Jalan Buntu Mendirikan Gereja di Kabupaten Bandung

Di Kabupaten Bandung, insiden pelarangan beribadah dan penolakan izin mendirikan gereja terus berulang. Ormas mendemo, birokrasi menyumbat.

Mengalami penolakan, jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Soreang sejak Juni 2023 harus beribadah minggu di kompleks Polresta Bandung. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul9 September 2023


BandungBergerak.id - Nyanyian kebaktian terdengar nyaring dari luar gedung Aula Sabilulungan Kepolisian Resor Kota (Polresta) Bandung, Soreang, Kabupaten Bandung, Minggu 13 Agustus 2023. Waktu menunjukkan pukul 10.30 WIB. Ibadah Raya Minggu Kedua jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Soreang berlangsung khidmat.

Pendeta Harefa yang memimpin ibadah raya itu berkhotbah dengan tema “Kerajaan yang Tak Tergoncangkan”. Di tengah-tengahnya, ia bersama jemaat menyanyikan lagu Yesus Tuhan Biasa. Beberapa jemaat bernyanyi sambil bertepuk tangan dengan ritme yang beraturan. Hampir 100 orang dewasa hadir dalam ibadah itu. Untuk anak-anak, ibadah dilakukan terpisah di lantai bawah gedung aula.

Setelah ibadah raya selesai, menjelang tengah hari, Pendeta, Gembala, dan tiga orang lainnya melepas para jemaat di pintu keluar. Mereka bersalam-salaman, beramah-tamah, dan bertukar kabar. Semua selalu diakhiri dengan salam “Tuhan berkati!”.

Gedung aula di kompleks kepolisian tentu saja bukan rumah ibadah sebenarnya bagi jemaat GBI Soreang. Mereka terpaksa melakoninya sejak 11 Juni 2023 lalu. Semua bermula dari penolakan warga kompleks Parahyangan Kencana Soreang atas kegiatan pembinaan iman dan Pendidikan Agama Kristen (PAK) di salah satu rumah di kompleks tersebut pada 28 Mei 2023.

Kegiatan PAK oleh jemaat GBI Soreang sudah berlangsung sejak tahun 2015. Sekitar 30 anak-anak Kristen dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berasal dari kompleks Parken meminta nilai kepada Gembala sebab di sekolah mereka tidak ada guru dan pelajaran agama Kristen.

Gembala GBI Soreang ini, seorang rohaniwan sekaligus dosen di sebuah Sekolah Tinggi Teologi Kristen di Bandung, berpendapat bahwa tidaklah objektif memberi nilai tanpa ada proses belajar mengajar. Ia lalu berkomunikasi dengan orang tua siswa agar anak-anak mereka mengikuti pembelajaran di rumahnya. Pembinaan iman dan PAK dilangsungkan di luar hari Minggu.

Sementara itu, jemaat dewasa GBI Soreang selama ini melalukan pembinaan iman di rumah-rumah secara bergantian. Untuk bisa beribadah pada hari Minggu, mereka harus pergi ke Kota Bandung. Ketika pandemi Covid-19 melanda, seluruh kegiatan berhenti. Pembinaan iman beberapa kali dilakukan secara daring (online). Ibadah Minggu ke Kota Bandung tidak bisa dilakukan karena pembatasan.

Setelah pagebluk mereda, kegiatan pembinaan iman dan PAK kembali dilakukan. Namun, baik orang tua maupun anak-anak tetap tidak bisa beribadah Minggu. Selain jarak dan waktu, mereka juga terkendala biaya tak kecil yang harus dikeluarkan.

Lewat diskusi, disepakati bahwa di rumah Gembala di Soreang tersebut, selain tetap digelar pembinaan iman dan PAK, dilaksanakan juga ibadah Minggu bagi jemaat. Ibadah Minggu ini berlangsung sejak Oktober 2022. Lebih dari 100 orang jemaat hadir di setiap ibadah.

Lalu datanglah hari nahas itu. Sang Gembala GBI Soreang dipanggil untuk melakukan pertemuan di Balai RW (Rukun Warga) yang dihadiri oleh Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Ketua Rukun Warga (RW), Kepala Desa, Kapolsek, dan aparat lainnya. Tak berdaya, ia mendatangani surat pernyataan penghentian semua kegiatan.

“Saya terpaksa mendatangani SURAT PERNYATAAN tersebut karena mereka mengatakan bahwa masyarakat sudah resah atas kegiatan kami, dan masyarakat berniat melakukan penggerebekan terhadap kami,” demikian dikutip dari siaran pers Gembala GBI Soreang terkait kronologi kejadian penghentian kegiatan pembinaan iman, ibadah, dan Pendidikan Agama Kristen.

Ditemui usai ibadah raya di Aula Sabilulungan, Gembala GBI Soreang yang tak mau namanya disebutkan ini mengapresiasi bantuan oleh pihak kepolisian yang meminjamkan Aula Sabilulungan untuk dijadikan tempat ibadah Minggu. Dalam situasi darurat, ketika para jemaat kebingungan dan putus asa akibat penolakan warga, tawaran ini sangat melegakan. Kini ibadah bisa dilakukan secara relatif nyaman dan aman.

Namun sang Gembala juga menyadari bahwa bantuan fasilitas ini bersifat sementara. Tidak mungkin selamanya jemaat beribadah di kompleks kepolisian. GBI Soreang berencana untuk mencari alternatif fasos (fasilitasi sosial) untuk digunakan sebagai tempat peribadatan.

“Kalau mau dirujuk kepada PBM (Peraturan Bersama Menteri) Dua Menteri itu, sebenarnya yang paling bertanggung jawab itu adalah Pemda (Pemerintah Daerah),” kata sang Gembala. “(Tolong) Memfasilitasi kami itu, gitu loh! Jadi gimana caranya kebutuhan kami ini bisa difasilitasi sama Pemda dengan disediakannya fasos.”

Dijelaskan sang Gembala, ketiadaan gereja membuat ratusan orang jemaat GBI Soreang harus beribadah ke Kota Bandung setiap akhir pekan. Karena jarak yang jauh, rutinitas ini tentu saja tidak efektif dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Kehadiran bangunan gereja yang dekat dengan umat menjadi krusial.

Saat ini kegiatan Pendidikan Agama Kristen (PAK) masih berlanjut di rumah sang Gembala. Sudah ada izin dari Bina Masyarakat (Bimas) Kristen Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Barat. Yang jadi peserta, sebanyak 24 siswa dari seluruh jenjang pendidikan. Sementara itu, kegiatan pembinaan iman di luar hari Minggu tetap dilakukan secara bergilir di rumah-rumah Jemaat.

Sang Gembala mengajak semua pemangku kepentingan untuk tidak mencurigai syiar kristiani sebagai suatu hal yang menakutkan. Sama seperti komunitas agama yang lain, para jemaat Kristen juga ingin mengambil peran dan berkontribusi di tengah masyarakat.

“Dan kalau prosedur itu belum lengkap, kan gak berarti harus ditutup, gak harus diberangus?” tuturnya. “Tetap aja berjalan supaya hak-haknya itu bisa didapatkan.”

Salib dan mimbar Gereja Kristen Pasundan (GKP) Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, yang tujuh tahun lalu pernah dirusak massa, Minggu 13 Agustus 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Salib dan mimbar Gereja Kristen Pasundan (GKP) Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, yang tujuh tahun lalu pernah dirusak massa, Minggu 13 Agustus 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Salib Dibongkar, Alkitab Dibuang

Cerita lain tentang benang kusut izin mendirikan rumah ibadah di Kabupaten Bandung datang dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) Dayeuhkolot. Dibangun di atas tanah yang telah dimiliki sendiri sejak 1994 di Jalan Sukabirus, Desa Citeureup, gereja ini tak kunjung memperoleh izin. Yang justru datang bergelombang adalah ragam penolakan.

Pendeta GKP Dayeuhkolot, Cliff Edward Kasakeyan bercerita, dalam rentang tahun 2005-2007 gereja didemo oleh dua kelompok yang menamakan diri “Anti Pemurtadan”. Gelombang unjuk rasa terjadi, yang besar dan yang kecil. Sebagian, yang melibatkan cukup banyak orang, bahkan berlangsung anarkis.

“Mereka melakukan kekerasan juga, lalu merusak barang-barang. Salib dibongkar, alat-alat ibadah dikeluarkan, termasuk kursi. Alkitab semua dibuang,” ujar Cliff kepada BandungBergerak.id ketika ditemui di bangunan GKP Dayeuhkolot, Minggu 13 Agustus 2023.

Menimbang keselamatan jemaat, Majelis GKP Dayeuhkolot mencari alternatif rumah ibadah di kompleks Rumah Sakit Immanuel Kota Bandung. Demikianlah sejak tahun 2008 hingga 2020, jemaat GKP Dayeuhkolot melakukan ibadah Minggu di Kapel Rehuel Rumah Sakit Immanuel yang berjarak delapan kilometer jauhnya. Gedung GKP Dayeuhkolot digunakan untuk kebaktian kecil selain hari Minggu.

Ketika pandemi melanda mulai Maret 2020, jemaat tidak dapat pergi ke RS Immanuel. Mereka beribadah secara daring di rumah masing-masing, sementara petugas gereja memimpin ibadah dari gedung GKP Dayeuhkolot lewat siaran langsung (live streaming).

Menjelang akhir tahun 2022, kebaktian Minggu sempat dilakukan secara terbatas di GKP Dayeuhkolot. Namun, lagi-lagi karena penolakan warga, jemaat harus kembali beribadah di Kapel Rehuel Rumah Sakit Immanuel. Sebagian jemaat yang sulit datang ke kapel dapat melakukan ibadah secara daring dari gedung GKP Dayeuhkolot.

Penolakan itu terjadi pada November 2022. Warga melapor ke pengurus RT, RW, dan Desa. Beberapa aparat desa lantas mendatangi Pendeta Cliff yang saat itu sedang malakukan isolasi mandiri akibat terpapar Covid-19. Mengabaikan anjuran sang pendeta agar tidak tertular, mereka mamaksa masuk dan menegaskan bahwa seharusnya tidak ada kegiatan peribadatan karena belum ada izin.

Cliff saat itu berargumen, meski pandemi, umat harus tetap mendapatkan pelayanan dan penguatan iman melalui ibadah yang dilakukan secara daring. Hanya pengurus gereja dan jemaat dalam jumlah terbatas yang hadir di GKP Dayeuhkolot. Mendengar alasan Cliff, para aparat menyatakan “tidak bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa”.  

Ketika itu jemaat GKP Dayeuhkolot sudah memasuki masa Adven, persiapan menyambut Natal. Usai penolakan tu, GKP Dayeuhkolot hanya digunakan sebanyak dua kali untuk kebaktian. Situasi semakin memanas dan penuh tekanan. Majelis Jemaat akhirnya meminta izin kepada Institut Kesehatan Immanuel agar salah satu aulanya bisa digunakan untuk perayaan Natal. Sejak itulah, kebaktian Minggu GKP Daeuhkolot kembali dilangsungkan di lingkungan RS Immanuel Kota Bandung.

Pendeta Cliff menyebutkan, upaya untuk mendapatkan izin pendirian rumah ibadah, dimulai dengan mengumpulkan tanda tangan pengguna dan warga, sudah diupayakan sejak tahun 1993. Namun hingga 2023, impian itu tak kunjung terwujud.

Pada Januari 2023, Cliff kembali berkomunikasi dengan pengurus RT dan RW. Pihak gereja berkomitmen hendak mengikuti mekanisme sesuai dengan perundang-undangan, sebagaimana diatur melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Aturan ini dikenal juga sebagai SKB (Surat Keputusan Bersama) Dua Menteri tentang Pendrian Rumah Ibadah.

Bab 4 Pasal 14 PBM menyebutkan bahwa rumah ibadah harus memenuhi syarat administratif dan syarat teknis bangunan gedung. Selain syarat itu, pendirian rumah ibadah harus memenuhi syarat khusus, meliputi daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa, serta rekomendasi tertulis dari kepala kantor Kementerian Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten atau kota.

Pendeta Cliff, yang sudah menyampaikan rencana untuk mencari tanda tangan warga sekaligus mengetahui tanggapan mereka tentang pendirian gereja, diminta menunggu oleh pengurus RW. Mereka akan berembuk terlebih dahulu dengan para pengurus RT. Dijanjikan, begitu ada keputusan tentang perizinan, kabar akan disampaikan. “Tapi belum ada kabar apa pun sampai saat ini,” ujar Cliff.

GKP Dayeuhkolot, yang menjadi bagian wilayah administratif RW 13 Desa Citeureup, saat ini memiliki sekitar 84 keluarga sebagai jemaatnya, tersebar di Kecamatan Baleendah dan Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Tanah yang dimiliki sudah bersertifikat atas nama gereja. Demikian pula dengan pajak yang selama ini dibayarkan atas nama gereja.

Ditemui di Balai RW pada Selasa 5 September 2023 malam, Ketua RW 13 Desa Citeureup, Agus Beni Gunadi menyebut pihaknya tidak melakukan pelarangan beribadah, tapi mengawal ketetapan pemerintah yang menyatakan bahwa bangunan GKP Dayeuhkolot merupakan rumah tinggal. Agus, yang malam itu ditemani sembilan orang pengurus RW, mengaku bahwa mereka memiliki bukti keputusan dari pemerintah tersebut.

“Jadi kita memposisikan (diri) sebagai aparat dari negara Republik Indonesia ini, bahwasanya kita harus taat hukum apa yang menjadi ketetapan pemerintah,” tutur Agus. “Jadi dengan dasar tersebut kami mengawal daripada aturan yang sudah diputuskan oleh pemerintah, itu saja.” 

Dalam wawancara tersebut, Agus dan para pengurus RW juga menyampaikan keberatan mereka atas pembahasan perizinan GKP Dayeuhkolot. Menurut mereka, masalah sudah selesai dan semua pihak bisa saling menghargai. Jika masalah ini dibahas kembali, para pengurus RW khawatir akan muncul disintegrasi, baik di lingkup RW 13 Desa Citeureup secara khusus maupun di wilayah Kabupaten Bandung secara umum.

BandungBergerak.id juga telah berupaya mengonfirmasi kejadian yang dialami oleh GKP Pasundan ke pejabat Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot. Pada Senin, 4 September 2023 siang, diketahui dari petugas pelayanan bahwa baik Kepala Desa (Kades) dan Sekretaris Desa (Sekdes) sedang tidak berada di kantor. Tidak ada nomor telepon yang bisa diberikan untuk menjadwalkan pertemuan.

Dalam kunjungan kedua sebelum jam istirahat siang keesokan harinya, Kades dan Sekdes lagi-lagi tidak ada di kantor. Seorang staf pelayanan kantor desa yang lain menyebut Kades belakangan baru pulih dari sakit dan hari Selasa merupakan jadwal kontrolnya. Tidak diketahui kapan Sekdes akan datang ke kantor.

Data jumlah gereja dan umat Kristen di Kabupaten Bandung 2000-2020 diwarnai tahun-tahun tanpa angka. (Desain: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Data jumlah gereja dan umat Kristen di Kabupaten Bandung 2000-2020 diwarnai tahun-tahun tanpa angka. (Desain: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Jangan Baperan

Permasalahan terkait izin pendirian gereja di Kabupaten Bandung sudah muncul sejak lama dan terus berulang. Pada Desember 2010 lalu, misalnya, beberapa gereja Kristen disegel oleh organisasi massa (ormas) Islam. BBC Indonesia melaporkan, ratusan orang melakukan penyegelan karena sejumlah rumah tinggal telah dijadikan tempat ibadah dan karenanya meresahkan warga. 

Pada Maret 2022, penolakan kegiatan beribadah dialami jemaat gereja HKBP Betania di Rancaekek dan HKI Bandung Selatan di Baleendah. Alasan sama disampaikan massa penolak: rumah ibadah tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan menggangu ketenteraman masyarakat sekitar.

Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dalam pernyataannya menuntut keseriusan pemerintah untuk menangani kasus-kasus serupa karena “telah terjadi secara berulang namun belum ada solusi utuh yang ditawarkan pemerintah”. Mereka juga meminta Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bandung dan Bupati memfasilitasi dialog. 

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, jumlah penganut Kristen di Kabupaten Bandung pada tahun 2020 tercatat sebanyak 180.865 orang. Jumlah gereja sebanyak 12 unit tanpa penambahan sejak tiga tahun sebelumnya. 

Sementara itu, jumlah umat Katolik pada 2021 tercatat 12.132 jiwa. Jumlah gereja dua unit. Meski berupa gedung permanen, diketahui kedua gereja paroki di Kabupaten Bandung tersebut berdiri di lahan yang jadi bagian kompleks militer. Yang satu di Dayeuhkolot, yang lain di Lanud Sulaeman, Margahayu. Usaha umat Katolik untuk mendirikan bangunan gereja baru di Gedebage, yang akan melayani umat di kawasan timur Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, belum juga membuahkan hasil sejak dimulai hampir 20 tahun lalu.   

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bandung, Eri Ridwan Latief mengklaim, tidaklah sulit mendirikan gereja di Kabupaten Bandung. Aturannya jelas, yakni sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Ia juga menyebut, selama menyertakan data pendukung, usulan penyelesaian persoalan ke FKUB dijamin beres.

Menurut Bowie, demikian Eri Ridwan Latief kerap disapa, persoalan pendirian rumah ibadah bukan saja persoalan teknis di tataran regulasi, tapi juga taktis. PBM menjadi tidak penting selama masyarakat sekitar sudah menerima. Itulah kenapa pengelola gereja harus bertetangga secara baik.

“Saya orang Banjaran. Itu ada Gereja Pentakosta, masyarakat nerima dan itu tidak perlu izin. Artinya masyarakat kita sudah menerima,” ungkap Bowie ketika ditemui di sela-sela rapat koordinasi FKUB se-Jawa Barat, Kamis 24 Agustus 2023 di Hotel Sutan Raja, Kabupaten Bandung.  

Bowie, yang baru saja dilantik menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung, menyebut bahwa kelompok minoritas tidak boleh mengerdilkan diri dan mempersempit ruang gerak dengan menyebut diri sendiri sebagai kelompok minoritas. Pijakan kemanusiaan dengan tetangga menjadi penting, di samping pijakan aturan yang harus dilaksanakan.

Bowie justru meminta agar pengurus gereja jangan menjadi “baperan”. Ketika upaya teknis dan taktis belum dilakukan, jangan buru-buru menyebut masyarakat menolak. Ketika pihak RT bertanya-tanya tentang proses pendirian gereja, jangan juga disebut penolakan. “Kalau misalkan mentok, kenapa tidak mau untuk berdiskusi?” ujarnya.

Bowie menyinggung juga persoalan sekelompok umat yang melaksanakan peribadatan bukan di rumah ibadah, melainkan di rumah tinggal. Ketika muncul permasalahan, tidak tepat jika kemudian dikesankan sebagai “mengganggu peribadatan” karena tempat itu bukan rumah ibadah.

Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat (Kasi Bimas) Islam Kementrian Agama (Kemenag) Kabupaten Bandung, Oo Sodikin menyebutkan bahwa instansinya bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku, baik terkait rekomendasi pendirian rumah ibadah maupun terkait pendapat tertulis untuk izin sementara. Rekomendasi akan diberikan selama seluruh persyaratan dari bawah, yaitu 90 tanda tangan pengguna dan 60 tanda tangan warga sekitar sudah didapatkan.

“Jadi jangan sampai nanti diberikan izin, nanti ada masalah dari masyarakatnya, gitu kan? Karena yang dikhawatirkan, kalau sudah muncul perbedaan keagamaan itu ya kita harus juga ada kehati-hatian,” kata Sodikin saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu, 23 Agustus 2023.

Baca Juga: CURHAT PEREMPUAN PENGHAYAT: Kenapa Beliau Ini Tiba-tiba Menganggap Kami Tuh Salah atau Menyimpang?
Jangan Lupakan Persoalan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kabupaten Bandung

Regulasi Jadi Pangkal Masalah

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung berulang kali mengadvokasi kasus terkait pendirian rumah ibadah di berbagai daerah di Jawa Barat. Yang banyak terjadi adalah aksi penolakan massa atau masyarakat mayoritas di sekitar lokasi. Pangkal masalahnya tidak lain tidak bukan adalah aturan yang dibuat sendiri oleh negara: Peraturan Bersama Menteri (PBM).

“Kalau kita lihat secara utuh, akarnya juga di kebijakan negara terkait syarat-syarat pendirian rumah ibadah,” ujar Kepala Divisi Advokasi LBH Bandung Muit Pelu melalui sambungan telepon, Sabtu, 2 September 2023. “Nah, ini yang jadi kendala.”

Dijelaskan Muid, di lapangan syarat-syarat izin pendirian rumah ibadah dalam PBM justru dijadikan celah untuk mempersulit pembangunan. Bukan membuatnya mudah. Dalam lingkungan yang terpolarisasi, isu kristenisasi, atau juga islamisasi, berembus kencang.

Dalam beberapa kasus yang didampingi oleh LBH Bandung, solusi yang kemudian diambil adalah penyediaan tempat ibadah sementara. Menurut Muit, solusi ini, sebagaimana ditemui di kasus GBI Soreang, sebenarnya tidak menuntaskan masalah utamanya. Umat agama minoritas tetap saja tidak leluasa dan nyaman beribadah.

Yang sering luput dipahami adalah setiap agama dan aliran kepercayaan memiliki kekhasan masing-dalam dalam urusan beribadah. Agama Kristen Protestan memiliki banyak aliran yang masing-masing aliran membutuhkan bangunan gereja.  

Muid mendorong umat yang dihambat mendirikan rumah ibadah untuk menginventarisasi permasalahan, lalu menyampaikannya ke pembuat kebijakan. Harapannya, para penentu kebijakan itu tidak hanya duduk di kantor, tapi datang ke wilayah konflik dan mendengarkan langsung suara para korban. Menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengambil posisi dan keberpihakan ayng jelas dalam pemenuhan HAM setiap warga negara.

“Persyaratan di PBM itu harusnya diturunin,” kata Muid. “Bahkan kalau bisa diberikan keleluasaan untuk setiap orang atau komunitas agama tertentu bisa mendirikan rumah ibadah dengan syarat-syarat yang mudah.”

Ketua Jaringan Antar Umar Beragama (Jakatarub) Arfi Pandu Dinata menyebut, dalam banyak kasus pendirian rumah ibadah bagi kelompok agama minoritas, FKUB masih sering “main aman” atau apatis. Padahal, forum ini seharusnya bisa secara proaktif membantu mencarikan solusi alternatif.

“FKUB punya mandat mempromosikan, menguatkan nilai-nilai kerukunan di tengah-tengah masyarakat,” ungkap Arfi melalui sambungan telepon, Kamis 24 Agustus 2023. “Jadi gak sekadar memberikan rekomendasi, tapi proaktif.”

Pemerintah daerah, menurut Arfi, harus mengambil tanggung jawab utama dalam layanan pendirian rumah ibadah. Penjaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) merupakan kewajiban negara. Gerakan masyarakat sipil, seperti Jakatarub, dapat menyokongnya lewat kerja-kerja lintas iman yang membumikan isu keberagaman.

Menurut Arfi, selain urusan teknis seperti penafsiran aturan tentang 60 orang warga pendukung dan pemberian tanda tangan kepala desa, permasalahan izin pembangunan rumah ibadah juga bersinggungan dengan isu kultural. Advokasinya memakan waktu yang lama karena kerja yang dilakukan adalah membiasakan, mengubah paradigma, dan membangun kesadaran masyarakat.

Jemaat perempuan sedang beribadah di rumah gereja HKBP Persiapan Lembang, Kabupaten Bandung, Sabtu 26 Agustus 2023.  (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Jemaat perempuan sedang beribadah di rumah gereja HKBP Persiapan Lembang, Kabupaten Bandung, Sabtu 26 Agustus 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Potret Muram Jawa Barat

Permasalahan izin mendirikan gereja di Kabupaten Bandung menjadi cerminan potret muram kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Jawa Barat. Dalam laporan tahunannya, Setara Institute menempatkan provinsi berpenduduk terbanyak di Indonesia ini di peringkat pertama provinsi dengan jumlah kasus pelanggaran KBB terbanyak selama 14 tahun berturut-turut dari 2008 hingga 2021. Di sepanjang tahun 2021, tercatat ada 40 kasus pelanggaran KBB.

Setara Institute mencatat, jumlah kasus pelanggaran KBB di Jawa Barat sepanjang tahun 2022 turun menjadi 25 kasus. Posisinya di puncak daftar provinsi dengan jumlah kasus pelanggaran terbanyak digantikan oleh Jawa Timur dengan 34 kasus.

Tentang runyamnya permasalahan izin mendirikan rumah ibadah, Pendeta Luspida Simanjutak bisa bercerita banyak. Sebelum mulai bertugas di gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Persiapan Lembang satu setengah bulan lalu, dia pernah memberikan pelayanan di Medan, Tarutung, Banda Aceh, Tanjung Priok, dan Bekasi. Luspida merupakan satu dari dua pendeta yang menjadi korban penganiayaan tak jauh dari gereja HKBP Ciketing, Bekasi pada 2010 lalu.

Gereja HKBP Persiapan Lembang berdiri di bekas gudang di sebuah kompleks vila di Jalan Peneropongam Bintang, Lembang, yang disewa oleh jemaat sejak 2003 lalu. Terletak di paling ujung, gedung seluas 4x7 meter persegi itu terjepit oleh besarnya bangunan klinik yang baru beberapa bulan beropresi. Dindingnya dikelir putih, dengan salib dan mimbar di tengah.

Jemaat HKBP Persiapan Lembang juga memiliki rumah gereja yang berjarak sekitar 300 meter. Rumah gereja difungsikan sebagai tempat tinggal pendeta sekaligus gedung pertemuan untuk beragam kegiatan selain peribadatan.

Pada akhir tahun 2022 lalu, bangunan gereja ambruk diterpa hujan. Jemaat dan pendeta meminta aparat setempat untuk mengizinkan mereka beribadah di rumah gereja. Selain merasa lebih aman, jemaat juga tak perlu lagi mengeluarkan uang sewa. Namun tidak ada izin diberikan.

“Katanya kemarin (alasannya) karena ada komplen dari warga belakang ke RT, bahwa kita gak boleh ibadah di sini,” ungkap Samsyah, salah seorang jemaat HKBP Persiapan Lembang, Sabtu, 26 Agustus 2023.

Saat ini HKBP Persiapan Lembang memiliki jemaat hampir 100 orang. Di waktu-waktu tertentu, tamu dari gereja lain datang untuk beribadah bersama. Ada juga jemaat yang berwisata ke kawasan Lembang dan mampir ke gereja.

Luspida dan jemaat HKBP Persiapan Lembang sadar betul bahwa rumah gereja mengantongi izin rumah tinggal. Dia saat ini sedang mempelajari situasi dan pendekatan ke masyarakat sekitar. Setelahnya, jika nanti ada tanah yang layak untuk ditempati, barulah pihaknya akan mengurus IMB gereja.

Ini bukan perkara mudah. Luspida pernah mengalaminya ketika bertugas di Banda Aceh dan di Bekasi. Ibadah bisa dijalankan dengan lancar dan aman, tanah tersedia, tapi untuk memperoleh IMB, gereja harus berbenturan dengan dinding regulasi.

“Datang ke sini (Lembang), ada tempat tapi gak bisa ditempati untuk beribadah. Jadi artinya sebagai pendeta, saya sedih. Sama terus (masalahnya),” ungkap Luspida dengan logat khas Batak.

Luspida menuding PBM sebagai salah satu penghambat keinginan pemeluk agama minoritas untuk mendirikan rumah ibadah. Mendirikan gereja jauh lebih sulit dibandingkan mengoperasikan diskotek. Padahal, konstitusi menjamin hak setiap orang untuk memilih keyakinan dan beribadah secara belas, leluasa, serta tanpa halangan.  

“Itulah nilai dari toleransi, saling menerima satu dengan yang lain,” kata Luspida. “Kan kita ada di tempat yang sama, negara yang sama?”

Satu dari sedikit kabar baik tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat datang pada pertengahan April 2023 lalu. Setelah menunggu lebih dari 20 tahun, Gereja Ibu Teresa Paroki Cikarang, Bekasi, akhirnya mengantongi izin dari pemerintah. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang datang ke gereja untuk menyerahkan dokumen perizinan, lantas meminta seluruh bupati dan wali kota di Jabar meniru gerak cepat Pejabat Bupati Bekasi. “Jika sudah lengkap, jangan berlama-lama!” ujar sang gubernur, dikutip dari siaran persnya.

Tak butuh waktu lama omongan itu diuji. Tepat dua bulan kemudian, ratusan orang jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Soreang harus pergi ke kompleks kepolisian setiap akhir pekan agar bisa tetap beribadah.  

*Reportase ini merupakan bagian dari program fellowship oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk)

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//