanyak adalah Rusia ebanyak 119 kali. Diikuti oleh Amerika Serikat, yaitu sebanyak 82 kali. Ketiga adalah Britania Raya/ Inggris sebanyak 29 kali. Lalu di posisi terakhir adalah Cina dan juga Prancis dengan jumlah penggunaan yang sama yaitu sebanyak 16 kali saja.

Seiring dengan berkembangnya zaman, tentu saja tujuan dari para perumus piagam PBB mengenai hak veto sudah tidak relevan lagi. Bahkan sering kali penggunaan hak veto tidak sesuai dengan tujuan awal yaitu untuk kedamaian dan keamanan dunia, namun malah digunakan untuk kepentingan nasional masing-masing negara tersebut. Maka dari itu sudah saatnya harus dilakukan perombakan untuk mengatur penggunaan hak veto ini.

Selain itu, para anggota PBB juga berpendapat bahwa keadaan pada masa kini sudah tidak lagi mencerminkan kondisi dunia pada tahun 1945, saat pengesahan Piagam PBB terjadi. Tentu saja kondisi dunia sudah sangat berbeda, mulai dari keamanan, HAM, kebudayaan, perekonomian, serta sosial sudah sangat berubah. Negara-negara yang dulu kalah perang dunia kedua juga sudah pulih seiring jalannya waktu dan bahkan banyak yang sudah menjadi negara maju.

Lihat saja negara Jerman, Jepang, dan Italia, walaupun pada perang dunia kedua negara mereka “kalah”, namun mereka bangkit kembali menjadi negara maju yang sejahtera. Negara-negara lain pun juga banyak yang sudah kuat dari segala aspeknya, seperti ekonomi dan pertahanan. Karena keadaan sudah berubah dan berbeda dari keadaan-keadaan waktu terbentuknya PBB, maka hukum pun haruslah mengikuti perubahan-perubahan dan dinamika yang terjadi di dunia agar jangan sampai diam di tempat. Apalagi PBB merupakan salah satu organisasi internasional yang paling penting dalam menjaga kestabilan perdamaian dunia.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mencari Hukuman Setimpal untuk Koruptor
MAHASISWA BERSUARA: Penggunaan Batu Kali untuk Bangunan Sederhana Tahan Gempa
MAHASISWA BERSUARA: Fitur Bayar Tunda, Gaya Hidup Konsumtif, dan Pendidikan Literasi Keuangan

Konflik Rusia-Ukraina

Contoh nyata pada masalah ini adalah pada tahun 2014 saat Rusia menganeksasikan semenanjung Crimea milik Ukraina. Rusia menggunakan hak vetonya untuk menolak usulan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyatakan bahwa penganeksasian yang dilakukan oleh Rusia pada Ukraina adalah ilegal dan harus dihentikan. Rusia adalah satu-satunya negara yang menolak usulan resolusi tersebut karena jelas merekalah yang berkepentingan, sedangkan China sebagai sekutu Rusia memberikan suara abstain. Tentu saja, hasil dari penolakan tersebut sangat menguntungkan kepentingan Rusia karena berhasil menggagalkan usulan resolusi tersebut dengan tidak memedulikan pendapat negara-negara lain yang mengecam tindakan agresif Rusia yang mengancam keamanan serta perdamaian dunia. Jika tidak memiliki hak veto, maka tindakan Rusia bisa dengan cepat diintervensi oleh PBB sehingga tidak menimbulkan kerusakan lebih jauh serta mengancam keamanan dan perdamaian dunia internasional.

Kejadian penganeksasian yang dilakukan Rusia pada tahun 2014 tersebut memanaskan hubungan kedua negara, sehingga pada tahun 2022 kemarin Rusia melakukan agresi militer dan menempati beberapa wilayah Ukraina. Dalam hal ini, Dewan Keamanan PBB kembali mengusulkan sebuah resolusi yang isinya adalah untuk memerintahkan pasukan bersenjata Rusia untuk mundur dari wilayah Ukraina. Namun, pada 30 September 2022, Rusia kembali menggunakan hak vetonya untuk menolak resolusi tersebut.  Dengan memvetokan resolusi tersebut, pasukan bersenjata Rusia bisa tetap berada di wilayah Ukraina. Perlu diingat di Dewan Keamanan PBB, Rusia berposisi sebagai anggota permanen yang seharusnya menjaga perdamaian dan kedamaian internasional, namun malah bertindak sebagai agresor yang mengancam perdamaian dunia internasional.

Konflik yang berkepanjangan ini pun telah kita rasakan di Indonesia, dan bukan tidak mungkin jika konfliknya berlanjut dampaknya akan menjadi lebih parah. Dampak yang dirasakan lumayan besar bagi Indonesia adalah meroketnya harga minyak dunia. Naiknya harga minyak tersebut secara tidak langsung berdampak pada APBN Indonesia, sehingga pemerintah terpaksa untuk menaikkan harga minyak tanah, seperti BBM, minyak tanah, dan LPG. Selain harga minyak, dampak yang besar juga dirasakan dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, padahal dari dulu kita sudah berusaha semaksimal mungkin agar nilai rupiah menguat.

Dibutuhkan Perubahan Regulasi Hak Veto         

Perubahan regulasi terhadap penggunaan hak veto sudah sering dibawa ke dalam dialog rapat-rapat PBB, namun hingga sekarang masih belum mendapatkan titik terang mencari solusi terbaik untuk mengubah ketentuan veto. Negara Tiongkok dan Prancis  sebagai pemegang hak veto, mendukung akan perubahan yang harus dilakukan. Tiongkok berpendapat bahwa mereka mendukung adanya reformasi untuk memprioritaskan representasi negara-negara berkembang agar negara-negara tersebut bisa memiliki peran yang lebih besar. Prancis juga sudah berupaya dari tahun 2013 dengan membuat proposal untuk mengubah regulasi penggunaan hak veto para anggota permanen Dewan Keamanan PBB. Prancis mengajukan ide bahwa hak veto tidak boleh dipakai dalam kasus mass atrocity atau kekejaman massal, termasuk genosida, kejahatan kemanusiaan, dan perang berskala besar. Namun pada usulan ini, Prancis hanya menekankan pada kesukarelaan serta kolektivita. Jadi, tidak ada perubahan pada Piagam PBB.

Menurut penulis sendiri, untuk mengubah regulasi dan mereformasi penggunaan hak veto adalah dengan mengamandemen Piagam PBB itu sendiri. Hak veto diatur pada Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Amandemen Piagam PBB sendiri dimungkinkan dalam ketentuan pasal 108 Piagam PBB.

Amandemen Piagam PBB sudah pernah dilakukan pada 5 pasalnya. Pada tahun 1965 ada tiga pasal Piagam PBB yang di amandemen yaitu Pasal 23 untuk memperbesar jumlah anggota Dewan Keamanan dari 11 anggota menjadi 15 anggota, Pasal 27 dengan mengubah minimal perolehan suara dalam Dewan Keamanan dari 7 menjadi 9, serta Pasal 61 yang memperbesar jumlah anggota Dewan Ekonomi Sosial PBB dari 18 menjadi 27 anggota.

Lalu pada tahun 1968 dilakukan amandemen Pasal 109 Piagam PBB yakni mengubah persyaratan untuk konferensi umum negara-negara anggota dalam usaha meninjau piagam. Terakhir adalah tahun 1973 dengan amandemen Pasal 61 Piagam PBB untuk kembali memperbesar jumlah anggota Dewan Ekonomi-Sosial PBB dari 27 menjadi 54 anggota. Jadi, bukannya tidak mungkin untuk kembali mengamandemen Piagam PBB untuk mengubah ketentuan hak veto.

Perubahan-perubahan yang dimaksudkan dalam amandemen tersebut bisa bermacam-macam. Ide pertama adalah untuk membatasi pemakaian hak veto anggota permanen PBB agar tidak bisa dipakai dalam kasus di mana negara itu sendirilah yang menjadi negara pihak, terutama jika negara tersebut yang bertindak sebagai agresor. PBB harus bisa melihat dari pengalaman dan sejarah penggunaan-penggunaan hak veto untuk melakukan pembatasan semacam ini bisa diberlakukan. Contohnya adalah dalam kasus Rusia melawan Ukraina tadi, di mana PBB gagal memerintahkan pasukan bersenjata Rusia untuk mundur karena resolusinya divetokan oleh Rusia. Ide berikutnya adalah sama seperti ide negara Prancis, yaitu hak veto tidak boleh dipakai apabila sedang menghadapi kasus berupa mass atrocity atau kekejaman massal.

Tujuan awal adanya hak veto  sudah tidak sesuai lagi dengan banyaknya penyalahgunaan yang mana malah mengancam keamanan dan perdamaian dunia. Selain itu, dengan adanya hak veto, maka kedudukan antara negara-negara di PBB menjadi tidak seimbang. Maka dari itu, penggunaan hak veto haruslah secepatnya dilakukan upaya regulasi atau dirombak secara sebagian maupun keseluruhan sebelum ancaman tersebut menjadi lebih serius lagi dalam merusak perdamaian dunia internasional.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//