• Kolom
  • SUBALTERN #22: Sistem Kredit dan Manipulasi Kesadaran Memilih

SUBALTERN #22: Sistem Kredit dan Manipulasi Kesadaran Memilih

Sistem kredit memang terlihat seolah menguntungkan, tetapi di balik itu semua, ia memanipulasi kesadaran konsumen.

Al Nino Utomo

Pegiat Kelas Isolasi

Pedagang menunggu pembeli kios suvenirnya di Teras Cihampelas, Bandung, yang semakin sepi oleh pembeli, 10 Mei 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

19 September 2023


BandungBergerak.id - Kapitalisme yang menjadi kekuatan besar saat ini menanamkan sebuah ideologi pada kehidupan sosial di masyarakat. Menggunakan pendekatan dari Gramsci, ideologi yang ditanamkan oleh kapitalisme adalah gaya hidup konsumtif. Menurut Antonio Gramsci, gaya hidup konsumtif ini diawali oleh revolusi industri otomotif yang ia sebut sebagai “Fordism”. Fordism sendiri adalah sebuah sistem industri yang memiliki tiga prinsip yaitu, (1) terstandarisasi, (2) penggunaan alat-alat yang sudah memiliki spesifikasi pekerjaan masing-masing sehingga pabrik tidak perlu menggunakan buruh yang memiliki kemampuan tinggi dan ada pembagian kerja antar buruh pabrik dengan menggunakan mesin berjalan (conveyor), dan (3) memberikan gaji yang cukup tinggi kepada buruh sehingga buruh bisa menikmati hasil pekerjaannya.

Pada awalnya, Fordism digunakan untuk menunjang kinerja industri otomotif. Sekarang, sistem ini digunakan hampir di semua bidang industri. Modernisasi sistem industri inilah yang membuat produksi mampu memenuhi permintaan pasar baik secara kuantitas maupun kualitas. Revolusi industri juga mengubah kuasa ekonomi tradisional yang pada awalnya kapital dimiliki oleh tuan tanah, menjadi dimiliki oleh sistem. Gramsci menyebutkan demikian: “The replacement of the present plutocratic stratum by a new mechanism of accumulation and distribution of finance capital based directly on industrial production. (Selection From The Prison, 1999)

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diperhatikan bahwa revolusi industri yang mengawali kapitalisme berhasil menggeser pusat kekuasaan ekonomi yang pada awalnya bersifat personal, menjadi kekuatan yang sistemik.

Melalui kuasa sistemik inilah kapitalisme menanamkan ideologi-ideologi yang dibentuk sedemikian rupa agar sistem ini tetap berjalan dengan baik. Ideologi kapitalisme ini ditanamkan ke masyarakat secara halus sehingga tidak sepenuhnya disadari. Penanaman ideologi ini dilakukan hampir di seluruh aspek kemasyarakatan seperti keluarga, tempat tinggal, instansi pendidikan, media digital dan elektronik, bahkan ruang-ruang publik seperti jalan raya sekalipun.

Melalui Iklan

Penanaman ideologi yang paling ampuh adalah melalui iklan-iklan yang ada di media digital dan elektronik, sebut saja iklan-iklan yang ada di televisi atau ponsel pintar yang terhubung dengan internet. Iklan dapat didefinisikan sebagai sebuah pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. Sedangkan secara fungsi, menurut Terence A. Shimp, iklan berfungsi sebagai berikut:

1. Fungsi Informatif

Fungsi informatif dimaksudkan agar konsumen memiliki pengetahuan akan produk-produk tertentu, serta menciptakan brand image yang positif. Sebagai media yang paling efektif, iklan bertujuan untuk memperkenalkan produk-produk baru yang ada di pasaran, meningkatkan jumlah permintaan terhadap merek-merek yang telah ada, dan meningkatkan puncak kesadaran dalam benak konsumen (TOMA-top of mind awareness) untuk merek-merek yang sudah ada dalam kategori produk yang matang.

2. Fungsi Persuasif

Fungsi persuasif bertujuan untuk membujuk konsumen agar memiliki keinginan untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan. Persuasi yang dilakukan oleh iklan biasanya berbentuk mempengaruhi permintaan primer, yakni menciptakan permintaan bagi keseluruhan kategori produk. Tetapi, iklan lebih sering berupaya untuk mambangun permintaan sekunder, yakni pernintaan bagi merek-merek perusahaan yang spesifik.

3. Fungsi Mengingatkan (Reminding)

Fungsi mengingatkan ini ditujukan agar konsumen selalu mengingat produk tertentu dari sebuah brand. Selain itu, fungsi mengingatkan juga bertujuan untuk untuk mempengaruhi pengalihan merek (brand swictching) dengan mengingatkan para konsumen yang akhir-akhir ini belum membeli suatu merek yang tersedia dan mengandung atribut-atribut yang menguntungkan.

4. Fungsi Penanaman Nilai (Adding Value)

Fungsi ini bertujuan untuk memberi nilai tambah sebuah produk kepada konsumen. Terdapat tiga cara mendasar dimana perusahaan bisa memberi nilai tambah dalam penawaran-penawaran mereka: inovasi, penyempurnaan kualitas, atau mengubah persepsi konsumen. Ketiga hal tersebut merupakan hal yang saling berdiri sendiri (independent). Inovasi bisa dilakukan tanpa penyempurnaan kualitas, itulah yang disebut dengan produk yang sama sekali baru. Sedangkan untuk mengubah persepsi konsumen, yang perlu dilakukan hanyalah menambah jumlah iklan atau mengubah konsep iklan yang ada di setiap segmen masyarakat. Melalui fungsi ini, produsen juga bisa memberi imaji-imaji tertentu yang ditanamkan pada sebuah produk seperti maskulin, feminin, kelas atas, elegan, dan imaji-imaji lainnya.

5. Fungsi Bantuan Untuk Mitra Perusahaan

Kegiatan ekonomi saat ini tidak hanya melibatkan produsen dan konsumen, banyak variabel-variabel yang terlibat dalam penjualan sebuah produk, seperti misalnya jasa iklan, jasa pengiriman barang, distributor, hingga retail-retail yang menjual produk tersebut. Iklan yang ditujukan untuk meningkatkan penjualan tentu akan membantu kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh pelaku-pelaku ekonomi yang terlibat.

Baca Juga: SUBALTERN #21: Cashless Society, Kondisi Masyarakat Terkontrol
SUBALTERN #20: Demokrasi dan Dissensus
SUBALTERN #19: Negara dan Secuplik tentang Anarkisme

Memudahkan, Memanipulasi

Selain iklan, ideologi konsumtif yang diawali sejak proses pembuatan sebuah produk tersebut semakin ditanamkan oleh sistem pembayaran yang seolah-olah memudahkan konsumen, yaitu sistem kredit. Sistem ini membuat konsumen semakin mudah untuk mendapatkan barang yang diinginkannya karena sistem ini menawarkan beberapa hal seperti:  Pertama, kemudahan dan keleluasaan akan waktu. Kedua, kemudahan transaksi. Ketiga, kepemilikan barang yang terhitung lebih cepat dibandingkan dengan sistem menabung lalu membeli secara tunai.

Kemudahan dan keleluasaan akan waktu dapat dijelaskan melalui sistem kredit yang bekerja dengan cara membayarkan uang dengan jumlah tertentu di muka, atau dikenal dengan nama uang muka. Uang muka tersebut biasanya berjumlah 5-10% dari harga produk. Dengan begitu, konsumen tidak perlu menyimpan uang atau menabung sesuai dengan harga produk yang diinginkan. Untuk sebuah sepeda motor seharga Rp. 20.000.000, konsumen hanya perlu membawa uang sebanyak Rp. 1.250.000 – Rp. 2.000.000 saja. Sisa pembayaran yang belum terbayar, akan dilunasi dengan cara dicicil dengan tenor tertentu.

Kemudahan transaksi, yang dimaksud dengan kemudahan transaksi adalah, jumlah uang muka yang cenderung kecil memudahkan orang untuk membayar baik dengan uang tunai (cash) atau transfer antar bank. Membawa uang dalam jumlah besar tentu memiliki berbagai macam resiko, mulai dari risiko yang terjadi karena kesalahan diri sendiri hingga tindak kriminal yang dilakukan oleh pihak lain. Hal ini tentu membuat konsumen lebih memilih untuk membawa uang dalam jumlah kecil.

Segala kemudahan dan keleluasaan yang diberikan itulah sistem kredit sangat mendukung gaya hidup konsumerisme yang menjadi ciri khas masyarakat kapitalistik. Masyarakat dipermudah untuk mendapatkan barang yang mereka inginkan. Dengan begitu, masyarakat akan semakin terdorong untuk selalu membeli setiap produk yang ditawarkan oleh konsumen.

Namun, kemudahan itu hanya tampilan luar. Sistem kredit ternyata juga bersifat manipulatif terhadap kemampuan memilih material secara rasional. Hal ini terjadi karena masyarakat secara psikologis akan menganggap bahwa dengan mencicil, dia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan. Padahal seringkali, yang dia inginkan itu justru berada di luar kemampuannya. Seperti hasil wawancara di atas, narasumber pertama beranggapan bahwa sistem kredit memanipulasi konsumen melalui delusi akan keamanan, kecepatan, dan kemudahan dalam berbelanja menggunakan sistem kredit. Begitu juga dari narasumber kedua, kapital memainkan hasrat manusia demi berjalannya roda ekonomi melalui sistem kredit. Narasi akan kemajuan jaman yang mengarah pada cashless society pun turut berpengaruh terhadap manipulasi kesadaran masyarakat karena sistem kredit membuat semua barang nampak terjangkau, hanya perlu menyesuaikan cicilan dengan pendapatan. Memangkas uang untuk kebutuhan sehari-hari tidak menjadi masalah, asalkan cicilan lunas dan terbebas dari hutang.

Selain berpengaruh pada pilihan rasional, kredit juga mempengaruhi rasa bertempat orang pada ruang sosial tertentu. Bila berkaca pada teori Bourdieu, yang mengatakan bahwa habitus menghasilkan rasa bertempat (ruang), maka sistem kredit telah memanipulasi kesadaran seseorang akan ruang. Ruang yang dimaksud tentu saja ruang-ruang sosial, yang pada akhirnya membentuk kelas-kelas sosial. Masyarakat seolah-olah dibuat tidak mampu menyadari posisi yang sesuai dengan kondisi ekonominya. Sistem kredit seolah-olah memberikan harapan bagi masyarakat untuk memiliki apapun yang dia inginkan.

Ruang sosial di atas juga turut dipengaruhi oleh kecenderungan panjat sosial yang banyak dideterminasi oleh kepemilikan material. Salah satu alasan seseorang memilih materi yang berada di luar kemampuannya adalah untuk meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Demi mencapai kelas sosial yang diinginkan, kredit dianggap sebagai jawaban. Kredit yang memberikan keleluasaan waktu, bisa menaikan kelas sosial seseorang secara temporer karena resiko gagal kredit cenderung cukup besar. Meskipun begitu, hal tersebut tidak menjadi masalah bagi masyarakat, karena dalam periode tertentu, kelas sosial mereka akan naik. Secara sederhana, prinsip mereka seolah-olah; lunas atau tidak, tidak menjadi masalah, yang penting pernah merasakan ada di kelas sosial tertentu.

Kelas sosial ini juga yang dijadikan isu utama oleh kapital dalam menjalankan sistem kredit. Penggunaan uang digital atau kartu kredit dibentuk menjadi sebuah narasi kemajuan zaman. Semakin seseorang tidak membawa uang dalam bentuk fisik, maka semakin trendy orang tersebut. Masyarakat saat ini terus-menerus dijejali sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan, khususnya di bidang teknologi. Satu produk yang sangat canggih dua tahun lalu sudah dianggap kuno dan digantikan oleh produk baru yang lebih mutakhir. Seperti pendapat dari narasumber kedua, ada simbiosis mutualisme dalam pola konsumtif yang terjadi. Narasi besar diciptakan oleh kapital, dan masyarakat dengan sukarela menceburkan diri ke dalam narasi tersebut.

Kredit memang terlihat seolah menguntungkan, tetapi di balik itu semua, ia memanipulasi kesadaran konsumen akan rasionalitas dalam memilih benda material dan rasa bertempat pada kelas sosial tertentu. Selain itu, kredit juga memberikan kesenangan semu akan “keberhasilan” saat seseorang merasa terangkat status sosialnya.

*Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas IsolasiKawan-kawan juga bisa menengok ulang tulisan-tulisan Al Nino Utomo yang lain

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//