Refleksi Hari Tani: Hak Atas Tanah Pakel
Sudah hampir genap satu abad dihabiskan warga Desa Pakel di Kecamatan Licin, Banyuwangi, berjuang mendapatkan hak atas tanah garapannya.
Nur Cholis Al Qodri
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya
29 September 2023
BandungBergerak.id – Dalam perjuangan yang telah berlangsung selama hampir satu abad di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, kita dapat melihat semangat dan tekad yang menginspirasi mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Albert Camus: "Harus ada perlawanan, entah dengan cara apa, dan jangan sampai kita tunduk olehnya." Kutipan ini mencerminkan semangat keberanian yang telah mengilhami perjuangan mereka.
Socrates, seorang filsuf Yunani kuno, memberi kita pelajaran penting tentang pentingnya bertanya dan mempertanyakan otoritas. Perjuangan warga Desa Pakel adalah manifestasi konkret dari semangat bertanya ini; mereka menanyakan hak mereka atas tanah yang telah mereka kelola dengan susah payah. Mereka tidak sekadar menerima ketidakadilan, melainkan bertanya mengapa ini terjadi dan berjuang untuk keadilan.
Pembicaraan tentang keadilan membawa kita kepada kutipan dari John Rawls, seorang filsuf politik kontemporer yang terkenal dengan teorinya tentang keadilan sebagai kesetaraan. Teori ini menggarisbawahi bahwa ketidaksetaraan sosial hanya dapat dibenarkan jika hal itu memberikan keuntungan kepada yang paling miskin dalam masyarakat.
Perjuangan para petani di Pakel mencerminkan aspirasi untuk mencapai bentuk keadilan semacam ini, di mana tanah yang merupakan aset vital mereka digunakan untuk kesejahteraan mereka dan masyarakat sekitar, bukan hanya untuk keuntungan perusahaan besar.
Jean-Jacques Rousseau, seorang filsuf Prancis, menekankan konsep kedaulatan rakyat. Menurutnya, pemerintah harus mewakili kehendak umum rakyat, dan rakyat harus memiliki kendali atas nasib mereka sendiri. Perjuangan warga Pakel juga mencerminkan aspirasi untuk memiliki kendali atas tanah mereka sendiri, merasa memiliki nasib mereka, dan mewujudkan kehendak mereka sebagai komunitas petani.
Baca Juga: Ironi Hari Tani, Petani Kecil Jawa Barat tak Punya Lahan Garapan
Empat Petani Gurem dari Garut Divonis Bersalah 10 Bulan Penjara karena Menggarap Lahan Telantar Milik PTPN VIII
Catatan YLBHI: Proyek Strategis Nasional Mengorbankan Wong Cilik dan Petani
Perjuangan Warga Desa Pakel
Ketika kita melihat kembali perjuangan warga Desa Pakel, kita tidak hanya menyaksikan pertarungan fisik melawan kebijakan yang tidak adil, tetapi juga pertarungan intelektual, moral, dan filosofis. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting tentang hak, keadilan, dan kedaulatan yang membentuk pemahaman kita tentang masyarakat yang adil.
Pengalaman mereka adalah cerminan dari ide-ide besar yang menyatakan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan adalah tindakan mulia, dan bahwa keberanian untuk bertanya dan menuntut keadilan adalah hak setiap warga negara. Oleh karena itu, perjuangan warga Desa Pakel bukan hanya sebuah kisah lokal, tetapi juga sebuah kisah universal tentang tekad manusia untuk mengatasi ketidakadilan dan mencapai keadilan yang sejati.
Pertempuran panjang mereka juga membawa kita ke kompleksitas hukum agraria di Indonesia, di mana beberapa pasal dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menjadi relevan. Pasal 21 UUPA, sebagai contoh, mengatur bahwa tanah hutan yang belum digarap atau tanah lain yang belum dimiliki oleh seseorang dapat dimohonkan hak atas tanah oleh masyarakat adat yang secara turun temurun menguasai tanah tersebut. Di sinilah masyarakat Pakel berusaha mempertahankan hak mereka atas tanah yang telah mereka garap dan huni selama bertahun-tahun.
Pasal 36 UUPA mengatur tentang penggunaan tanah untuk pertanian, yang relevan dalam perjuangan petani Pakel yang bergantung pada tanah pertanian mereka untuk mata pencaharian dan kesejahteraan. Mereka berjuang untuk hak mereka dalam mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut.
Selain itu, konsep deskonstruksi oleh Jacques Derrida dapat membantu kita melihat bagaimana teks hukum mungkin memiliki makna yang tersembunyi atau ambigu. Dalam menghadapi tantangan ketidakadilan, pertanyaan mendasar adalah apakah negara sedang memenuhi kewajibannya dengan baik dalam menjaga keberlangsungan pertanian dan kesejahteraan petani di Desa Pakel dan di seluruh Indonesia.
Dalam konteks ini, narasi Indonesia sebagai negara agraris yang adil dan menyejahterakan masyarakatnya tampak semakin berjarak dari kenyataan. Meskipun mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selalu menekankan nilai-nilai ini, sengketa lahan di Desa Pakel adalah cerminan bahwa realitas ini mungkin sudah tidak sejalan lagi dengan penguatan yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2) yang menyatakan, "Negara menjamin masuk dan berusaha bagi setiap warga negara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya."
Ketidakselarasan antara idealisme dan kenyataan di dunia pertanian di Desa Pakel menyoroti ketidaksesuaian yang membingungkan. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 menekankan peran negara dalam mengelola sumber daya alam, termasuk tanah, untuk kepentingan rakyat. Namun, terdapat kesenjangan yang semakin terasa antara cita-cita konstitusi dan perlindungan nyata terhadap petani. Ini mengundang pertanyaan mendasar tentang apakah negara sedang melaksanakan kewajibannya dengan baik dalam menjaga keberlangsungan pertanian dan kesejahteraan petani di Desa Pakel dan di seluruh Indonesia.
Perjuangan panjang yang telah berlangsung hampir satu abad oleh masyarakat Desa Pakel adalah sebuah kisah keberanian dan ketahanan yang patut kita tiru. Dimulai pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, wilayah desa ini mulai dihuni oleh beragam penduduk dari keturunan Osing, Jawa, dan Madura, yang sebagian besar hidup sebagai petani dan banyak di antaranya tidak memiliki tanah sendiri.
Demi mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang mereka garap, pada tahun 1925, perkumpulan petani dengan tekad yang kuat mengajukan permohonan resmi kepada pemerintah Banyuwangi untuk membuka hutan dan mengolah tanah yang menjadi aset ribuan penduduk Desa Pakel.
Perjuangan ini mencapai puncaknya pada tahun 1929, ketika pemerintahan Banyuwangi di bawah kepemimpinan Bupati Raden Arya Adipati Mohammad (R. A. A. M) Notohadisuryo memberikan pengakuan resmi melalui "Soerat idin memboeka Tanah" atau sering dikenal dengan Akta 29, pada tanggal 11 Januari 1929. Surat keputusan ini memberikan hak kepada perkumpulan petani untuk mengelola tanah hutan seluas 4000 bahu, yang setara dengan 3000an hektar.
Meskipun Surat Izin Pembukaan Lahan telah dikeluarkan oleh pemangku kebijakan pada rezim saat itu, perjuangan warga Pakel belum berhenti sampai di situ. Kriminalisasi dan penculikan terhadap masyarakat Pakel masih sering terjadi. Puncaknya terjadi pada tahun 2000, tepat setelah upacara peringatan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-55. Rumah-rumah petani di Pakel ditembaki, pintu-pintu dirusak, dan semua laki-laki di sepanjang jalan desa ditangkap dan dibawa dalam truk Brimob (Brigade Mobil). Mereka dibawa dengan paksa dan kekerasan, dan akhirnya ditahan di penjara. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 17 Agustus, di tengah perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-55, tetap membekas sebagai tragedi yang dikenal sebagai "Desa Janda."
Pengaruh dari tindakan kriminalisasi dan kekerasan ini terhadap masyarakat Pakel menciptakan luka yang mendalam dan menunjukkan kompleksitas serta ketidaksetaraan dalam perlindungan hukum yang mereka alami. Keberanian mereka untuk tetap berjuang meskipun menghadapi tantangan ekstrem seperti "Desa Janda" memperlihatkan tekad mereka untuk mencapai keadilan yang sejati.
Pada tanggal 9 Juni 2020, para petani Pakel membentuk organisasi baru yang beranggotakan lebih dari 1000 orang. Organisasi ini terdiri dari petani di Desa Sumberejo Pakel dan beberapa desa di Banyuwangi, dan diberi nama "Rukun Tani Sumberejo Pakel" (RTSP). Di Hari Tani pada tanggal 24 September 2020, RTSP melakukan pendudukan atau Reclaiming di tanah yang telah dirampas oleh PT Bumi Sari sejak tahun 1985.
Perjuangan Merebut Lahan yang Tak Kunjung Usai
Meskipun para petani Pakel berhasil merebut kembali sebagian tanah mereka, perjuangan mereka tidak berjalan mulus. Masih sering terjadi perusakan lahan, perusakan posko perjuangan, intimidasi, dan kriminalisasi. Pada tanggal 3 Februari 2023, tiga petani Pakel, yaitu Suwarno, Untung, dan Mulyadi, ditangkap oleh Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur saat hendak menghadiri pertemuan kepala desa Banyuwangi. Ketiga petani ini dituduh menyebarkan "berita bohong" dan menciptakan "keonaran" dalam masyarakat oleh pihak kepolisian, meskipun tuduhan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.
Namun, semangat perjuangan petani Pakel terus berkobar. Pada tanggal 23-24 September 2023, Petani Pakel yang tergabung dalam rukun tani merayakan peringatan 3 tahun pendudukan dengan penuh semangat. Acara tersebut berlangsung di Posko Perjuangan Petani Pakel di Dusun Taman Glugo, Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi. Peringatan ini bertujuan untuk menjaga kekompakan warga Pakel di tengah kriminalisasi yang menimpa tiga petani Pakel. Dalam suasana pawai bendera, obor yang menerangi lahan, doa bersama, dan panggung rakyat, mereka menyampaikan pesan tentang pentingnya tanah bagi rakyat.
Kisah perjuangan petani Pakel adalah cerminan dari keteguhan hati dan tekad yang kuat untuk memperjuangkan hak mereka atas tanah, yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Peringatan hari tani di desa Pakel tidak hanya merayakan tanah, tetapi juga memperingati semangat perlawanan dan tekad untuk mencapai keadilan yang sejati dalam negara agraris Indonesia.
Dalam menghadapi semua tantangan ini, perlu kita refleksikan bahwa tanah adalah aset yang mendasar bagi rakyat, dan negara memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk melindungi hak-hak mereka terhadap tanah tersebut. Tanah harus tetap menjadi milik rakyat dan bukan hanya menjadi sumber profit bagi perusahaan-perusahaan besar.
Semua ini adalah sebuah peringatan bahwa ketika hak-hak dasar petani dan pemilik tanah digugat, tugas negara adalah mendukung perjuangan mereka untuk memastikan keadilan sejati dan pemenuhan janji negara sebagai negara agraris yang adil dan sejahtera. Selama warga Desa Pakel terus bertanya, terus berjuang, dan terus bersatu, semangat perlawanan akan terus berkobar, dan mereka tidak akan pernah tunduk pada ketidakadilan. Kita semua, sebagai masyarakat yang peduli, harus mendukung mereka dalam perjuangan mereka untuk hak yang adil atas tanah. Sebab, ketika ada perlawanan yang tulus, kita semua harus berdiri bersama, entah dengan cara apa, demi keadilan yang sejati.