• Cerita
  • Di Mimbar Selasar, Menggugat Kuasa Negara atas Tubuh

Di Mimbar Selasar, Menggugat Kuasa Negara atas Tubuh

Menjadi arena berebut kuasa, tubuh mengalami penekanan dan pengendalian di mana negara tak jarang jadi aktornya. Di Mimbar Selasar, Karlina Supelli menggugat itu.

Karlina Supelli tampil di Mimbar Selasar bertajuk Negara dan Kuasa atas Tubuh di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Selasa 5 September 2023. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya8 September 2023


BandungBergerak.id – Karlina Supelli naik ke mimbar dengan mengenakan pakaian serba hitam dan syal merah yang melilit leher, dengan rambut yang dijepit, dan dengan lembar naskah dalam genggaman. Setelah menyapa ratusan orang yang memadati amphitheater Selasar Sunaryo Art Space, Selasa 5 September 2023 malam, dia mengutarakan kegembiraannya bisa datang ke Bandung. Sebuah agenda di Malaysia dia batalkan.   

Besama mimbar untuk Karlina, tersaji sebuah karya seni berupa keran dengan air yang hampir menetes, meja kecil dengan gelas dan teko kaca berisikan air bening. Semuanya berdiri di atas tanah kering. Sunaryo, sang tuan rumah, menciptakannya sebagai respons terhadap fenomena dewasa ini.

Karlina memulai Mimbar Selasar bertajuk "Negara dan Kuasa atas Tubuh" dengan membahas pengalaman bertubuh. Lukisan "My Body, My Home" karya Marintan Sirait yang terpajang di ruang kerjanya sejak 1997, menginspirasinya. Tubuh, merujuk beberapa pemikir masa lalu, selalu menjadi persoalan pelik yang penuh dengan paradoks. Ia bisa terluka namun juga bisa memulihkan luka, bisa dibenci namun bisa dikasihi, bisa dianiaya namun bisa dibelai, bisa pasif namun bisa liar. Tubuh tunduk sekaligus dapat melawan hukum alam.

Melalui simbol dan muatan nilai, tubuh menjadi arena berebut kuasa, mulai dari politik, ekonomi, suku, gender, ras, kelas, agama, hingga budaya. Tubuh mengalami penekanan dan pengendalian. Praktiknya mulai dari penganiayaan yang amat keji sampai laku simbolik yang amat halus.

"Tubuh dibentuk oleh kuasa-kuasa di luar diriku," kata Karlina. "Rumah, yang semestinya menjadi tempat berlindung, ternyata arena yang paling rentan dalam berhadapan dengan dunia."

Tubuh kerap menjadi wahana politik identitas. Tubuh dan politik kerap dilihat sebagai dua hal yang berbeda. Tubuh dianggap sebagai bagian diri yang privat, yang tidak pantas dan memalukan apabila dibicarakan terbuka, sementara politik dianggap sebagai urusan publik, urusan bersama, yang harus bersih dari urusan privat. Pemilahan kaku yang, menurut Karlina, jelas mengecoh karena kekerasan terhadap tubuh justru muncul dari ideologi dan keputusan praktis di ruang publik.

Karlina mencontohkan kejahatan-kejahatan atas tubuh yang pernah. Di masa kekaisaran ketiga Adolf Hitler, atas nama pemurnian ras, tubuh dimusnahkan di dalam kamar gas beracun. Suara-suara korban terdengar samar-samar saja dalam Nuremberg Tribunal.

Di luar Eropa, politik identitas yang beriringan dengan kepentingan ekonomi menjadi pembenaran bagi kolonialisme dan perbudakan. Orang kulit putih, yang mendaku ada di tangga tertinggi evolusi, menganggap dirinya memiliki tanggung jawab untuk “memberadabkan” pribumi yang dinilai tidak beradab.

“Ketika kolonialisme mulai mendapat kritik di negara-negara asal, penjajahan mendapat sebutan luhur ‘misi pemberadaban,’ kendati caranya sama sekali jauh dari beradab,” tutur filsuf sekaligus astronom kelahiran tahun 1958 tersebut.

Negara selalu memiliki peran politik. Bukan sekadar menjinakkan, tetapi juga mengatur tubuh dari tubuh-tubuh yang ditanggungnya, baik yang ada di luar (jasmaniah) maupun yang ada di dalam (emosi dan hasrat). Karlina mendefinisikan politik tubuh sebagai gejala negara modern untuk melakukan pengendalian sosial melalui disiplin diri.

Di masa Orde Baru yang terlihat serba selaras, mitos Gerwani meruak dan memunculkan ketakutan. Gerakan perempuan progresif pada tahun 1980-an dicap sebagai Gerwani, yang digambarkan sebagai perempuan-perempuan liar yang menari telanjang dan mencukil mata para jenderal. Perempuan ideal didefinisikan sebagai mereka yang patuh dan apolitis.

Pada masa di mana kekerasan yang amat masif terhadap tubuh yang memberontak atau dianggap liar itu terjadi, semua kejahatan atas tubuh berlangsung serba rahasia. Semisal pemerkosaan sistematis di daerah-daerah operasi atau penembakan mahasiswa pada kerusuhan 1998.

Selain kejahatan-kejahatan tersebut, satu kejahatan lain yang paling bengis, sekaligus paling canggih, adalah penghilangan orang. Penghilangan merupakan penyangkalan atas kemanusiaan seseorang. Ia dianggap tidak ada. Pengalaman tubuh akan ruang dan waktu dilenyapkan.

“Tubuh berpakaian hitam di depan istana adalah bukti bahwa terentang jarak yang amat besar antara dasar jurang yang menyembunyikan nasib korban dan tepian tempat keluarga menanti keadilan,” ujar Karlina menyoroti aksi diam yang diselenggarakan tiap Kamis sore untuk terus memperjuangkan korban-korban yang dihilangkan.

Menurut Karlina, dibutuhkan keberanian menangani kejahatan masa lalu tanpa memberikan kekebalan bagi para pelaku agar kejahatan, dengan wajah dan modus berbeda, tidak kembali terulang. Gelombang reformasi pernah memberikan peluang itu, meski beberapa kali juga setelahnya bangsa ini tersesat.

“Kerap, kita tersesat bukan karena kita tidak punya peta, melainkan karena kekeliruan membaca peta,” ucap Karlina yang di tengah kerusuhan 1998 turut turun ke jalan lewat gerakan Suara Ibu Peduli.

Setelah sekitar 90 menit bicara, Karlina mengucapkan terima kasih dan pamit undur dari mimbar. Riuh tepuk tangan menginginya. Semua orang terpukau dengan ceramah sang filsuf, tapi sekaligus tahu bahwa masalah serius yang dia sodorkan masih jauh dari kata tuntas.

Unjuk kuasa negara atas tubuh terus berlangsung. Sehari setelah Mimbar Selasar adalah tepat 19 tahun pembunuhan pejjuang hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib. Tak juga terungkap siapa atau sistem seperti apa di baliknya.

Ratusan  orang pengunjung dari beragam latar belakang menghadiri Mimbar Selasar di amphitheater Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Ratusan orang pengunjung dari beragam latar belakang menghadiri Mimbar Selasar di amphitheater Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Syair-syair Puitik dalam Konser Seriosa di Selasar Sunaryo
Jejak Karya Rita Widagdo di Bandung

Menjadi Lebih Inklusif

Mimbar Selasar, acara tahunan di Selasar Sunaryo Art Space yang dibuka untuk umum, berusaha menangkap persoalan-persoalan inti yang dihadapi bangsa, lalu menyebarkan terobosan-terobosan inspiratif. Dalam edisi pertamanya pada 2017 lalu, dijuduli “Menggugat Indonesia”, Mimbar Selasar menampilkan Remy Sylado. Setahun kemudian, giliran Eka Kurniawan tampil di mimbar dengan pidato berjudul “Manusia Indonesia: Balada Penjaga dan Pengembara”. Mimbar Selasar edisi tahun 2019, dijuduli “Beragama dengan Santai”, menampilkan Sakdiyah Ma’ruf dan Yenny Wahid.

Pandemi Covid-19 memaksa Mimbar Selasar absen selama dua tahun berturut-turut. Baru pada tahun 2022, mengambil judul “Berhala yang Merusak Kebersamaan”, Mimbar Selasar kembali digelar dengan menampilkan dua pemikir Bandung, Bambang Q-Anees dan Bambang Sugiharto.

"Urutan judul-judul tersebut sesungguhnya merepresentasikan upaya untuk terus menautkan Mimbar (Selasar) ini dengan persoalan-persoalan kebangsaan yang kompleks, rumit, sekaligus aktual, serta penelisikan dari sudut pandang kultural," tulis Heru Hikayat dan Qanissa Aghara selaku kurator dan asisten kurator.

Sejak diresmikan tepat 25 tahun lalu, Selasar Sunaryo Art Space, meski berangkat dari disiplin kesenian, enggan melepaskan diri dari kondisi kolektif bangsa. Ruang publik di kawasan Bandung utara ini tidak ingin sekadar berjualan seni, tapi memberikan juga respons atas situasi.

Bidang seni yang terwadahi pun terus berkembang. Bukan melulu seni rupa, kini bidang-bidang seni lain bisa melibatkan diri di sini. Juga dihadirkan warung kopi untuk melayani pengunjung.

Arin Dwihartanto Sunaryo, direktur Selasar Sunaryo Art Space, ditemui seusai acara, menyebut, sebuah pekerjaan rumah yang sedang dikerjakan oleh Selasar Sunaryo Art Space adalah isu inkluvitas. Kontur tanah yang bergelombang menyulitkan penyediaan akses bagi bagi kawan difabel, seperti pengguna kursi roda dan orang yang memiliki keterbatasan jarak pandang.

“Dimulai dengan yang difabel aja minimal bisa mengakses ke seluruh ruangan, dan bisa mengapresiasi, dan bisa mengekspresikan supaya bisa berkreasi di sini,” tutur Arin.

Keinginan menjadi lebih inklusif selaras dengan riwayat sang pendirinya, Sunaryo. Datang dari Banyumas untuk berkuliah, ia merasakan kesenjangan di Bandung. Sunaryo harus mengerjakan tugas orang lain agar dapat memiliki peralatan seni untuk mengerjakan tugas. Kelahiran Selasar Sunaryo Art Space tidak lepas dari keinginan untuk menyediakan infrastruktur yang bisa dimanfaatkan oleh setiap seniman, terlepas kelas sosial dan kondisi fisik mereka, untuk berkarya.

“Pemerintah tuh tidak pernah bisa, di zaman itu, untuk support seni rupa. Harus dari inisiatif pribadi untuk akhirnya bisa membuat sebuah ruang yang aktif dan juga bisa diakses publik untuk berkegiatan,” ujar Arin.

Sudah seperempat abad Selasar Sunaryo Art Space mendukung pengembangan praktik dan pengkajian seni dan kebudayaan di Indonesia. Dalam lingkup lebih ceruk, organisasi nirlaba ini ingin terus berkontribusi agar Bandung tetap menjadi, menurut Arin, “kota yang memungkinkan kita punya banyak pilihan”. Mimbar Selasar adalah bagian dari upaya tak pernah henti ini.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//