• Narasi
  • Prostitusi di Bandung Era Kolonial

Prostitusi di Bandung Era Kolonial

Saritem salah satu lokalisasi prostitusi yang dulu terkenal di Bandung di era kolonial. Para pelacur juga terlibat dalam perjuangan kaum nasionalis melawan Belanda.

Alda Agustine Budiono

Pemerhati Sejarah dan Pengajar Bahasa Inggris

Harian De Indische courant tanggal 9 Oktober 1930 menerbitkan berita tentang Gang Saritem. (Sumber: Delpher.nl)

6 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Setiap lewat jalan Wastukencana, saya selalu melihat sebuah bangunan dengan cat putih bergaya arsitektur Indis, yang masih terawat. Di halamannya ada beberapa mobil. Dulunya, rumah ini adalah sebuah hotel milik keluarga Ursone asal Italia, yaitu Hotel Donk. Dibangun pada tahun 1910, lantai bangunan ini masih menggunakan keramik merek Carrera; perusahaan tegel yang juga dimiliki keluarga. Saat ini, bangunan tersebut menjadi tempat tinggal. Sama sekali tidak menyangka kalau di masa Hindia Belanda, rumah ini identik dengan wanita penghibur.

Praktik pelacuran ternyata sudah berlangsung sejak bangsa kulit putih menjejakkan kaki di Nusantara pada abad ke-16. Orang-orang Belanda yang datang ke negeri jajahannya pada saat itu didominasi oleh laki-laki, yang berprofesi antara lain sebagai pengusaha perkebunan atau tentara. Sebagian besar dari mereka adalah bujangan berusia muda. Untuk membantu urusan domestik rumah tangga, mereka mempekerjakan perempuan-perempuan pribumi. Demi membangun prestise, mereka berlomba-lomba memiliki paling banyak pembantu.

Sayangnya, mereka sering kali merasa kesepian, juga tidak punya tempat menyalurkan hasrat seksual. Karena itu, perempuan pembantu mereka juga kadang merangkap sebagai teman tidur, Walaupun demikian, nyai, demikian mereka disebut, tetap saja lebih rendah derajatnya dengan sang tuan.

Seiring berjalannya waktu, pria-pria Eropa di Hindia Belanda tidak hanya mencari kepuasan seksual melalui gundik, tapi juga pelacur. Karenanya, pada tahun 1852 pemerintah kolonial mengeluarkan regulasi untuk mengatur praktik prostitusi. Berbagai aturan dibuat untuk menghindari penyakit menular seksual, seperti sifilis. Polisi ditugaskan untuk mengawasi para pelacur dan pemilik rumah bordil. Para perempuan pekerja seks juga diberi kartu kesehatan dan rutin diperiksa oleh dokter. Mereka pun ditempatkan di lokasi-lokasi tertentu yang mudah dipantau. Lama kelamaan, pelacur pun dianggap sebagai  perusak moral dan fisik dan dicap sebagai "perempuan tidak baik".

Baca Juga: Kamp Interniran Jepang di Bandung, Bagian Sejarah yang Terlupakan
Jejak Berserak Nazi Jerman di Bandung

Saritem

Salah satu lokalisasi prostitusi yang dulu terkenal, Saritem, berada di Bandung. Nama ini berasal dari Sari Iteung, yang mitosnya adalah seorang perempuan Sunda cantik jelita. Kawasan ini bertahan cukup lama, sejak 1838, saat kota Bandung baru berusia 28 tahun, sebelum ditutup pada tahun 2007. Sekarang di lokasi itu berdiri Pesantren Daarut Taubah. 

Berbagai literatur mengatakan bahwa paras cantik Saritem berhasil memikat seorang meneer Belanda, yang kemudian menjadikannya nyai. Menurut Ariono Wahyu Widjajadi, pegiat Komunitas Aleut, asal usul nama Saritem tidak jelas. Pria yang akrab disapa Alex ini menambahkan bahwa Saritem berawal dari gundik di tangsi militer Gardujati, Andir, yang saat ini dikenal dengan Jalan Saritem.

“Yang saya kutip dari buku Saritem Uncensored, para nyai di tangsi militer ini kemudian diminta untuk mencarikan lebih banyak perempuan. Lama kelamaan, wanita penghibur di tangsi ini bukan hanya berasal dari Bandung, tapi juga dari daerah lain seperti Sumedang dan Indramayu. Lama-lama tempat ini menjadi lokalisasi. Melihat hal ini, warga sekitar kemudian ikut menyediakan perempuan untuk kencan.” jelas Alex.

Ferdian Achsani menulis dalam Salingka, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 17 Nomor 1 Edisi Juni 2020 (salingka.kemdikbud.go.id) bahwa bukan hanya prajurit lajang yang menjadi pelanggan di lokalisasi tersebut, tapi juga veteran berusia lebih tua, juga warga pribumi. "Dari bisnis ini dapat dipahami bahwa perempuan sangat tertindas karena ia tidak memiliki harga diri dan dianggap sebagai pemuas nafsu," tulis Ferdian.

Budayawan asal Bandung, Budi Dalton, punya cerita yang berbeda. Menurutnya, Saritem bernama asi Nyi Mas Ayu Permatasari, lahir di Parakamuncang, Sumedang, di tahun 1840, dan meninggal di Bandung tahun 1920.  Ia adalah istri seorang Belanda yang tinggal di Kebon Tangkil, daerah sekitar bekas lokalisasi. Bertentangan dengan pandangan negatif publik, perempuan ini berjuang menyelamatkan para wanita tuna susila dari mucikari, katanya, para pelacur pada tahun 1930an para pelacur di daerah itu bekerja pada Saritem. Saat sedang mencuci pakaian, mereka kerap curhat kalau sebenarnya mereka tidak mau menjalani profesinya. Nyi Mas Ayu kemudian bertanya apakah mereka mau berhenti melacur dan dijawab ya. Wanita ini kemudian mendoakan supaya para pelacur tidak laku lalu dipulangkan oleh germo, Nama Saritem kemudian dijadikan nama jalan sebagai bentuk apresiasi terhadap jasanya. Jalan ini bisa diakses melalui Jalan Gardujati dari arah Pasir Kaliki atau lewat Jalan Kelenteng dari arah Jalan Sudirman atau Alun-alun.

Banyak foto Saritem beredar di dunia maya. Media online Detik Jabar pernah melakukan penelusuran kembali foto tersebut dengan metode image reverse; diacak dan diurutkan sesuai tanggal. Hasilnya, diketahui bahwa foto tersebut pertama kali muncul di blog Kedai Barang Antik (https://kedaibarangantik.blogspot.com) pada 11 Januari 2011 dan diberi judul Potret Nyonya Djawa. Blog tersebut adalah milik Ronny, seorang kolektor barang antik asal Ungaran, Jawa Tengah. Menurutnya, foto tersebut dulunya milik seorang pensiunan militer atau kejaksaan yang mau pindah rumah, sehingga perabotan dan isi rumah, termasuk foto tersebut, dijual. Dari pakaian dan perhiasannya, kelihatan kalau wanita dalam foto itu berasal dari kalangan berada. Di balik foto terdapat watermark milik Agfa, perusahaan cetak foto yang berdiri sejak tahun 1867.

Terlibat dalam Perjuangan Kaum Nasionalis

Prostitusi di Bandung ternyata bukan hanya identik dengan Saritem. Para wanita penjaja cinta ini ternyata juga terlibat dalam perjuangan kaum nasionalis saat melawan Belanda. Ada 670 pelacur anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berperan sebagai mata-mata. Bung Karno bahkan menyebut mereka “pasukanku”.

“Pelacur adalah mata-mata paling baik di dunia. Aku telah membuktikannya di Bandung,” kata Bapak Proklamator itu, seperti ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.

Mereka bisa dengan mudah mengorek informasi dari polisi-polisi Belanda. Mereka juga mendukung partai secara finansial karena selalu mempunyai uang dari pekerjaannya. Sebagian anggota menganggap menggunakan wanita malam sebagai mata-mata adalah tindakan yang memalukan, serta merendahkan nama dan tujuan partai. Namun Sang Proklamator menyanggah anggapan ini.

“Bagiku persoalannya bu­kan bermoral atau tidak ber­moral. Tenaga yang dahsyat itulah satu-satunya yang kuperlukan,” Kehadiran para wanita cantik ini pun berhasil membuat anggota partai rajin datang pada rapat mingguan. Untuk mengecoh polisi Belanda, rapat kadang diadakan di rumah bordil. Para anggota datang sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil. Selesai rapat, sebagian pulang lewat pintu depan, sebagian lainnya lewat pintu samping atau pintu belakang.

Usaha pemberantasan prostitusi di Bandung juga sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsche-Indie pada 26 Oktober 1931, misalnya, disebutkan adanya petisi terhadap Dewan Kota tentang perlunya pengaturan prostitusi jalanan sampai rumah bordil. Di koran De Expres edisi 28 Januari 1913 ada surat pembaca yang ditulis oleh pengurus organisasi Budi Oetomo cabang Bandung dan Sarikat Boemi Poetra tentang pembentukan komite pemberantasan prostitusi. Bahkan Saritem sempat disebut oleh koran Soerabaijasch Handelsblad pada 10 Oktober 1930. 

Mengutip Java Bode, koran ini menulis ”Di Gang Saritem di Bandoeng ada sebuah rumah yang di depannya ada meja biliar dan yang sebenarnya adalah semacam kedai kopi, yang dioperasikan oleh se­orang pensiunan tentara Eropa. Selain menjadi cafe, rumah itu juga menjadi sa­rang perjudian dan karena­nya cukup ramai.”

Sejak awal abad ke-16 sampai saat ini, prostitusi masih menjadi masalah yang tidak akan pernah selesai.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//