• Berita
  • Pemuda Kota Bandung Jaga Asa Kreativitas di Tengah Pandemi

Pemuda Kota Bandung Jaga Asa Kreativitas di Tengah Pandemi

Tidak banyak aktivitas tatap muka yang dapat dilakukan pemuda di Kota Bandung selama pagebluk Covid-19 berpengaruh pada minimnya kreativitas.

Para pegiat Kamisan Bandung menghelat aksi mural di Tamansari, Bandung, Rabu (25/8/2021). Mural-mural ini akan ditampilkan pada peringatan September Hitam. (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki28 Oktober 2021


BandungBergerak.idKota Bandung, salah satu kota industri kreatif terbesar di Indonesia sekaligus dikenal sebagai jantung perekonomian di Jawa Barat. Seperti kota-kota lainnya, Kota Bandung turut terdampak pagebluk Covid-19. Tidak banyak aktivitas tatap muka yang dapat dilakukan warganya, Ditambah banyaknya ruang-ruang publik yang ditutup untuk mencegah penularan Covid-19.

Meskipun demikian, semangat para pemuda di Kota Bandung tak pernah surut dan malah mengalami transformasi singkat dari kegiatan tatap muka ke sejumlah kanal daring.

Menurut pegiat Kamisan Bandung, Fayadh, gagasan perpindahan bentuk kegiatan itu merupakan sebuah cara bagaimana para pemuda tetap aktif merespons keadaan sekitar. Bahkan, berbagai kegiatan yang bersifat untuk kepentingan sosial secara umum justru semakin menjamur.

“Ketika awal pandemi, memang masih rentan Covid jadi risikonya juga tinggi untuk kegiatan offline, apalagi ketika (penularan) Covid naik lagi. Akhirnya kegiatannya malah lebih banyak ke arah sosial, kayak warga bantu warga,” tuturnya saat dihubungi Bandungbergerak.id, Rabu (27/10/2021).

Walaupun lebih banyak bergerak di lokasi masing-masing, kebanyakan komunitas di Kota Bandung mengoptimalisasikan perangkat dan kanal daring untuk menumpas jarak antarpegiatnya. Seperti para pegiat Kamisan Bandung yang malah menembus batasan-batasan ruang konvensional. Mereka telah membuat sejumlah infovasi dan meramaikan warganet dengan sederet diskusi virtual yang diselenggarakan.

Diketahui, Kamisan Bandung juga tetap aktif membuka beberapa pintu donasi dan merespons sejumlah isu-isu sosial dan Hak Asasi Manusia yang jadi fokus yang jadi ciri khas mereka. Salah satu gerakan teranyarnya, yakni berkolaborasi denga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung membuka posko surat aspirasi terkait 57 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Semangat menjaga asa kreativitas juga menyebar ke sejumlah komunitas lainnya yang ada di Kota Bandung, salah satunya kolektif Papah Cerewet yang juga dikenal dengan singkatan Pace. Komunitas non-profit ini terdiri dari pegiat musik dan seniman di berbagai bidang yang bergerak secara kolektif dan independen sejak 2017 lalu.

Musisi sekaligus pegiat Pace, Tezar Ongki mengaku kondisi pagebluk telah memaksa ia dan kawan-kawannya berpikir lebih maju untuk tetap berkreasi maupun sekadar melepas penat. Pasalnya, sedikit kemungkinan mereka untuk tetap menggelar pentas musik dan seni yang merupakan bidang sebelumnya.

“Awalnya, memang jadi bingung ya apa yang bisa dilakukan selama pandemi dan gak tahu juga kapan ini bakal beres. Kami pernah ngobrol bareng gitu, walaupun gak serius-serius amat. Terus ada ide bikin ini, itu terus go saja dulu,” katanya ketika dihubungi, Selasa (27/10/2021).

Meski sempat vakum selama tahun 2020, buah pemikiran para pegiat Pace pun mulai tercetus secara beruntun sejak bulan April 2021. Ada dua proyek yang hingga saat ini mereka garap, salah satunya sebuah konser virtual bertajuk “Para Session” di kanal Youtube dan radio daring “Cerewet Podcast” di platform Spotify.

Baca Juga: Pemuda Bandung Termakan Revolusi, Sejarah Jalan Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan
Munir, Sosok Insipiratif bagi Pemuda Bandung

Anak Muda Butuh Ruang

Rendahnya aktivitas anak muda di masa pagebluk menjadi perhatian Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Bandung. Kepala Bidang Pembinaan Pemuda Dispora Kota Bandung, Dadang Setiawan menilai pagebluk berdampak signifikan terhadap turunnya cara berpikir kritis di kalangan anak muda.

“Selama pandemi, kegiatan kepemudaan hampir vakum. Ini membuat kebuntuan cara berpikir, bergerak anak muda di Kota Bandung,” menurut Dadang di Balai Kota Bandung, Selasa (26/10/2021).

Fayadh menilai kevakuman para pemuda wajar di masa pagebluk. Di luar kebijakan pembatasan demi pencegahan Covid-19, anjloknya kegiatan pemuda di Kota Bandung juga banyak dipengaruhi oleh penutupan ruang-ruang publik meskipun kegiatannya sudah menjamin protokol kesehatan (prokes) yang ketat.

Ditambah, banyak pula kebijakan yang dirasa sengaja dilakukan demi membungkam aspirasi atau suara publik. Hal ini diperkuat dengan sederet pelanggaran HAM oleh aparat yang masih terjadi selama pagebluk, misalnya di berbagai aksi unjuk rasa.

Fayadh dan pegiat Kamisan Bandung lainnya berencana kembali merebut kembali hak-hak mereka dalam mengakses berbagai ruang publik mengingat PPKM turun ke level 2.

“Kita mendobrak sekat-sekat yang dibatasi Pemkot khususnya, kita akan menggunakan kembali ruang-ruang yang biasa kita gunakan untuk diskusi dan lain-lain,” ungkapnya.

Diskriminasi Kebijakan Publik

Ongki mengutarakan bahwa Pemkot Bandung seharusnya lebih terbuka terhadap masyarakat terkait berbagai keputusan yang diambil. Selama pagebluk berlangsung, ia menemukan tidak meratanya informasi kebijakan pagebluk. Sebagai contoh, di kancah musik, izin penyelenggaraan acara masih belum jelas dan hanya beredar sebatas rumor.

“Kebijakan soal penanganan Covid, keterbukaan infromasi kayaknya belum merata ke seluruh lapisan (masyarakat). Menurut saya, kita penyelenggara acara jadi melihat (kebijakan) setengah-setengah. Ini udah bolleh bikin gigs atau belum sih?” tutur Ongki.

Selain itu, pemuda di Kota Bandung juga melihat timpangnya kebijakan Pemot melalui sejumlah pembangunan yang terus aktif selama pagebluk. Padahal banyak kegiatan pembangunan yang melanggar prokes di lapangan. Salah satu contohnya, sering ditemukan dalam proyek pembangunan rumah deret di Taman Sari.

Fayadh pun menuntut hal yang sama kepada Pemkot, keterbukaan informasi dan kebijakan yang merata. Baginya tuntutan itu merupakan hak bagi seluruh masyarakat sehingga pihak pemerintah wajib memenuhinya.

“Ketika pandemi, pembangunan masih jalan saja, bahkan ada yang tidak menerapkan prokes. Tapi akses ruang publik malah ditutup, ini kan bikin kita semua heran. PPKM tuh benar untuk menangani Covid atau ada agenda lainnya?” ujarnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//