• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mudarat PLTU Batu Bara Kita!

MAHASISWA BERSUARA: Mudarat PLTU Batu Bara Kita!

Fasilitas kesehatan di pelosok dan luar Jawa masih sangat kurang. Biaya pembangunan PLTU batu bara sebaiknya dialokasikan untuk fasilitas kesehatan tersebut.

Evan Widodo

Mahasiswa Teknik Kimia Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Gambar grafik pie chart dari Finahari, dkk., 2007 tentang komposisi penyusun gas rumah kaca dari pembakaran batu bara. (Tangkapan Layar dari Penulis: Penelitian Finahari, dkk., 2007)

8 Juli 2023


BandungBergerak.idPembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Indonesia mengalami pertumbuhan tertinggi di kawasan negara-negara anggota forum G20 (19 negara utama dan Uni Eropa), yaitu sekitar 22,6 persen selama periode 2017 hingga 2021 (Ahidat,A.,2022). Batu bara menjadi bahan utama dalam pembangkit listrik ini.

Pembangunan PLTU batu bara memiliki banyak sekali dampak negatif. Dampak negatif yang dihasilkan tidak hanya pada lingkungan, namun juga bagi perekonomian, kesehatan, dan sebagainya. Pemerintah sebagai pihak yang memberi perizinan pembangunan PLTU batu bara seharusnya menolak pembangunan PLTU batu bara dikarenakan gas emisi dan bahaya lain yang dikeluarkan oleh PLTU.

Batu bara merupakan arang yang diambil dari dalam tanah dan sudah beumur ratusan tahun (Fosil) dan berasal dari tumbuhan darat, tumbuhan air, dan sebagainya dan sudah berubah menjadi batu (KBBI). Pembakaran dari PLTU batu bara menghasilkan berbagai macam gas berbahaya, di antaranya gas CO2, NOx, SO2.

Ketiga gas tersebut merupakan jenis-jenis gas berbahaya, salah satu dampaknya dapat mengakibatkan meningkatknya efek rumah kaca (pemanasan global). Gas CO2 merupakan hasil dari pembakaran sempurna bahan bakar hidrokarbon dengan udara. Gas ini memiliki peran yang penting dalam efek rumah kaca [lihat gambar grafik pie chart dari Finahari, dkk., 2007 tentang komposisi penyusun gas rumah kaca dari pembakaran batu bara, di atas].

Dari grafik Finahari,dkk., dapat dilihat bahwa komposisi terbesar penyusun efek gas rumah kaca merupakan CO2 (49 persen), pembakaran batu bara secara terus menerus akan menghasilkan gas CO2 yang jumlahnya tidak sedikit. Pembakaran Gas CO2 PLTU batu bara mengalami peningkatan sebesar 14,7 persen hanya dalam kurun waktu setahun. Angka tersebut bukan angka yang bisa dianggap remeh. Selain itu juga pada tahun 2010, kebutuhan bahan bakar untuk PLTU batu bara mencapai angka 71,9 juta ton pertahunnya (Finahari, dkk., 2007).

Selain bahaya dari gas emisi yang dihasilkan oleh PLTU batu bara, biaya yang dibutuhkan untuk membangun suatu PLTU batu bara tidaklah murah. Contohnya proyek PLTU Jepara yang menelan biaya hingga 56 triliun rupiah (Merdeka.com). Dengan dana sebanyak itu tentunya dapat dialokasikan untuk hal lain yang lebih berdampak bagi masyarakat, seperti untuk biaya membangun fasilitas kesehatan atau untuk pembangunan jalan tol, bantuan sosial, dan sebagainya.

Penulis menganggap bahwa fasilitas kesehatan di Indonesia saat ini bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya masih sangat kurang terutama di daerah pelosok dan luar Jawa, sehingga biaya pembangunan PLTU batu bara bisa dialokasikan untuk membangun fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik, dan sebagainya. Selain pembangunan fasilitas kesehatan, pemerintah juga dapat mengalokasikan dana pembangunan PLTU batu bara untuk infrastruktur khususnya daerah luar Jawa. Saat ini pemerintah sedang berusaha untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN, dana pembangunan PLTU batu bara tentunya akan lebih baik bila dialokasikan untuk mempercepat pembangunan IKN. Infrastruktur jalan tol di luar Jawa juga masih sangat minim. Pemerintah seharusnya lebih memikirkan hal tersebut yang jelas-jelas berhubungan langsung dengan rakyat.

Beberapa waktu yang lalu tepatnya pada tanggal 17 april 2023, Presiden Joko Widodo yang menjadi pembicara di acara pameran industri di Hanover Messe, Jerman mengatakan bahwa ia akan menutup PLTU batu bara pada 2025. Walaupun perkataan presiden tersebut disanggah oleh pihak istana. Pihak istana mengatakan bahwa tahun 2025, 23 persen energi berasal dari EBT sedangkan tahun 2050 seluruh pembangkit listrik batu bara baru ditutup (Fadilah,2023).

Hingga saat ini PLTU batu bara masih menjadi sumber energi listrik utama di Indonesia. Dengan menutup PLTU batu bara, maka presiden Jokowi harus memikirkan solusi pengganti batu bara sebagai bahan utama pembangkit listrik.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Menara Gading
MAHASISWA BERSUARA: Legalisasi Aborsi Bukan Solusi
MAHASISWA BERSUARA: Sekalinya Coldplay Datang

Sumber Daya Alam Indonesia

“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” demikian penggalan lirik lagu Kolam Susu milik band jadul Koesploes, yang mengilustrasikan secara jelas betapa kayanya negara kita. Indonesia memiliki berbagai macam sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh rakyat, sinar matahari yang menyinari wilayah Indonesia juga merupakan sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan. Maka dari itu kita sebagai masyarakat Indonesia sudah sepantasnya menggunakan segala sumber daya alam yang terbaharukan untuk seluruh kebutuhan kita.

Pembangunan pembangkit listrik dengan energi terbaharukan memiliki dampak positif yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan pembangunan PLTU batu bara. Contoh, pemanfaatan energi terbarukan ini adalah penerapannya pembangkit listrik tenaga angin (PLTA), atau yang sudah mulai banyak diterapkan di Indonesia adalah PLTA dengan tenaga utama air. Kedua pembangkit listrik tersebut jauh lebih ramah lingkungan, tidak membutuhkan biaya yang besar dalam perawatannya dan jauh lebih mudah.

Saat ini sudah banyak negara yang menerapkan green energy, energi terbarukan sudah mulai dipilih. Jadi, menurut penulis seharusnya pemerintah Indonesia menghentikan pembangunan PLTU batu bara dan beralih ke energi yang lebih terbarukan dan ramah lingkungan.

Bila kita melihat betapa bahayanya gas emisi PLTU batu bara dan banyaknya biaya yang dibutuhkan untuk membangun suatu PLTU batu bara, maka pemerintah Indonesia seharusnya menghentikan pembangunan PLTU batu bara dan menggantinya dengan alternatif baru seperti PLTA dan pembangkit listrik terbarukan lainnya. Selain itu menurut penulis seharusnya pemerintah memikirkan tidak hanya masa kini namun masa depan dari bumi dan Indonesia. Bila kita terus menerus menggunakan energi fosil yang menghasilkan gas emisi bahaya, maka dampak buruk seperti global warming, climate change dan dampak buruk lainnya baik secara cepat ataupun lambat akan menghampiri kita.

Marilah kita sebagai warga negara yang bijak mulai memikirkan dampak dari pemakaian fosil seperti batu bara sebagai pembangkit listrik. Pikirkan bagaimana anak cucu kita yang tidak dapat menikmati batu bara karena habis digunakan oleh manusia-manusia rakus saat ini.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//