RESENSI BUKU: Masa-masa Kelam Perempuan di Zaman Pendudukan Jepang
Pramoedya Ananta Toer dalam buku Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer menggambarkan masa-masa kelam pemaksaan pada perempuan di masa penjajahan Jepang.
Penulis Noviyanti Putri 10 Juli 2023
BandungBergerak.id – Narasi indah harumnya pendidikan pada tahun 1943-1945 pernah didapatkan oleh para perempuan-perempuan yang berusia 15-17 tahun. Pada masa itu tergambar jelas sulitnya kehidupan karena untuk mendapatkan sepiring nasi pun harus melalui jalan yang amat berliku-liku. Kelaparan di pinggir jalan, di pasar, atau di bawah jembatan menjadi pemandangan sehari-hari. Para petani pun tak mendapatkan panennya dan terkena kerja paksa di luar desanya.
Tergambar juga bahwa para pelajar tidak bisa fokus terhadap pelajarannya hal itu karena Taiso (gerak badan), Kyoren(latihan baris-berbaris), dan Kinrohooshi(kerja bakti) sangat menyita waktu. Mereka melakukan aktivitas tersebut dengan keadaan kelaparan yang tentu berakibat jatuh pingsan, jika telah pingsan maka para pelatih atau orang Jepang akan membangunkannya dengan tamparan yang bertubi-tubi.
Pramoedya Ananta Toer bersama dengan buku Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer mengajak siapa pun yang ingin membacanya agar terbawa kepada masa-masa kelam pemaksaan iming-iming pendidikan bagi perempuan.
“Janji memberi kesempatan belajar pada para pemudi dan pemuda Indonesia ke Tokyo dan Shonanto (Singapura) aku katakan sayup karena tidak terdengar jelas.”
Hal tersebut dikatakan oleh Soeryono Hadi pada 16 Agustus 1978 yang bekerja di LKBN Antara perwakilan Surabaya.
Banyak yang menganggap bahwa janji tersebut hanyalah desas-desus semata namun ternyata benar adanya. Pada tahun 1943 pendudukan Dai Nippon memberikan seruan kepada setiap orang tua yang memiliki anak perempuan agar segera mendaftarkan diri kepada pemerintah. Maksud dari pendaftaran tersebut yaitu untuk disekolahkan oleh Dai Nippon.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Love is The Answer (2022), Masih Adakah Cinta dalam Berpikir Menang-menang?
RESENSI BUKU: Menguak Petaka di atas Pusara
RESENSI BUKU: Bukan Pasar Malam, sebuah Cerita Penerimaan dan Perpisahan
Janji Indah
Janji indah manisnya pendidikan benar adanya diawai pada tahun 1943 hal itu diceritakan oleh salah satu pemuda bernama Imam yang lahir di Tanjung Perak.
“Waktu saya berangkat dengan banyak gadis saya tidak perhatikan apa kapalnya atau berapa jumlah gadis yang diangkut. Mendekati Singapura kapal terkena torpedo lalu pecah dan abangku dapat diselamatkan oleh perahu nelayan. Ia tidak berani pulang, dan berani pulang setelah revolusi dan gadis-gadis itu tentunya tewas.”
Tidak dipungkiri bahwa janji pemenuhan pendidikan selaras juga dengan narasi demi mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, di banyak wilayah banyak yang tertarik akan hal ini karena telah disebutkan bahwa para perempuan akan disekolahkan menjadi bidan atau juga juru rawat.
Di sisi lain, secara pribadi memang banyak juga perempuan-perempuan pada masa itu yang memiliki cita-cita yang mulia sehingga bisa terpikat dengan janji sekolah yang ditawarkan Jepang. Tak hanya itu saja namun keadaan hidup pun menjadi hal yang tak bisa dihiraukan sehingga ingin melarikan diri pada sebuah perubahan. Dan yang tak kalah tersorot adalah karena banyaknya orang tua perempuan yang bekerja pada Jepang hingga mengharuskan mereka mengirimkan putri-putrinya.
Jika ditelusuri janji indah pendidikan serta sekolah tersebut ternyata tidak tercatat pada Osamu Serei (Lembar Negara) dan karena hal ini maka menjadi sebuah kemudahan bagi Jepang agar jejak-jejak kejahatan yang telah ada bisa hilang. Fakta lain ternyata banyak perempuan yang pergi dan menyetujui untuk sekolah tidak atas kemauan sendiri namun dikarenakan ketakutan orang tua terhadap ancaman Jepang. Lalu dipilihnya usia yang masih belasan hal itu lantaran agar perempuan dapat memenuhi impian seks serdadu Jepang.
Rahasia yang Tak Pernah Diselidiki
Telah menjadi rahasia umum jika pada 1943 Jepang telah membawa perempuan dengan kapal dengan dalih pendidikan dan sekolah. Namun tak pernah diketahui juga telah berapa kali Jepang mengangkut kapal serta tidak pernah jelas juga berapa ribu perempuan yang tealah dibawanya.
Dari banyak catatan yang terkumpul perempuan-perempuan tersebut berasal dari kota besar, madya, dan juga kota kecil. Banyak dari mereka telah meninggal dalam penderitaan meski tidak dipungkiri ada juga yang selamat namun enggan pulang. Pilihan untuk tidak pulang tersebut dikarenakan banyak hal salah satunya dana dan rasa malu.
Dana tentu menjadi hal yang sulit didapatkan karena jauh dari siapa pun dan tak memiliki apapun. Lalu rasa malu sendiri hadir karena ketakutan dan merasa hina atas diri sendiri karena tidak pulang membawa ilmu pengetahuan yang harusnya didapatkan.
Menjadi miris karena apa yang telah terjadi tidak diungkapkan secara jelas baik datanya atau peristiwanya yang menyebabkan penyebaran atas informasi ini tidak luas. Serta Indonesia juga seharusnya menjadi pihak yang bertanggung jawab meski tidak dipungkiri juga memang banyak yang tidak kembali dikarenakan permasalahan personal.
Mereka Diangkut dengan Kapal
Para perempuan yang mendapatkan janji indah akan disekolahkan akhirnya diangkut dengan kapal, mereka datang ke kapal sendirian karena dijemput oleh serdadu Nippon ke rumah masing-masing. Tempat pertama mereka adalah pengepolan atau penginapan. Di Surabaya terletak di Jalan Piping, di Jakarta di dekat Pasar Senen, lalu di Solo di Jalan Purwosari. Hampir di setiap kota terdapat pengepolan.
Setelah berada di pengepolan dalam waktu yang cukup para perempuan tersebut mulai diangkut ke kapal untuk pergi berlayar ke sekolah-sekolah yang telah dijanjikan. Para perempuan itu berdandan, berias, memakai blouse, bertopi putih, dan ada beberapa yang memakai arloji. Namun sangat disayangkan ketika sampai di kapal mereka semua rambutnya dipaksa potong pendek. Tentu hal ini mulai memicu rasa semakin ragu dari para perempuan yang akan disekolahkan.
Perlawanan pun terjadi bahwa ada awak kapal dari bangsa Indonesia yang mencoba merampas kapal dari Jepang dan tentu hal tersebut berhasil namun sangat disayangkan kapal tersebut mendapatkan serangan dari sekutu dan berakhir tenggelam.
Dalam buku ini Pram menyampaikan banyak hal secara rinci berdasarkan deretan-deretan peristiwa dan juga sumber-sumber yang mengalami atau melihat secara langsung kejadian ini. Para perempuan banyak yang dibohongi, dipaksa, bahkan dimanipulasi dengan iming-iming sekolah. Tentu perlawanan pun sulit dilakukan karena tingginya kuasa atas Jepang kepada banyak pihak pada saat itu.
Informasi Buku
Judul: Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer (Catatan Pulau Buru)
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Perancang Sampul: Boy Bayu Anggara
Cetakan: Keduapuluh Satu, 2022
Halaman: 248 halaman
ISBN: 978-602-6208-82-8