• Opini
  • Menikmati Pertunjukan Budiman

Menikmati Pertunjukan Budiman

Ini adalah kisah Bapak Budiman dari negeri Polska dan manuver politiknya yang berbuntut kecaman kawan seangkatannya yang dulu sama-sama memperjuangkan reformasi.

Minhajuddin

Pengajar Program Studi Perdagangan Internasional Universitas ‘Aisyiyah Bandung

Warga masyarakat, simpatisan, pelajar, dan aktivis mengikuti aksi Kamisan di taman Monju, Bandung, 2 September 2021. Salah satu peserta memakai payung dengan tagar Reformasi Dikorupsi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

24 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Konon, pada periode kampanye lima tahun yang lalu di negeri Polska, isu yang paling menyebalkan masyarakat di sana adalah masifnya penggunaan identitas agama dan identitas nasional. Isu ini hampir saja meremukkan kohesi sosial masyarakat Polska yang dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsanya.

Meskipun tidak sampai meretakkan jalinan sosial, namun retakan kecil masih tersisa di setiap sudut negeri. Sisa-sisanya tergambar pada polarisasi masyarakat Polska dalam dua kubu besar, kelompok agamais dan nasionalis. Untungnya, kedua kubu ini sudah menurunkan tensi masing-masing karena para elite politik di sana sudah mulai mencari koalisi baru dan berbaur antara kelompok agamais dan nasionalis.

Pada pemilihan presiden atau pilpres kali ini di negeri Polska, masyarakatnya mulai optimis bahwa tidak akan ada lagi isu yang terlalu mengkhawatirkan karena klimaksnya sudah terjadi pada periode sebelumnya. Apalagi calon yang akan maju dalam kontestasi politik, lebih variatif dan tidak membawa identitas yang terlalu mencolok.

Tetapi kemudian, salah seorang mantan aktivis populis nan heroik yang bernama Bapak Budiman, tiba-tiba muncul dengan manuver politiknya yang menjengkelkan masyarakat Polska. Dia menanggalkan semua apa yang diperjuangkannya di masa lalu dan memilih jalan yang berbeda. Bapak Budiman benar-benar sudah menjelma menjadi politisi sejati ketika memilih untuk masuk dalam gerbong salah satu calon presiden yang dulu ditentangnya.

Ironisnya, Bapak Budiman pernah dikejar-kejar oleh calon presiden yang sekarang didukungnya. Takdir berkata lain, ketika teman-teman bapak Budiman hilang tak berjejak dan beberapa meninggal di jalanan, bapak Budiman hanya merasakan penjara beberapa tahun, sebelum dibebaskan ketika rezim otoriter tumbang, bahkan kemudian bapak Budiman bisa melanjutkan pendidikannya di Inggris.

Entah apa yang sedang dan akan diperjuangkan oleh Bapak Budiman dengan memilih mendukung calon presiden yang dulu menerornya. Sesungguhnya, Bapak Budiman tidak pernah secara deklaratif menyampaikan alasan jelas kenapa memilih sosok tersebut selain alasan yang normatif dengan menganggap bahwa calon pilihannya adalah kriteria pemimpin yang memiliki pandangan-pandangan strategis.

Begitulah cara kerja politisi. Kalkulasi politiknya tidak harus disampaikan secara jelas kepada masyarakat. Cukup menyampaikan bahasa-bahasa retoris kepada masyarakat agar mereka terpukau dan merasa bahwa politisi yang pintas membual bisa merepresentasikan kepentingan mereka di parlemen.

Baca Juga: Tahapan Pemilu 2024, dari Pemutakhiran Data Calon Pemilih hingga Hari Pemungutan Suara 14 Februari
Refleksi Reformasi 1998, dari Maraknya Politik Identitas hingga Menguatnya Penguasa Otoriter
Catatan Seperempat Abad Reformasi

Tentang Bapak Budiman

Suatu hari di tahun 2014, saya begitu antusias ketika mengetahui bahwa Bapak Budiman akan datang ke Indonesia dan mengadakan acara bedah buku karyanya sendiri di Gramedia Matraman. Jauh hari setelah mengetahui rencana kedatangannya, saya sudah meluangkan waktu untuk menghadiri acara bedah buku dan berdiskusi langsung dengannya.

Kesan saya waktu itu bahwa dia pribadi yang hangat dan benar-benar setia dengan apa yang diperjuangkannya. Pada saat itu, Bapak Budiman sudah mendapat kritikan yang keras dari beberapa mantan temannya karena sudah menjadi anggota dewan di Polska.

Bedanya, dulu dia masih bersuara lantang terhadap pengusutan tragedi masa lalu yang belum tuntas. Dia masih bersuara terhadap peristiwa yang melibatkan aparat Polska yang dituding melakukan pelanggaran HAM.

Tidak mengherankan jika banyak yang menyesalkan keputusan Bapak Budiman mendukung salah satu calon presiden yang merupakan mantan tentara karena bapak Budiman dianggap representasi dari pejuang reformasi sementara calon yang didukungnya adalah alat pemerintah yang merepresi perjuangan reformasi.

Para mantan aktivis kemudian menjalani pengalaman pribadi masing-masing. Bapak Budiman divonis penjara 13 tahun tetapi dia hanya menjalani penjara 3 tahun. Sebagian teman seperjuangannya meregang nyawa sehingga tragedi ini yang selalu diperjuangkan tanpa henti oleh para aktivis HAM di sana.

Pasca menyelesaikan pendidikannya di Inggris dan kembali ke negaranya, Bapak Budiman kemudian memilih jalan perjuangan melalui parlemen dan bergabung dengan salah satu partai politik pada tahun 2004 yang dianggap sejalan dengan visi yang diusungnya.

Seingat saya, dia pernah menyampaikan alasannya masuk dalam parlemen karena ingin memperjuangkan kepentingan desa melalui RUU Desa yang salah satunya akan menggelontorkan dana Rp 1 miliar untuk satu desa. Bahkan dia mengklaim bahwa ketika Polska dilanda Pandemi Covid-19, dana desa memberikan dampak yang cukup signifikan dalam proses recovery akibat melambatnya kegiatan ekonomi.

Ternyata Budiman adalah Komika

Saya tidak sedang main-main ketika mengklaim bahwa bapak Budiman adalah seorang komika yang mampu menghibur masyarakatnya dengan kemampuan story telling yang tiada tanding. Bahkan masyarakat yang bukan penyuka stand up comedy, akan senyum-senyum tipis menonton pertunjukannya.

Siapa pun dari kita, pasti mempunyai kenangan-kenangan getir. Semua dari kita, selalu menganggap bahwa seburuk apa pun kenangan yang sudah dilewati, ketika kita sudah berdamai dengan semua masa lalu, maka akhirnya akan menjadi sebuah kenangan yang lucu dan menyenangkan untuk ditertawakan.

Apa yang dialami oleh Bapak Budiman beberapa tahun lalu, mungkin sudah dianggap lelucon baginya. Ketika dia dengan begitu heroiknya memberikan bunga kepada para hakim di negaranya saat dia disidang. Meneriakkan dengan lantang “hidup demokrasi dan boikot pemilu” di tengah berlangsungnya persidangan. Memeluk ibunya dengan sentimentil ketika keluar dari persidangan, termasuk menghardik para petugas dengan teriakan “kalian durhaka” ketika ibunya didorong oleh kerumunan para petugas saat menuruni tangga di kantor pengadilan.

Hal yang paling penting dari semua itu adalah tampaknya Bapak Budiman sudah melupakan rintihan orang tua teman-temannya yang hilang tanpa jejak. Orang tua dari teman-temannya yang masih tetap tegar bersuara lirih ingin menuntut keadilan terhadap kematian anaknya.

Setiap hari Kamis ketika melintas di depan Istana Polska, Bapak Budiman mungkin sedang tidur di dalam mobil dengan alunan musik dan dinginnya AC mobil, sehingga tidak menyaksikan sekumpulan ibu-ibu yang mengenakan baju hitam, tetap tegak berdiri dalam diam, tak peduli panas maupun hujan. Mereka melakukan itu hanya ingin agar pemerintah Polska memberikan kepastian hukum atas tragedi yang menimpa anak-anaknya.

Bapak Budiman seakan menganggap semua itu hanya kenangan yang tidak perlu dipermasalahkan dan cukup dijadikan kenangan yang ditertawakan di atas panggung. Toh semua sudah berlalu dan tidak bisa dikembalikan dalam keadaan yang utuh seperti semula. Bapak Budiman melupakan satu hal, bahwa mungkin jika menyangkut pribadinya, bisa saja dia dengan mudah melupakan kenangan getir masa lalu. Tetapi persoalannya, ada kasus pelanggaran hukum yang belum diselesaikan dan masih meninggalkan jejak hitam.

Untuk menjelaskan apa yang sedang dialami oleh Bapak Budiman, saya akan mengutip penjelasan Martin Suryajaya tentang filosofi kenangan yang disebutnya sebagai hal yang paling aneh. Kenangan menyimpan semua masa lalu, tetapi kemudian dia menghadirkan semuanya dalam bentuk yang berbeda. Banyak distorsi yang dimunculkan oleh kenangan.

Kenangan yang hadir hanya dalam bentuk fragmen yang tidak utuh. Selayaknya gambar yang mulai pudar warnanya sehingga kita pun tidak mampu melihatnya secara utuh. Sialnya, fragmen yang hilang sering kali bagian yang krusial dan memiliki nilai.

Ciri khas dari apa yang disebut kenangan adalah dia hadir dalam bentuknya yang sangat kabur dan sayup-sayup. Itulah kenapa banyak hal yang dulunya merupakan tragedi kemudian menjadi komedi saat ini.

Pada porsi inilah yang sering digunakan oleh para komika dalam mengemas materinya di atas panggung. Mereka mempopulerkan istilah tragedi ditambah waktu akan menjadi komedi. Jadi setiap kenangan terburuk sekalipun yang mereka alami di masa lalu, akan dijadikan cerita lucu saat ini dan dengan bangga akan dipertontonkan di depan khalayak.

Bapak Budiman lebih ekstrem lagi dari para komika yang ada di negeri kita ini. Kenapa? Karena komika tersebut menertawakan masa lalu mereka yang sifatnya pribadi dan tidak menyangkut orang lain. Mereka tidak pernah menjadikan pelanggaran hukum sebagai kenangan yang harus dilupakan. Apa yang mereka jadikan lelucon, tidak mengalami implikasi terhadap kepentingan umum.

Sementara Bapak Budiman lebih lucu karena dengan sangat berani dan tega, melupakan kenangan masa lalu yang menyangkut tragedi yang dialami oleh rekan-rekannya termasuk sebagian masyarakat di negerinya. Dia lupa perjuangannya untuk menuntut para oknum yang ditengarai terlibat dalam tragedi masa lalu, bahkan memilih untuk menjadi orang terdepan membela salah seorang mantan militer yang dulu dia anggap musuh.

Mungkin inilah yang dimaksud dengan bias kenangan yang hadir kembali dengan fragmen yang tidak lengkap. Tetapi keterlaluan ketika fragmen yang dihilangkan adalah bagian yang paling penting.

Oh iya, dalam salah satu wawancaranya ketika bapak Budiman ditanya oleh wartawan, “Rencana di 2024, mau ngapain?

Dia menjawab “Saya akan menulis buku saya, Anak-anak Revolusi Jilid 3 dan akan membangun kawasan inovasi teknologi.”

Mungkin, ketika bukunya sudah terbit dan Bapak Budiman datang lagi ke Indonesia dalam rangka acara bedah buku karyanya “Anak-anak Revolusi Jilid 3,” saya akan datang paling pagi dan duduk paling depan sambil menikmati komedi yang sedang dia pertontonkan.

Begitulah fenomena Bapak Budiman dan sepak terjang serta manuver politik yang dilakukan di negerinya. Dulunya seorang aktivis heroik yang kemudian bertransformasi menjadi seorang komika paling menggemaskan.

Seharusnya para aktivis meninggal sebelum apa yang diperjuangkannya berhasil karena jika mereka masih hidup, mereka akan berubah menjadi kelompok penindas. Beruntunglah di Indonesia, para aktivisnya meninggal ketika apa yang diperjuangkan belum berhasil. Soe Hok Gie dan Widji Thukul tetap abadi dalam kenangan.

Berbeda dengan Bapak Budiman, aktivis di negeri Polska yang menikmati hasil perjuangannya dengan melupakan pengorbanan rekan-rekannya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//