Memperingati Bulan Nol Sampah Internasional, Melawan Jargon Salah Kaprah 'Waste to Energy'

Pemerintah yang diintervensi oleh perusahaan-perusahaan ini bergerak menuju ke arah yang salah dalam mengelola sampah plastik dengan jargon keliru Waste to Energy

Sampah plastik kerap memenuhi Sungai Citarum di perbatasan Kecamatan Baleendah dan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Senin (13/9/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya5 Januari 2023


BandungBergerak.idMengilas balik pada kabut pekat yang terjadi tahun 2020 lalu, pandemi Covid-19, telah menimbulkan dampak yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah melakukan karantina wilayah yang mengharuskan orang-orang tinggal di dalam rumah mereka. Di tengah bencana kemanusian terbesar abad ke-21 itu, para ahli mengumumkan sedikit peningkatan kualitas udara kita.

Pada masa karantina wilayah, emisi gas karbon global harian turun sebesar 17 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, para ahli menggarisbawahi pada kata sementara.

Tetapi industri bahan bakar fosil, termasuk produsen plastik besar, belum benar-benar bergerak atau berubah arah. Sebagai turunan dari industri bahan bakar fosil, plastik memiliki jejak karbon yang besar sepanjang siklus hidupnya.

Bahkan, beberapa pihak mengambil keuntungan dari situasi ini dengan mendorong solusi sementara untuk krisis sampah dan polusi plastik. Pemerintah yang diintervensi oleh perusahaan-perusahaan ini bergerak menuju ke arah yang salah dalam mengelola sampah plastik dengan jargon keliru Waste to Energy (WtE), yaitu menghasilkan energi dari sampah.

Solusi mengatasi sampah plastik bukan WtE, melainkan program nol sampah (zero waste). Kebijakan WtE adalah langkah mundur dalam pengelolaan sampah plastik.

“Insinerasi Waste-to-Energy adalah sebuah solusi yang salah dan langkah mundur, dan sistem ‘Nol Sampah’ memastikan transisi yang adil untuk semua,” kata Sonia G. Astudillo, juru bicara Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) Asia Pasifik, dalam siaran pers, dikutip Rabu (4/1/2023).

Menurutnya, nol sampah atau zero waste harus menjadi gerakan yang dilakukan pemerintah dalam mengelola sampah plastik.

“Semuanya kembali ke tempat yang sama sekali melewatkan kesempatan yang bisa kita semua capai: nol sampah,” kata Sonia.

GAIA adalah jaringan nasional dan regional yang mewakili lebih dari 1.000 organisasi dari 92 negara. GAIA menetapkan Januari sebagai bulan nol sampah yang diisi dengan rangkaian acara pendidikan dan kampanye menuju nol sampah.

Pada acara bulan nol sampah di belahan dunia, GAIA dan anggotanya menyusun inisiatif untuk mendidik tentang pengelolaan sampah. Mulai dari pertemuan, pembentukkan aliansi, festival film, dan banyak lagi.

Melalui acara bulan nol sampah, aliansi berupaya mengirimkan pesan bahwa ‘Nol Sampah’ adalah salah satu cara yang penting untuk mencapai nol emisi.

Peringatan ‘Bulan Nol Sampah Internasional’ sepanjang Januari ini digelar di India, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain.

Peringatan ‘Bulan Nol Sampah Internasional’ dapat terselenggara berkat dukungan dari Plastic Solutions Fund yang berkerja sama dengan beberapa media: Advocates (Philippines), Bandung Bergerak (Indonesia), Business Ecology (China), The Business Post (Bangladesh), The Manila Times (Philippines), Pressenza (Global), Sunrise Today (Pakistan), The Recombobulator Lab (Global), dan Republic Asia.

Perayaan ‘Bulan Nol Sampah’ bermula di Filipina pada 2012 ketika para pemimpin muda mendeklarasikan Zero Waste Youth Manifesto. Salah satu di dalamnya adalah seruan untuk merayakan ‘Bulan Nol Sampah’.

Manifesto tersebut diresmikan saat Presidential Proclamation No. 760 dikeluarkan, yang menyatakan Januari sebagai ‘Bulan Nol Sampah’ di Filipina. Hal ini kemudian dipromosikan secara luas oleh LSM dan masyarakat yang telah mengadopsi pendekatan ini untuk mengelola sampah mereka.

Baca Juga: Volume Sampah Plastik per Hari di Kota Bandung 2008-2020
5 Jenis Produksi Sampah Terbesar di Kota Bandung 2020
Jutaan Lembar Sampah Plastik Cemari Laut Indonesia

Energi dari Sampah malah Menghasilkan Racun

Energi dari sampah atau waste to energy dihasilkan dari pembakaran sampah menggunakan insinerator.

Menurut David Sutasurya, aktivis Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), Pembakaran sampah di ruang terbuka seperti di halaman rumah atau di mana pun telah dilarang oleh undang-undang. Membakar dengan insinerator walaupun tidak secara khusus dilarang, tetapi tidak dianjurkan.

“Di dalam UU 18/2008 jelas insinerator bukan mainstream karena yang diutamakan adalah pengurangan sampah dari sumber dan penangan secara berwawasan lingkungan untuk yang masih belum dapat dikurangi,” tulis David, dikutip dari laman resmi YPBB.

Teknologi pembakar sampah insinerator sering diunggulkan pihak-pihak yang ingin menghasilkan energi dari sampah. Padahal secanggih apa pun teknologinya, tetap saja zat berajun akan lolos mencemari udara dan membahayakan kesehatan dan lingkungan

Salah satu zat menakutkan dari hasil pembakaran sampah plastik adalah dioxin yang menurut David hanyalah salah satu bahan beracun yang dihasilkan dari pembakaran sampah. Racun dari hasil pembakaran sampah bisa masuk ke tubuh manusia melalui makanan yang dikonsumsi sapi atau tumbuhan.

”Rumput ternyata mengkonsentrasikan dioksin dengan cukup kuat sehingga dioksin yang dimakan sapi melalui rumput setara dengan yang kita hirup selama 14 tahun di tempat yang sama,” tulis David.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//