COLLOQUIUM PHILOSOPHICUM 2023: Mencari Makna Kehidupan dalam Kehancuran atau bahkan Kiamat
Kehancuran, tetapi juga penciptaan, adalah hakikat kehidupan yang terus berulang. Kiamat menjadi peluang untuk menghadapi kehidupan dengan cinta dan kreativitas.
Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id10 Juli 2023
BandungBergerak.id - Kiamat atau bencana tidak melulu harus dibahas dalam ketakutan, dengan dalil-dalil agama tentang bagaimana dunia akan berakhir. Menjadi siklus peristiwa yang terus berulang terjadi sepanjang zaman, kiamat atau apocalypse bisa dipandang sebagai peluang untuk menghadapi kehidupan dunia dengan cinta dan kreativitas.
“Hidup adalah peristiwa kehancuran tidak ada akhir dan kelahiran tidak akhir,” tutur Bambang Sugiharto, Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) dalam Colloquium Philosophicum 2023 bertajuk “The Apocalypse of Civilization” di Bumi Silih Asih, Kota Bandung, Sabtu, (8//7/2023).
Selain Bambang yang mengajukan pembahasan “The Apocalypse of Humanity & Search for Meaning”, Iwan Pranoto hadir juga sebagai pembicara dalam seminar nasional yang jadi hajat rutin Fakultas Filsafat Unpar ini. Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut menyodorkan berjudul “The Phantom of Creative Destruction”. Kolokium yang dihadiri ratusan peserta dari berbagai latar belakang ini dimoderatori oleh Subelo Wiyono dan ditanggapi oleh Imam Buchori, Guru Besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Menurut Bambang, hakikat kehidupan adalah proses penciptaan dan proses kehancuran yang terus berulang. Ada dua macam kehancuran, yang bisa berupa kerusakan yang massif atau bahkan total, yakni kehancuran yang terjadi di luar kendali manusia dan kehancuran yang terjadi dalam kontrol manusia.
Contoh kehancuran di luar kendali manusia adalah jatuhnya asteroid ke bumi, banjir, badai, gempa, dan kejadian yang transendental seperti keputusan Tuhan dan penentuan kosmis. Sementara itu, contoh kehancuran yang terjadi dalam kontrol manusia adalah sikap dasar dalam sosial-politik.
Bambang menjelaskan bagaimana situasi peradaban manusia penuh kontradiksi. Komunikasi saat ini semakin mudah dengan teknologi, tapi melahirkan konflik multipolar. Modernitas memperkecil kekerasan, tapi di saat bersamaan meningkatkan tingkat bunuh diri. Kolaborasi terjadi secara global, namun sayangnya kesengajangan semakin menganga. Agama-agama bangkit, tapi imoralitas ada di mana-mana. Demikianlah kemajuan teknologi tidak selalu berarti juga perkembangan mental.
“Lalu kita takut, cemas. Mentalitas ketakutan tersebut mungkin muncul karena dipupuk oleh agama dalam ‘belief system’. Sikap ketakutan yang seperti itu berakar pada keyakinan kita,” ujar Bambang, penerima Anugerah Budaya dari Pemerintah Kota Bandung pada tahun 2012 dan penghargaan Ganesa Wirya Jasa Adiutama dari ITB.
Yang kemudian menjadi penting, menurut Bambang, adalah bagaimana memaknai peristiwa dengan segala kontradiksinya. Karena ketakutan dan kekhawatiran tentang kemunginan kehancuran total, kesakitan, ketidakpastian, dan ketakutan hukuman Tuhan ini mengakar pada sistem keyakinan, maka sistem ini harus diubah.
Bambang Sugiharto mamaparkan dua sistem kepercayaan alternatif tentang bagaimana memaknai kiamat dan menjalani kehidupan. Pertama, kehidupan yang bebas untuk mengalami cinta sekaligus benturan-benturannya. Semakin banyak benturan yang dialami, semakin kuat rasa cinta dan kasih. Merujuk Jalaludin Rumi, hidup sebenarnya bukanlah soal pengetahuan, melainkan pengalaman untuk merasakan cinta.
Tawaran sistem kepercayaan kedua adalah keyakinan akan kehidupan yang abadi. Yang esensial dari kehidupan bukanlah materi, melakinkan jiwa, ruh, atau energi. “Fisikalitas kita percayai sebagai episode-episode saja,” ucap Bambang.
Di ujung pemaparannya, Bambang Sugiharto menyatakan bahwa dua tawaran dalam menghadapi kiamat dan kehidupan itu bisa dipandang sebagai peluang. Kunci kemampuan manusia untuk bertahan bukanlah daya survival, bukan seberapa jauh berevolusi, melainkan seberapa jauh menciptakan ulang. Kreativitas lebih esensial daripada survival dalam kehidupan.
“Ketika motivasi berpadu dengan imajinasi, itu membawa kita untuk menciptakan sesuatu,” tuturnya.
Kehancuran Kreatif dan Badai AI
Iwan Pranoto memberikan ceramah tentang kehancuran kreatif. Tentang kritik terhadap kapitalisme, ia merujuk Paus Fransiskus yang menyebut kapitalisme ibarat sebuah janji mengisi air ke dalam gelas. Setelah gelas penuh, air lantas tumpah.
“Janjinya, saat gelas itu terisi penuh, air itu akan membanjiri sampai ke bawah. Tapi ajaibnya, pada saat gelas itu terisi penuh, tiba-tiba gelas itu membesar. Air tidak pernah mencapai bawah,” tuturnya.
Analagi tersebut, menurut Iwan, mengajak orang untuk bersikap kritis terhadap kapitalisme meski ia sudah menjadi ideologi global yang mau tak mau harus diterima. Salau satu sikap kritis itu adalah dengan menanda bahwa jantung dari kapitalisme itu adalah kehancuran kreatif.
Dalam pemaparannya, Iwan mencoba menguraikan bahwa kehancuran adalah efek samping dari kreativitas. Setiap inovasi yang datang belakangan akan menggantikan dan “menghancurkan” inovasi sebelumnya. Di sisi lain, kehancuran dengan demikian mendatangkan kelahiran-kelahiran baru.
“Proses yang sudah menjadi DNA. Jadi untuk membangun itu harus menghancurkan,” ungkapnya.
Iwan mencontohkan bagaimana di zaman dulu orang kaya menyimpan es yang diambil dari bongkahan es pada musim dingin dan disimpan untuk persiapan musim panas yang akan datang. Teknologi penyimpanan es ini adalah kemewahan bagi orang-orang kaya yang kemudian rontok dengan kehadiran teknologi freezer.
Iwan berpendapat bahwa kehancuran kreatif adalah penghela teknologi. Teknologi lama yang mulai ditinggalkan menjadi seperti “kompos” untuk teknologi-teknologi yang lebih baru. Sayangnya, sekarang kehancuran kreatif terjadi begitu cepat.
Dalam perhitungan matematika dengan permodelan kurva berbenuk, Iwan menjelaskan bagaimana suatu siklus inovasi awalnya berkembang relatif stagnan, sebelum kecepatan perkembangannya melejit dan kemudian menjadi stagnan lagi. Dalam tahap stagnan itu, lahirlah inovasi baru. Pergantian kurva inovasi inilah yang sekarang berlangsung jauh lebih cepat ketimbang dahulu.
“Tapi itu terus, mau tidak mau harus terjadi. Itu yang disebut sebagai creative destruction,” imbuhnya.
Perpindahan kurva akan selalu membuat guncangan, menyebabkan kerusakan. Kehancuran kreatif ini menjadi penyebab lahirnya pengangguran struktural, masalah lingkungan, dan ketidakdilan. Contoh yang baru terjadi adalah ancaman kecerdasan buatan (AI) menggantikan pekerjaan jutaan umat manusia.
Iwan Pranoto menawarkan pendekatan baru untuk menghadapi kehancuran kreatif, yakni inovasi dan ekonomi alternatif. Ia mengusulkan pemrioritasan inovasi yang berawal dari masyarakat, seperti inovasi curiah, inovasi Jugaad (berasal dari Bahasa Hindi: “solusi hasil improvisasi yang lahir dari keaslian dan kepandaian”), serta inovasi akar rumput (grassroot innovation). Sementara dari segi ekonomi, ia mengusulkan sistem-sistem ekonomi alternatif seperti de-growth pasca pertumbuhan, keuntungan dari dasar piramida, ekonomi donat, dan kepribadian berkelimpahan (abundance mentality).
Iwan membantah anggapan inovasi-inovasi hanya lahir dari kaum elitis atau industri. Terobosan juga lahir dari masyarakat bawah, sesederhana kaum difabel yang memodifikasi sepeda motor agar bisa mereka gunakan.
“Creativity destruction atau kehancuran kreativitas itu terjadi saat manusia lebih mempercayai kreativitas AI ketimbang kreativitas manusia. Yang sangat berbahaya itu adalah bukan ketika mesin menjadi pintar, tapi ketika manusia memilih bodoh,” tuturnya.
Menghadapi badai AI, Iwan Pranoto menyebut tugas manusia adalah memilah: mana tugas otak manusia dan mana tugas yang memang seharusnya dilakukan AI. Kontrol haruslah tetap ada di tangan manusia. Bukan sebaliknya.
Dalam tanggapannya terhadap pemaparan kedua narasumber, Imam Buchori mendiskusikan gerakan-gerakan pencerahan yang terjadi dalam sejarah manusia. Terlalu berat ke aspek rasio atau akal, lahirlah ketidakseimbangan yang membawa pada kehancuran.
Baca Juga: Membawa Pulang Kenangan Jiwa Lewat Pameran Motifs di Fakultas Filsafat Unpar
Perspektif Lintasdisiplin dalam Pameran Perdana Mahasiswa Integrated Arts Unpar
Beberapa Karya Seni dan Sekian Banyak Tanggapan Peserta
Colloquium Philosophicum merupakan bagian dari Extension Course Filsafat (ECF), sebuah forum diskusi yang telah dijalankan selama dua dekade oleh Fakultas Filsafat Unpar. Selain paparan narasumber dan sesi tanya jawab, seminar nasional ini menampilkan juga beberapa karya seni.
Sebuah pertunjukan tari berjudul “Akhir Titik-titik” ditampilkan oleh Tyoba Bond, dosen Integrated Arts Fakultas Filsafat Unpar, bersama Artmay Studio. Kiamat ditafsirkan secara berbeda. Ia justru dinantikan seperti kedatangan sebuah kado ulang tahun atau pesanan paket.
“Bagian akhir dari karya itu sangat-sangat konseptual, membagikan es dengan situasi yang sangat cair. Sebetulnya es ini ketika dipegang dingin, tetapi kalau lama-lama digenggam itu bersensasi panas,” ujar Tyoba.
Turut dipamerkan di depan aula, sebuah instalasi seni berjudul “Pohon Kiamat” karya Yustinus Ardhitya, juga pengajar di Integrated Arts Unpar. Sebuah pohon digantung terbalik pada sebuah kerangka logam. Pohon tersebut tersusun dari batang-batang kayu yang tak sepenuhnya tersambung satu dengan yang lain. Di bawahnya, terhampar abu.
Karya tersebut didampingi oleh sepucuk puisi yang dibagikan kepada tiap peserta kolokium, tentang dialog “Nak” dengan “bu”. Pengunjung kemudian diajak untuk menulis pada serpihan beton dengan spidol merah, dan kemudian melemparkannya pada hamparan abu di bawah pohon yang tergantung tersebut.
Beberapa pengunjung mengaku mengambil banyak manfaat dari kolokium ini. Ratna Lindawati Lubis (55), seorang dosen di Telkom University, misalnya, meyakini bahwa tema kiamat perlu terus diskusikan supaya manusia tidak terlalu picik, khawatir, dan ketakutan. Pembahasannya bisa secara santai, tak perlu selalu serius.
Ratna mengamini pentingnya kreativitas, yang banyak disinggung oleh narasumber, sebagai bekal manusia bisa bertahan. Untuk mempraktikannya, orang bisa memulai dari aktivitas keseharian, seperti bangun pagi dan memasak.
“Itu aja sih yang membuat saya merasa ngapain juga takut kiamat. Toh saya masih diberikan kecerdasan, saya masih dikasih waktu yang bisa dipakai, kemudian saya bisa berbagi buat orang lain,” ungkap peserta aktif ECF ini.
Jennifer, seorang mahasiswa, datang ke kolokium untuk mendengarkan ceramah Bambang Sugiharto tentang fenomena-fenomena zaman. Ia mengamini bagaimana kemajuan teknologi saat ini malah memperbudak manusia.
Peserta kolokium lainnya, Mary Jane, terkesan dengan pembahasan tentang cinta dan keberanian berkarya. Ia tergelitik untuk terus bertanya bagaimana orang yang berbeda-beda melihat cinta.
“Kita harus punya keberanian untuk berkarya, bahwa berkarya itu butuh motivasi dan aspirasi,” ujar perempuan yang datang mewakili Ruang Putih Bandung tersebut. “Berkarya membutuhkan keberanian karena karya adalah buah yang paling jujur dari dalam diri kita sendiri.”
*Reportase oleh Kasih Karunia Indah (Fakultas Filsafat Unpar), Dicky Yudha Ananda (Fakultas Filsafat Unpar), dan Awla Rajul (BandungBergerak.id) ini terbit sebagai bagian kerja sama bandungbergerak.id dan Fakultas Filsafat Unpar