• Opini
  • Kemalasan dan Kritik atas Kerja

Kemalasan dan Kritik atas Kerja

Penggunaan media sosial untuk mengisi waktu luang pada saat yang sama merupakan kerja karena telah memberikan nilai guna dan nilai ekonomi.

Mika Sudira

Pekerja Sepatu Komersial

Penonton menyaksikan konser dengan gawai di Bandung, Selasa (5/10/2021). Gawai maupun media sosial menjadi kebutuhan bagi masyarakat. (Ahmad Abdul Mugits Burhanudin/BandungBergerak.id)

18 September 2023


BandungBergerak.id – Sebagian besar orang menghabiskan waktunya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mereka geluti di bawah sinar matahari. Di tengah turbulensi peraturan tenaga kerja yang tidak menentu, pekerja tetap melakukan pekerjaan mereka. Waktu bekerja dan istirahat kadang tidak pernah seimbang. Kebanyakan waktu kerja tetap lebih panjang ketimbang istirahatnya.

Filantropis pada abad ke-18 juga mengaimini waktu jam kerja 12 jam per hari. Dengan banyaknya pekerjaan, Filantropis pada masa itu merasa sudah menolong sesama dengan memberikan pekerjaan yang banyak. Pandangan ini tentu tidak sama dengan seorang pemikir yang bernama Paul Lafargue di dalam pamfletnya yang berjudul Right to be Lazy. Pamflet ini berisi tentang  kesibukan kerja pada masa itu bukan untuk kesejahteraan para pekerja tetapi malah mencerabut kemanusiaannya.

Kritik yang ditujukan untuk kondisi kerja yang sudah memiliki mesin produksi tetapi masih belum  membuat pekerja  memiliki jam kerja yang lebih sedikit. Ditambah lagi dengan jumlah produksi yang terus menumpuk karena  pekerja terus memproduksi barang. Keadaan ini tentu menjadi alasan untuk mulai memikirkan waktu luang dibandingkan terus menerus tenggelam dalam kesibukan kerja.

Kelebihan kerja  membuat orang menjadi tidak lagi menikmati kehidupan. Tawaran untuk membaca sastra yang baik, berbincang dengan kawan dekat, atau mendengarkan musik menjadi alternatif kegiatan selain produksi terus menerus.

Kualitas produksi juga tidak memiliki umur yang panjang. Alih-alih memikirkan fungsi dan umur pakai, tetapi malah menggantikan bahan-bahan yang baik dengan kualitas yang memiliki umur pakai dengan jangka pendek.

Di  Lyon, serat sutra bukannya dibiarkan dalam kesederhanaan dan kelenturan alaminya tetapi malah diisi dengan garam-garam mineral yang meski menambah beratnya, namun membuat bahan ini menjadi rapuh dan jauh dari tahan lama. Karena umur pakai yang tidak lama maka kebutuhan akan mengonsumsi menjadi kebutuhan yang utama. Kritik terhadap kerja dan perjuangan merebut hidup malas ditulis secara tajam di dalam pamfllet Right to be Lazy.

Kondisi kerja hari ini  tidak berbeda jauh seperti apa yang dialami Pau Lafargue. Saat ini  pekerja masih berhadapan dengan aturan kerja yang belum berpihak pada buruh. 

Pabrik juga menghasilkan limbah yang tidak sedikit. Dampak dari pencemaran sungai bisa kita lihat hari ini dari industri berskala besar sampai kecil. Urusan produksi masih terus berjalan, kebijakan lingkungan masih belum mencapai hasil yang memuaskan.

Pabrik-pabrik  di Jawa barat menghasilkan limbah yang masih memenuhi Sungai Citarum dan belum sepenuhnya mendapat jalan keluar. Lingkungan terkena dampak dari kerja industri yang sangat masif dan ikut mempengaruhi tempat tinggal di mana pekerja bermukim. Dampak lingkungan menjadi tantangan baru bagi penghuni,  selain berurusan dengan kebutuhan harian juga harus bertahan dalam kondisi lingkungan yang buruk.

Baca Juga: Menyibak Realita Sosial, Pekerjaan sebagai Identitas Sosial
Mempersenjatai Media Sosial
Anak Muda Diharapkan Aktif Berkomunikasi Politik di Media Sosial

Waktu Luang

Upaya untuk melawan masih belum memiliki formula dalam memberi jawaban dalam menghadapi kerja yang terus menerus memborbardir hari ini. Kondisi kerja tetap tidak ada perubahan dan waktu luang yang tadinya menjadi bentuk kritik terhadap kerja malah sudah tidak mumpuni lagi.

Media sosial akhirnya yang lebih banyak menjadi  pengisi waktu luang dengan  platform  hari ini seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan Tiktok. Platform yang ada  selalu  memberikan fitur-fitur baru untuk  melepas lelah setelah kerja seharian dari pagi sampai petang. Dengan melakukan selancar di media sosial  setiap orang berlomba untuk  tidak mau ketinggalan dengan berita yang sedang viral atau mengejar likes yang banyak untuk kepuasan batin.

Christian Fucshs dan Sebastian Sevignani dalam tulisannya yang berjudul “What is Digital Labour? What is Digital Work?  What’s their Difference? And why do these Questions Matter for Under- standing Social Media?” mengatakan, media sosial bukan saja memuaskan kebutuhan para penggunanya tetapi juga melayani kebutuhan laba dari platform media sosial. Semua data profil pribadi, data perilaku penggunaan, dan data muatan  gambar serta video menjadi komoditas berupa data. Ini menunjukkan  nilai  yang pengguna media sosial ciptakan pada saat yang sama adalah produk  yang ditawarkan media sosial untuk dijual di pasar. Penggunaan media sosial pada saat yang sama merupakan  kerja, karena telah memberikan nilai guna dan nilai ekonomi.

Semua waktu online dari seorang pengguna media sosial adalah waktu kerja produktif. Setiap pengguna dipantau serta dikemas bersama dengan data dari pengguna-pengguna serupa ke dalam sebuah komoditas data yang diolah untuk dijual kepada langganan pemasang iklan. Komoditas data diolah dalam bentuk tertentu sehingga mereka mempresentasikan kelompok-kelompok pengguna tertentu dengan ciri dan kepentingan-kepentingan demografis yang dibutuhkan. Data dari pengguna media sosial  dijajakan pada pelanggan pemasang iklan, dengan cara membeli komoditas data tersebut kemudian mendapatkannya sebagai sebuah nilai guna untuk dapat menampilkan pesan-pesan iklan terarah bagi kelompok pengguna tertentu.

Platform media sosial  mengendalikan komoditas data sebagai sebuah nilai guna dan  mempertukarkan nilai guna dengan uang . Bagi si pemasang iklan  mendapatkan nilai gunanya dengan membayar uang.

Para pengguna Facebook dan media sosial lainnya menciptakan dua jenis nilai guna melalui kerja digital yang menghasilkan komunikasi dan akses kepada  publik sebagai kebutuhan mereka sendiri dengan kemungkinan akan terpapar pada iklan-iklan bersasaran. Kita  bisa melihat  adanya dua nilai guna dari media sosial di satu sisi, pengguna memproduksi nilai guna untuk diri mereka sendiri dan orang-orang lain. Di sisi yang lain pengguna memproduksi nilai guna untuk kapital, yaitu ruang iklan bersasaran untuk industri periklanan. Kedua nilai guna tersebut dapat  mencapai nilai tukar, yaitu menjual kepada industri iklan dan apa yang dihasilkan oleh para pengguna. Nilai guna berpangkal dari keadaan di mana produk atau nilai guna dari setiap media sosial bersifat informasi  sehingga dapat dipertukarkan dengan uang dan pada saat yang sama seolah  tetap berada di bawah kendali para pengguna.

Iklan-iklan yang berseliweran di depan layar adalah hasil pengolahan data  untuk tujuan komersial. Dengan sasaran yang jelas iklan tersebut menjadi dorongan konsumsi bagi pengguna media sosial dan menjadi keuntungan bagi para penjual karena dengan mudah menyasar pasar sesuai dengan kebutuhan. Kapital berhasil mengumpulkan data dari penggunanya di media sosial yang kemudian diolah menjadi komoditas. Di tengah kepungan pekerjaan dengan waktu luang yang sedikit. Kita bisa memulai memikirkan kembali waktu luang  agar tidak berakhir menjadi komoditas, kemudian kembali lagi berjerih lelah di bawah sinar matahari.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//