Upacara Seren Taun Kampung Adat Cireundeu, yang Berkhidmat Menjaga Tradisi
Warga Kampung Adat Cireundeu di Leuwigajah Kota Cimahi menggelar upacara Seren Taun dengan berdoa bersama dan sungkeman.
Penulis Virliya Putricantika20 Juli 2023
BandungBergerak.id – Satu per satu warga berdatangan, para lelaki menggunakan pakaian pangsi lengkap dengan ikat kepala dan perempuan mengenakan kebaya putih. Para pendatang pun ikut hadir di sana, ada mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi dan turis.
“Jauh ya ke sini, saya turun di persimpangan jalan, lalu jalan kaki ke sini, jalan naiknya turun,” cerita ibu berbaju kuning yang datang dari Sulawesi di Bale Saresehan, Rabu (19/7/2023) pagi.
Suara alat musik tradisional dan teriakan anak-anak yang bermain menciptakan kehangatan tersendiri. Anak-anak itu berlarian ke sana kemari. Sesekali jatuh, tapi tetap melanjutkan permainannya.
Jauh sebelum diresmikan menjadi warisan budaya tak benda, warga Kampung adat Cireundeu Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi telah melaksanakan upacara Tutup Taun Ngemban Taun sejak lama. Ibu-ibu menyiapkan makanan di dapur yang letaknya tidak jauh dari Bale Saresehan, tempat dilangsungkannya upacara Tutup Taun Ngemban Taun.
“Ieu salametan tos mangrupikeun, hiji budaya tak benda anu parantos dicatet ku pihak negara, sageuy lamun urang teu paheyeuk heyeuk teu nga pahantai hantai tangan, ngajaga, ngariksa, ngamumule, kana pamakasadan urang sadaya,” ucap Abah Widia (60) di tengah upacara Ngemban Taun.
Baca Juga: Sareundeu Angklung Buncis Cireundeu
Perempuan Penjaga Tradisi di Kampung Adat Cireundeu
Kampung Adat Cireundeu Mengajarkan Kita agar tidak Tergantung pada Beras
Berkah di Kampung Adat Cireundeu
Upacara Seren Taun yang hampir sama dengan kebiasaan Idulfitri di agama Islam ini tak lepas dari prosesi sungkeman. Doa bersama dilantunkan sesepuh di Kampung Adat Cireundeu. Semua warga menundukkan kepala dan memanjatkan doa dengan khidmat.
Suara suling menjadi tanda untuk memulai sungkeman pada orang tua. Barisan perempuan dengan cepat mengular hingga keluar Bale Saresehan. Bersalaman, memeluk satu sama lain hingga meneteskan air mata menjadi doa yang tak bisa dijelaskan. Permintaan maaf dan mengucap syukur bersama memenuhi bangunan dari kayu itu.
Hasil bumi dari hutan adat yang dinamai baladahan, hampir setiap hari memenuhi kebutuhan warga. Menjaga warisan nenek moyang menjadikan singkong sebagai makanan pokok, lalu mengenalkannya ke masyarakat yang lebih luas, semakin membuat Kampung Adat Cireundeu dikenal.
“Punteun ya,” kalimat permintaan maaf yang turut diterima pengunjung dari warga adat Cireundeu.
Ternyata meminta maaf tidak hanya sebatas dilakukan dengan sesama warga adat, namun juga para pengunjung yang turut hadir di tengah upacara. Disampaikan dengan nada lembut dan senyuman seolah membuat para pengunjung telah mengambil peran penting dalam menjaga budaya di Cireundeu.
Hutan Adat yang Terus Dijaga Warga
Memiliki hutan adat dengan luas 80 hektar bukan berarti selamat dari ancaman tata kelola ruang perkotaan. Meski kepemilikan tanah dimiliki masing-masing warga adat namun kejadian longsor atas pengembangan proyek perumahan di wilayah Cireundeu menjadi kejadian cukup besar bagi warga adat.
“Kami mempertanyakan itu semua ke Dinas lingkungan hidup waktu itu siapa yang bertanggung jawab dengan kejadian ini,” cerita Jajat di salah satu saung Kampung Adat Cireundeu.
Saat itu warga Cireundeu seolah mendapat kepastian. Mereka diberikan jawaban bahwa akan dibuat Kawasan hutan rakyat. Sosialisasi dengan mengundang Johan Iskandar sebagai praktisi untuk Hutan Baduy telah dilakukan. Namun saat ini janji itu hanya bisa disimpan dan kembali mengoptimalkan upaya warga adat.
“Setelah itu udah, gak ada lagi, dan sekarang lingkungannya rusak,” tuturnya. “Tidak ada tindak lanjut seperti apa”.