• Cerita
  • DU 68 Musik, Sebuah Surga dengan Ribuan Kaset dan Jutaan Memori

DU 68 Musik, Sebuah Surga dengan Ribuan Kaset dan Jutaan Memori

Di Bandung, DU 68 Musik sudah bertahan selama 23 tahun sebagai penyedia ribuan kaset bagi para kolektor dan penikmat musik analog. Melintasi zaman.

Irham Vickry di toko DU 68 Musik Bandung yang ia rintis bersama kawan-kawan kuliahnya 23 tahun lalu, Rabu 9 Juli 2023. (Foto: Alysa Reyhan Maharani/BandungBergerak.id)

Penulis Alysa Reyhan Maharani13 Agustus 2023


BandungBergerak.id - “Beberapa orang menganggap kaset itu memori, langsung mengenang masa lalu dengan pengantara sebuah kaset. Itu yang nilainya mahal,” ujar Irham Vickry, pria 54 tahun asal Aceh pemilik toko DU 68 Musik.

Vickry memulai bisnis jual-beli kaset dari sekadar hobi dan aktivitas iseng bersama teman sebayanya pada masa kuliah. Bermodal kaset-kaset pinjaman dari para pedagang-pedagang lain, mereka mulai menjual lesehan di pinggir jalan dengan hanya menggunakan lilin di malam hari. Vickry menyebut masa-masa itu sebagai kerja “lucu-lucuan saja”.

“Jadi kita anak-anak kos lagi ga da duit,” kata Vickry, Rabu 9 Juli 2023. “Jualin kaset di pasar bekas, jualan ke sesama temen, dan akhirnya jualin ke konsumen langsung.”

Karena menjual barang original dengan harga yang cenderung lebih murah dari pasaran, kaset-kaset Vickry laris. Tak jarang dalam waktu hanya semalam, seluruh kaset pinjaman tersebut ludes terjual.

Di masa itu, terutama tahun 1990-an, kaset merupakan primadona bagi anak kuliah. Compact Disk (CD) belum ada, sementara piringan hitam jauh lebih mahal dan tidak populer di kalangan anak muda.

Setelah menamatkan kuliahnya, Vickry dan teman-temannya berinisiatif untuk membuka toko kaset miliknya sendiri di tahun 2000. Bertahan lebih dari dua dekade, DU 68 Musik saat ini memiliki total koleksi kaset sekitar 15 ribu hingga 20 ribuan kaset. Ibarat surga bagi para kolektor dan penikmat musik analog!

Dari hanya satu rak, toko yang beralamat di Jalan Dipati Ukur Nomor 68 Bandung ini sekarang memiliki 12 rak yang penuh sesak dengan kaset. Melengkapi koleksi ini, DU 68 Musik menjual juga Compact Disk (CD) dan piringan hitam produksi tahun 1950-an hingga 2000-an.

Sebagian besar koleksi DU 68 Musik diperoleh dari kiriman luar kota, tukang loak di jalanan, dan orang-orang yang menjualnya secara langsung ke toko. Ada juga yang didapatkan dari toko kaset yang sudah tidak berjualan lagi atau dari kolektor-kolektor yang sudah tidak mengoleksi kaset lagi.

“Dulu saya sering nyusur dari Bandung sampai ke Surabaya tuh. Jogja, Solo, Salatiga, Malang, Surabaya. Kita beli barangnya kalau lebih murah, terus kita jual ke sini,” ujar Vickry.

Eksistensi DU 68 Musik ditopang oleh atmosfer kreatif Bandung yang menjadi kiblat permusikan Tanah Air. Sejak dulu banyak pemusik dan selebritis yang berkunjung ke toko sederhana ini untuk mencari referensi dalam karyanya. Mereka berbaur dengan para kolektor dan penikmat musik.

“Tantowi Yahya tuh pernah ke sini. Kahitna, The Cangcuters, Ahmad Dhani, Mulan Jameela, orang-orang band The Sigit ke sini. Menteri juga pernah kesini. Wakil Jaksa Agung kemaren ke sini borong banyak,” cerita Vickry.

Selain dari berbagai daerah di Indonesia, para pembeli kaset, CD, dan piringan hitam DU 68 Musik juga datang dari beragam negara, terutama di tahun-tahun sebelum pandemi Covid-19. Dari Eropa hingga Amerika Latin. “Bahkan, ada orang Kanada yang ke Indonesia khusus untuk ke sini,” kata Vickry.

Ketika kaset mulai lenyap di berbagai belahan dunia, toko DU 68 Musik Bandung secara konsisten mampu bertahan. Kepopuleran teknologi ini di jagat hiburan Indonesia pada tahun 1970-an dan 1980-an berandil besar. Masa jayanya masih awet membekas hingga hari ini.

Dari hanya satu rak, DU 68 Musik saat ini memiliki 12 rak yang penuh sesak oleh 20 ribuan kaset, CD, dan piringan hitam. (Foto: Alysa Reihan Maharani/BandungBergerak.id)
Dari hanya satu rak, DU 68 Musik saat ini memiliki 12 rak yang penuh sesak oleh 20 ribuan kaset, CD, dan piringan hitam. (Foto: Alysa Reihan Maharani/BandungBergerak.id)

Baca Juga: JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #2: Di Bawah Terpal Biru Kios Buku Tjihapit
JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #1: Pasar Palasari di Persimpangan Zaman

Memori dan Rasa Penasaran

Di zaman internet serbacanggih ini, mengapa orang masih mau repot-repot membeli dan mendengarkan musik analog dari kaset? Ketersambungan memori, setidaknya menurut Irham Vickry, menjadi salah satu jawabannya. Dan barang-barang fisik, seperti kaset, menyediakannya.

“Karena fisik kasetnya, berhubungan dengan memori. Bisa liat cover-nya, bahagia liat barangnya,” ujar Vickry.

Ada juga mereka yang yakin betul bahwa suara musik analog lebih enak didengar dibandingkan musik digital. Sound dan soul-nya lebih dapet, kata mereka. Ini mungkin bisa sedikit menjelaskan kenapa konsumen utama toko DU 68 Musik saat ini adalah anak-anak kuliah, pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA), dan beberapa anak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di tengah banjir musik digital, mereka memilih untuk menikmati juga kaset.  

Haya Fadhia Aqila, seorang mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, mengaku senang membeli kaset karena terpikat dengan wujud fisiknya. Inilah yang membawanya bisa menjelajahi kenangan.

“Dari kaset juga tuh kayak aku tuh suka sama barang-barang yang membuat kita ada kenangan dan yang dia bisa bertahan sampai lama. Soalnya kalau digital kan ga authentic,” tuturnya.

Nouval Fahrezi (20 tahun) adalah pembeli kaset koleksi DU 68 Musik yang sekarang bergabung sebagai karyawan. Ia tertarik dengan nilai eksklusivitas kaset, terutama dalam suara khas yang berbeda dengan produk digital yang sudah di-compress.

Nouval penasaran dengan proses memasukkan suara atau lagu dalam kaset, dan juga caranya mengeluarkan suara dari seutas pita. Keanehan-keanehan itu yang terus ia pelajari. Belakangan Nouval sedang mengulik teknik duplikasi kaset agar bisa merilis band-band kawan-kawannya sendiri.

Masa jaya kaset boleh jadi sudah lama lewat. Namun di Jalan Dipati Ukur Nomor 58 Bandung, Irham Vickry melakoni pekerjaannya tanpa beban. Tanpa harus membayangkan kaset akan kembali jadi primadona.

“Aku dari dulu ga pernah optimistis, biasa aja,” ucapnya. “Jadi enjoy aja, que sera sera.”

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//