SUBALTERN #23: Perdamaian Sebagai Situasi yang Memungkinkan Kebahagiaan
Kebahagiaan menuntut sebuah situasi yang ideal agar setiap individu mampu meraih kebahagiaannya masing-masing. Kondisi ideal yang dimaksud adalah perdamaian.
Al Nino Utomo
Pegiat Kelas Isolasi
25 September 2023
BandungBergerak.id – Istilah perdamaian sering kali dikaitkan dengan studi sosial atau politik, tetapi saat ini studi filsafat pun membutuhkan sebuah materi khusus yang membahas tentang perdamaian. Bila dilihat secara sepintas, seolah-olah tidak ada relevansi dan korelasi langsung antara filsafat dan perdamaian, apalagi bila perdamaian dibawa ke konteks lain seperti perdamaian dunia yang sarat dengan elemen politik. Tetapi, bila dilihat secara lebih mendalam, peran filsafat sangat besar dalam istilah perdamaian. Terdapat beberapa faktor yang membuat relasi antara perdamaian dan filsafat sangat kuat.
Sebelum berbicara tentang perdamaian secara lebih lanjut, harus diketahui bahwa satu bidang filsafat yaitu etika merumuskan bahwa hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan. Rumusan ini bukan hadir di filsuf-filsuf modern atau post-modern, para pemikir di Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles juga sudah membicarakan hal yang sama.
Plato mengetengahkan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan dari hidup. Tetapi Aristoteles menempatkan pluralitas dalam kebahagiaan. Maksudnya, kebahagiaan seorang tukang sepatu tentu akan berbeda dengan seorang bandar narkoba. Kebahagiaan tukang sepatu adalah saat ia mampu membuat sepatu yang kuat dan tahan lama, dalam kondisi cuaca apa pun. Sedangkan kebahagiaan seorang bandar narkoba adalah saat ia bisa menyediakan narkoba kualitas terbaik dan mampu memberi efek yang sangat kuat kepada konsumennya. Bahkan Aristoteles sampai kepada kebahagiaan yang sangat subjektif dan kontekstual, kebahagiaan orang yang sedang sakit adalah kesehatan. Kebahagiaan orang yang sedang dipenjara adalah kebebasan, dan mungkin kebahagiaan orang yang sehat, bebas, dan kaya raya adalah saat ia bisa merasakan penderitaan dalam hidup.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kebahagiaan menuntut sebuah situasi yang ideal agar setiap individu mampu meraih kebahagiaannya masing-masing. Kondisi ideal yang dimaksud adalah perdamaian. Seorang tukang sepatu tidak akan mampu membuat sepatu yang kuat dan tahan lama bila sedang ada dalam situasi konflik, begitu pun seorang bandar narkoba, dalam situasi perang, mungkin tidak akan ada orang yang membeli barang dagangannya karena orang sibuk oleh bertahan hidup.
Baca Juga: SUBALTERN #20: Demokrasi dan Dissensus
SUBALTERN #21: Cashless Society, Kondisi Masyarakat Terkontrol
SUBALTERN #22: Sistem Kredit dan Manipulasi Kesadaran Memilih
Fisafat Berbicara Mengenai Kehidupan Sosial Manusia
Realitas manusia sebagai makhluk sosial adalah sesuatu yang sudah dipikirkan oleh para filsuf, terutama mereka yang mendalami eksistensialisme dan filsafat sosial. Konsekuensi dari realitas itu adalah bahwa manusia akan selalu bersinggungan dengan orang lain baik dalam bentuk relasi maupun konflik. Dengan begitu, kehidupan sosial juga berkaitan langsung dengan situasi yang terjadi.
Dengan menggunakan satu teori tentang kritik sosial dari Jurgen Habermas, dapat dilihat bahwa perdamaian adalah bentuk meta-language yang membentuk peradaban manusia, khususnya manusia modern. Meta-language adalah sebuah bahasa yang dominan dan universal serta memiliki tendensi-tendesi baik politik, ekonomi, efisiensi, dan ekspresi. Dengan menggunakan pendekatan ini, dapat dilihat bahwa perdamaian tidaklah per se sebuah situasi, tetapi memiliki tendensi lain di belakangnya.
Sedikit contoh, semenjak seluruh dunia dilanda pandemi Covid-19, manusia berada dalam situasi yang tidak damai, terutama dengan alam dan terungkaplah hal-hal apa saja yang selama ini menjadi tendensi dari perdamaian sebagai meta-language, terutama apabila melihat sektor-sektor yang hancur karena pandemi. Pertama, sistem ekonomi kapitalisme global. Selama ini, sistem kapitalisme global dianggap sudah mapan karena dunia berada dalam situasi yang relatif damai, tetapi pada saat pandemi, sistem itu tersendat bahkan mati secara perlahan-lahan. Ekonomi dunia mengalami resesi. Semua karena satu alasan; perdamaian terganggu.
Kedua, modernisme ideologis. Modernisme yang membawa nilai-nilai yang dianggap universal seperti sains, dan demokrasi liberal harus dipertanyakan ulang karena situasi ini. Modernisme yang selama ini dianggap menjadi manifesto dari kehidupan manusia ternyata belum mampu menyelamatkan kehidupan manusia dari pandemi Covid-19. Sudah hampir satu tahun pandemi ini berlangsung dan sains belum bisa menemukan cara atau alat yang tepat untuk menghentikan situasi chaotic yang terjadi, ribuan nyawa manusia hilang setiap harinya karena Covid-19. Begitu pula demokrasi-liberal yang menjunjung tinggi kebebasan individu. Negara-negara yang berjalan dengan sistem tersebut adalah yang paling kesulitan menangani pandemi karena masyarakatnya sendiri tidak terbiasa dengan represi terutama yang berkaitan dengan tubuh. Negara yang paling cepat menangani masalah ini adalah Vietnam yang notabene merupakan negara dengan sistem sosialis. Amerika yang selama ini dianggap sebagai superpower bahkan tidak mampu untuk membuat warganya diam di rumah.
Melalui pandemi, dapat dilihat bahwa perdamaian adalah sesuatu yang diyakini secara taken for granted dan hampir seluruh sistem global mampu berjalan jika dan hanya jika perdamaian terjadi. Saat meta-language itu terganggu, maka tendensi-tendensi yang menukangi bahasa universal tersebut akan terbongkar satu-persatu dan memaksa kita untuk merumuskan ulang tentang apa sebetulnya perdamaian.
* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi