Co-firing Biomassa, Akal-akalan Memperpanjang Umur PLTU

Koalisi untuk Energi Bersih (Kutub) Jawa Barat menolak teknologi co-firing. Dituding solusi palsu menurunkan emisi, dan akal-akalan demi memperpanjang usia PLTU.

Amel dari Trend Asia sedang memaparkan persoalan co-firing biomassa yang dinilai akan menggunakan Hutan Tanaman Energi (HTE) dan menimbulkan deforestasi, di Hotel Tebu, Bandung, Rabu (15/3/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul16 Maret 2023


BandungBergerak.id – Teknologi co-firing biomassa dijadikan solusi oleh pemerintah sebagai energi bersih. Koalisi untuk Energi Bersih (Kutub) Jawa Barat menyatakan bahwa teknologi ini merupakan solusi palsu. Co-firing biomassa yang diklaim sebagai energi baru terbarukan (EBT) merupakan skema akal-akalan untuk memperpanjang usia PLTU di Indonesia.

Co-firing proses substitusi batu bara sebagian batu bara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan produk biomassa seperti pelet kayu, serbuk gergaji atau serbuk kayu, Refuse Derived Fuel (RDF), sekam padi, cangkang sawit, dan lainnya. Substitusi bahan bakar dengan biomassa pada teknologi co-firing hanya 10%, sisanya, 90% menggunakan energi utama yaitu batu bara.

Wahyudin, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat menyebutkan, pada tahun 2015 Walhi pernah melakukan riset di desa terdekat dengan PLTU 1 Indramayu dan PLTU Sukabumi. Hasil yang ditemui adalah setelah kegiatan pembangkitan listrik efektif berjalan, gangguan kesehatan masyarakat, seperti infeksi saluran pernapasan (Ispa) dan gatal-gatal meningkat.

Ketika musim kemarau, misalnya di Desa Tegal Taman, desa terdekat dengan PLTU 1 Indramayu, bottom ash atau abu sisa pembakaran batu bara yang menumpuk dan kondisi yang panas mengakibatkan ledakan. Ledakan ini pula masuk hingga pemukiman rumah warga.

Iwang, demikian ia kerap disapa menyebutkan gangguan kesehatan banyak dialami oleh usia anak-anak dan usia lansia. Lantas di tahun 2020, co-firing digadang-gadang dapat menurunkan risiko emisi dan mengurangi karbon. Iwang menegaskan bahwa skema co-firing tidaklah menjawab terkait permasalahan pencemaran.

“Kami melakukan pengorganisasian baik di PLTU Indramayu dan PLTU Pelabuhan Ratu dengan nelayan di sana, mereka menyatakan udara malah semakin buruk kondisinya saat ini. Warga menyatakan sering kali melihat abu pekat hitam yang keluar dari cerobong PLTU setelah co-firing,” terang Iwang pada konferensi pers  Peluncuran Kertas Posisi “Jawa Barat dalam Ancaman Solusi Palsu Energi Terbarukan” di Hotel Tebu, Bandung, Rabu, (15/3/2023).

Kedua PLTU tersebut belakangan sudah menjalankan co-firing menggunakan serbuk kayu (sawdust). Baik aktivitas PLTU maupun co-firing biomassa sama sekali tidak diharapkan oleh masyarakat setempat. Sebab, Iwang menyebutkan, dari pengakuan warga, asap pekat yang dihirup tidak enak dirasakan dan sering menyebabkan pusing.

Skema transisi energi ke energi yang lebih bersih melalui energi baru terbarukan dinilai hanya wacana. Sebab, pemerintah provinsi (Pemprov) Jabar sebetulnya belum berani memensiunkan dini PLTU sepenuhnya tanpa solusi co-firing.

Kebutuhan Jabar dengan batu bara pun masih tinggi, hal ini dirujuk pada dokumen Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Jabar. Konsumsi batu bara meningkat hingga 69,43 juta ton di tahun 2050. Adapun kebutuhan ini bukan hanya untuk PLTU, tapi juga kebutuhan untuk industri tekstil, semen, dan lainnya.

“Artinya kebutuhan batu bara masih tinggi dan itu menandakan komitmen pemprov masih lemah baik dari dokumen kebijakan RUED serta RUPTL PLN, untuk bertransisi energi ke energi baru terbarukan ini masih wacana belaka,” terang Iwang.

Selain itu, PLN telah meneken MoU dengan Perhutani dan PTPN untuk mendukung dua PLTU di Jabar yang sudah melakukan skema co-firing, yaitu PLTU I Indramayu dan PLTU Pelabuhan Ratu. Kesepakatan itu dilakukan untuk memastikan pasokan biomassa untuk co-firing PLTU di Jawa Barat.

Perhutani sudah menyiapkan Kelompok Petani Hutan (KPH) di empat lokasi, yaitu Sukabumi, Purwakarta, Sumedang, dan Indramayu untuk mengembangkan tanaman biomassa jenis gamal dan kaliandra. Hingga September 2022, penggunaan biomassa untuk kedua PLTU tersebut berjumlah 18-20 ton biomassa yang berbentuk serbuk gergaji.

Pengembangan tanaman untuk biomassa ini pula berpotensi muncul masalah baru, misal lokasi lahan yang tidak transparan apakah di lahan produktif, hutan adat, hutan lindung, atau seperti apa. Iwang menegaskan, dengan kerja sama skema co-firing yang sudah terjadi, negara tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap transisi energi.

Skema pensiun dini yang direncanakan oleh pemerintah pusat dan seharusnya didukung oleh pemprov juga hanyalah wacana belaka. Sebab skema co-firing akan menambah umur PLTU menjadi semakin lama. Selama skema ini berjalan, masyarakat pula yang akan terus merasakan dampak buruk dari PLTU dan co-firing biomassa.

Baca Juga: Memperingati Bulan Nol Sampah Internasional, Melawan Jargon Salah Kaprah 'Waste to Energy'
Sungai-sungai Indonesia Banjir Mikroplastik, Jawa Barat Peringkat ke-10
Gung Kayon: Memantas Diri pada Alam dengan Panel Surya
Pengurangan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim di Indonesia Memerlukan Pendanaan Berkelanjutan

Cacat Pikir dan Klaim yang Terbantahkan

Di Jawa Barat terdapat 15 pembangkit listrik, empat di antaranya adalah PLTU yang telah beroperasi dan satu PLTU dalam tahap pengembangan. Sisanya ada enam PLTA, tiga PLTP, dan dua PLTGU. Dari 15 pembangkit itu, listrik yang dihasilkan sebesar 8.853,14 Megawatt Hour (MWh). Sedangkan beban puncak tenaga listrik tertinggi pada tahun 2020 sebesar 7.712 MWh. Artinya kelistrikan di Jawa Barat sudah kelebihan suplai (over-supply).

Muit Pelu dari LBH Bandung menyebutkan ada skema palsu yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyiasati agar industri bisa berjalan lancar. Kebutuhan energi yang direncanakan oleh Pemprov Jabar sampai tahun 2025 sebesar 13.535 MWh. Namun sistem ketenagalistrikan di Jawa-Bali kelebihan suplai sekitar 12 MWh.

Muit menyebutkan bahwa ada indikasi energi yang disiapkan ini untuk menyuplai kawasan industri-industri baru di Jawa Barat. Kawasan industri baru ini dinilai akan menimbulkan konflik-konflik baru seperti konflik lahan, agraria, perusakan lingkungan, sosial masyarakat, konflik pangan, dan sebagainya.

“Sebenarnya kemudian ini menjadi pertanyaan, industri energi ini dibangun untuk apa,” ujar Muit dalam konferensi pers.

Di dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) disebutkan bahwa untuk menurunkan laju emisi salah satu skema yang disarankan adalah co-firing biomassa yang digolongkan ke dalam EBT. Ini dinilainya tidak tepat.

Muit beralasan, penggunaan batu bara masih mayoritas dan co-firing dengan pelet kayu sebagai substitusi tidak jelas sumbernya. Jika mengandalkan Hutan Tanaman Energi (HTE) diyakini akan mengakibatkan deforestasi dan manipulasi penentuan kawasan hutan. Dengan skema co-firing biomassa akan memunculkan industri-industri kayu untuk menyokong pasokan biomassa melalui HTE.

“Kalau kita bicara tentang co-firing adalah solusi EBT ini adalah cacat pikir, karena di situ masih menggunakan batu bara dan juga serbuk atau pelet kayu yang dihasilkan dari pohon atau hutan,” ujar Muit.

Muit juga menegaskan bahwa skema-skema yang diberikan oleh pemerintah adalah skema bisnis yang sebenarnya tidak berpihak pada penurunan pencemaran lingkungan. Co-firing biomassa awalnya digadang lebih ramah lingkungan karena pencampuran biomassanya dihasilkan melalui limbah. Namun, dalam RUU EBT biomassa diperluas menjadi lebih jauh, seperit memasukkan produk hasil pertanian, perkebunan dan perhutanan.

Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Trend Asia menyebutkan kata produk kehutanan bisa saja bukan dari limbah perhutanan, tapi merupakan produk kehutanan baru yang utuh. Dengan ini, nantinya Hutan Tanaman Industri (HTI) bisa beralih menjadi HTE di areal konsesi. Sehingga potensi deforestasi akan semakin besar ketika proyek co-firing dijalankan. Klaim co-firing lebih ramah lingkungan karena rendah emisi terbantahkan karena mengorbankan hutan atau lahan untuk mengubah arealnya dan ditanami tanaman energi.

“Masih ada hutan tutupan alam seluas lima juta hektar, dan ini adalah potensi deforestasi yang mungkin terjadi ketika co-firing biomassa yang menggunakan kayu dilaksanakan,” ujar Amalya Reza Oktaviani  yang kerap disapa Amel.

Pemerintah sedang melakukan uji coba co-firing di 52 PLTU di Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merencanakan 10,2 juta ton biomassa untuk mendukung skema co-firing dengan 10% bahan substitusi biomassa sebagai bahan bakar. Dari total perencanaan itu, dibutuhkan 8 juta ton biomassa yang berasal dari produksi HTE.

Amel menyayangkan adanya inkonsistensi data antara Kementerian ESDM dan PLN. Kementerian ESDM merencanakan 10,2 juta ton biomassa sampai tahun 2030,  dengan 8 juta ton di antaranya bersumber dari HTE. Sedangkan PLN merencanakan 10,2 juta ton biomassa sampai tahun 2023, dengan  5 juta ton di antaranya dari HTE.

Selain itu, potensi lahan yang dibutuhkan untuk konsesi beragam tanaman energi berbeda-beda, ini berarti potensi deforestasi yang dapat terjadi.

“Kalau gamal (jenis tanaman energi, red) tadi butuh 7 juta hektar untuk lahan konsesinya, potensi deforestasinya itu 2 juta hektar. Bayangin itu cuma untuk co-firing 10 persen di PLTU, gimana kalau nanti ada pembangkit listrik tenaga biomassa, 100 persen co-firing, kita akan butuh berapa juta hektar untuk HTE,” ujar Amel.

Suasana Konferensi pers peluncuran kertas posisi Jawa Barat dalam Ancaman Solusi Palsu Energi Terbarukan yang diselenggarakan secara hybrid, di Hotel Tebu, Bandung, Rabu (15/3/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Suasana Konferensi pers peluncuran kertas posisi Jawa Barat dalam Ancaman Solusi Palsu Energi Terbarukan yang diselenggarakan secara hybrid, di Hotel Tebu, Bandung, Rabu (15/3/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Rekomendasi kepada Pemerintah

Koalisi untuk Energi Bersih Jawa Barat adalah gabungan organisasi masyarakat sipil yang independen. Kutub Jabar terdiri dari Walhi Jabar, LBH Bandung, Perkumpulan Inisiatif, LION, ALBIN, FK3I Jabar, AP2SI Jabar, Trend Asia, dan XR Indonesia. Iwang menyebutkan kertas posisi tersebut akan disampaikan ke gubernur dan dinas terkait untuk mencermati skema co-firing biomassa di Jawa Barat.

Ada tujuh rekomendasi yang tercantum di dalam kertas posisi tersebut, di antaranya adalah meminta komitmen Dinas ESDM Provinsi Jabar dalam transisi energi menuju energi bersih, terbarukan dan berkeadilan. Klaim netral karbon dari pemerintah dari co-firing biomassa telah terbantahkan, sehingga cara paling tepat adalah dengan percepatan pensiun dini PLTU yang sudah berusia tua. Di Jawa Barat, PLTU Indramayu dan PLTU Pelabuhan Ratu sudah layak dipensiunkan.

Beban puncak kebutuhan listrik di Jawa Barat masih teratasi dan masih memiliki suplai listrik yang berlebih hingga tahun 2030, sehingga tidak perlu lagi pembangunan PLTU yang berbahan bakar batu bara dan atau mempertahankan PLTU dengan skema co-firing biomassa. Selain itu terdapat potensi bencana ekologi dan bencana sosial jika proyeksi kebun energi untuk pasokan co-firing.

Dalam skema transisi energi yang berkeadilan, pemerintah tidak boleh mewujudkan target elektrifikasi atau mengimplementasikan proyek transisi energi yang merampas ruang hidup masyarakat. Koalisi ini juga meminta kepada pemerintah, dinas dan BUMN terkait untuk melakukan transpransi peta jalan transisi energi di Jawa Barat.

“Mengingat ancaman malah semakin tinggi, maka co-firing biomassa bukan salah satu alternatif yang tepat untuk menurunkan emisi serta polutan yang berbahaya, selama batubara salah satu bahan bakar yang akan di campur dengan serbuk kayu, maka dampak yang akan timbul akan semakin memperburuk kualitas udara serta gangguan kesehatan bagi masyarakat di sekitar PLTU. dengan itu co-firing Biomassa bukan solusi tepat, kami mendesak co-firing biomassa tidak di jalankan di PLTU yang berada di Jawa Barat,” demikian rekomendasi penutup dari kertas posisi Koalisi untuk Energi Bersih Jawa Barat.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//