Kemah Ramu Rempah, Belajar Mencintai Herbal dan Rempah Nusantara
Selama ini kita lebih sering menggunakan obat-obat modern yang diproduksi secara kimiawi. Padahal, nusantara memiliki kekayaan obat-obat tradisional atau herbal.
Penulis Tofan Aditya11 Oktober 2023
BandungBergerak.id - Berbagai hidangan makan siang sudah tersaji di atas meja. Oday Kodaryah selaku tuan rumah, menjelaskan detail tiap hidangan yang akan disantap. Ada nasi liwet, ikan goreng, pepes ayam, perkedel jagung, karedok, dan sambal. Semua dimasak dengan bahan baku murni dari alam, tanpa sedikit pun menggunakan bahan kimia atau penyedap buatan.
Agenda santap siang tersebut dinamai Ramu Saji. Memang, agenda ini diniatkan sebagai purwarupa praktik meramu makanan dan minuman dengan pendekatan pengetahuan serta teknologi tradisional. Tentu bukan hanya meramu, tapi juga menceritakan berbagai khasiat dan manfaat dari setiap menu yang disajikan.
“Kalau ada cabe mah hanya pelengkap yah. Tapi, pelengkap yang luar biasa. Karena dari cabe gendot ini, (vitamin) C-nya sangat tinggi. Ini (juga) ada salam, dan pasti ada sereh. Jadi kalau kita makan kayak gini, kita nggak akan kelebihan karbohidrat,” ujar Oday, menjelaskan kandungan gizi yang ada dalam nasi liwet.
Ramu Saji adalah agenda pembuka dalam kegiatan Kemah Ramu Rempah yang digagas oleh Jendela Ide Indonesia. Bertempat di Taman Klinik Tanaman Obat (KTO) Sari Alam, berjarak 12,4 kilometer ke selatan dari Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, semua peserta yang hadir tampak lahap menyantap hidangan di antara pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi.
Berbagai organisasi dan komunitas hadir dalam kegiatan yang digelar pada hari Sabtu dan Minggu, 7-8 Oktober 2023. Beberapa di antaranya antara lain Alam Jabar, Kawargian Padepokan Pasir Ipis Lembang, Komunitas Budi Daya, Palintang, Praktisi Pengetahuan Tradisional, Rumah Ramu, dan Rumah Rempah. Selain itu, kegiatan ini juga dihadiri oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung.
“Kita memiliki pengetahuan lokal komunal yang bisa sangat dan layak dikembangkan oleh masyarakat kita. Terutama bidang kita, yaitu obat-obatan dan rempah,” tutur Djaelani, Ketua Jendela Ide Indonesia, menyampaikan pesan utama dari kegiatan ini.
Melihat seluruh peserta telah selesai dengan santap siangnya, Oday bangkit dari tempat duduknya. Mamah Oday, begitu ia akrab disapa, kemudian mengajak semua peserta yang hadir untuk berkeliling sekitar area dan kemudian berkunjung ke Herbarium miliknya.
Tahun depan usianya genap 70 tahun, namun semangatnya masih membara. Di hadapan seluruh peserta, Mamah Oday menjelaskan beberapa tanaman obat yang ditanam. Dia juga menjelaskan bahwa di lahan seluas 21,35 hektare telah tertanam lebih dari 900 tanaman obat.
Tidak jauh berjalan, seluruh peserta telah tiba di Herbarium. Sebanyak 18 bilik kaca yang berisikan total 26 tanaman obat utama. Tanaman-tanaman tersebut adalah temu putih, temu hitam, temu mangga, temu lawak, kunyit, jahe merah, puring, lokat mala, andong/hanjuang, jali/hanjeli, miana/jawer kotok, pegagan, lidah buaya, lidah mertua, legundi, karok/karuk, jombang, kapulaga seberang/kapol, gandola, meniran, daun ungu, daun sendok, cakar ayam, bawang sabrang, kecibeling/keji beling, dan ciplukan.
“Padahal semua tanaman ini adalah yang diinjak-injak sama kita. Yang diinjak sama kita, ada di mana saja. Mamah jadi bertanya, ke mana saja selama ini kita?” tanya retoris Mamah Oday ke seluruh peserta yang hadir.
Mamah Oday, dari Kanker Serviks sampai Kalpataru
Kecintaan Mamah Oday terhadap rempah dan tanaman obat tidak serta merta datang. Mamah Oday bercerita bahwa semua bermula ketika dirinya divonis menderita kanker serviks pada tahun 1991.
Sejak divonis menderita kanker, tiga tahun lamanya Mamah Oday bersentuhan dengan obat kimia. Selama waktu tersebut, efek samping obat mulai muncul: anggota tubuh bengkak, kesemutan, dan gatal. Bahkan ia sempat mengalami pendaharan.
Kala itu, dokter meminta Mamah Oday untuk melakukan operasi. Namun, Mamah Oday tidak memilih jalan tersebut. Bukannya tidak mau, hanya saja ia dan keluarga tidak memiliki uang untuk operasi. Dengan mata berkaca-kaca, Mamah Oday bercerita bahwa kala itu dirinya seperti sedang menunggu mati.
Kala itulah, Djadjat Sudrajat, sang suami, mengusahakan berbagai cara agar Mamah Oday bisa sembuh. Jalan yang dipilih kemudian adalah menggunakan obat-obatan tradisional.
“Ya berjuang. Mamah harus hidup. Sampai Mamah sembuh. Sampai saya tahu banget bahwa tanaman obat itu bagaimana kalau diblender, bagaimana kalau dicincaukan,” nada bicaranya berubah pelan, air mata tertahan di matanya seiring napas panjang terembus.
Baca Juga: Daftar Obat Sirop Diduga Mengandung Cemaran Etilen Glikol dan Dietilen Glikol
Obat Gosok Kuda dan Pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda 1918-1919
Metode Baru Pengobatan TB Berdasarkan Obat Lama
“Jadi selama 6 tahun itu saya sepertinya meneliti, padahal mah bukan. Karena saya harus sembuh!” katanya.
Perlahan, ketekunan Mamah Oday dan sang suami berbuah hasil. Kondisinya mulai membaik, nafsu makannya kembali, pendarahan berhenti, dan anggota tubuhnya tidak lagi terasa nyeri apabila disentuh. Dari “keterpaksaan” tersebut, Mamah Oday tidak ragu untuk terus mempelajari pengobatan tradisional.
Berbagai literasi terkait rempah dan tanaman obat ia baca. Berbagai pelatihan juga ia ikuti. Hingga kemudian pada tahun 2001, ia mendapatkan sertifikat dari Yayasan Karya Sari dan layak menjadi herbalis. Dari gelar tersebut ia kemudian membuka klinik pusat konsultasi dan pengobatan herbal.
Apa yang dipelajari Mamah Oday bersama sang suami tidak dia pendam sendiri. Ilmu-ilmu yang dia dapatkan kemudian dibagikan dan dipraktikkan untuk membantu orang-orang di sekitarnya.
“Mah, hidup kita itu ditakdirkan untuk berjuang. Makanya nanti istirahatnya di sisi Allah saja,” ucapnya lirih mengulang pesan sang suami kepada dirinya.
Apa yang dilakukan Mamah Oday mulai mendapatkan pengakuan dari banyak orang. Berbagai penghargaan ia dapatkan baik di tingkat lokal maupun nasional. Salah satu di antaranya penghargaan Kalpataru sebagai perintis lingkungan pada tahun 2018.
Jendela Ide Indonesia dan Rumah Pemajuan Kebudayaan
Didirikan pada tahun 1995 oleh Andar Manik dan Marintan Sirait, Jendela Ide Indonesia adalah sebuah lembaga budaya inklusif yang merangkul kaum muda dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan memegang teguh kepedulian akan manusia dan lingkungan, Jendela Ide Indonesia mengupayakan transformasi nilai melalui media seni budaya.
Kemah Ramu Rempah adalah satu dari sekian banyak rangkaian Rumah Pemajuan Kebudayaan. Program ini salah satunya fokus pada pengetahuan tradisional. Sebelum Kemah Ramu Rempah, program ini telah menggelar dua Focus Group Discussion (FGD) yang membahas tema serupa dengan mengundang berbagai komunitas dan akademisi dari berbagai universitas.
“Mereka (masyarakat) lebih banyak menggunakan obat-obatan medis modern. Padahal kita (pengobatan tradisional) juga tidak kalah. Bahkan obat-obatan medis modern berawal dari obat-obatan medis lokal,” ujar Djaelani, menjelaskan latar belakang hadirnya program ini.
Rempah dan tanaman obat menjadi alasan kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia pada zaman dulu kala. Sayang, kini kehadiran tanaman-tanaman khas nusantara tersebut mulai hilang tergerus zaman. Jendela Ide Indonesia hadir untuk mengembalikan ingatan masyarakat tentang efektivitas pengobatan tradisional yang tentu berdasarkan hasil riset dan penelitian.
Lewat kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan, Jendela Ide Indonesia berupaya untuk menyambungkan berbagai stakeholder. Harapannya, melalui hasil riset dari peneliti dan praktik baik yang dilakukan komunitas, akan muncul satu model bisnis. Bukan hanya menghasilkan ekonomi dan membantu masyarakat sekitar, tapi juga menjaga budaya nusatara agar tetap lestari.
“Bagaimana kemudian masyarakat nanti kembali, tidak usah jauh-jauh untuk mencari obat-obatan yang dihasilkan oleh obat modern, tapi juga mereka setidaknya mau menggunakan obat-obatan hasil nenek moyangnya sendiri,” pungkas Djaelani.
*Reportase ini adalah hasil kerja sama antara BandungBergerak.id dan Jendela Ide Indonesia dalam program Rumah Pemajuan Kebudayaan yang didanai oleh Dana Indonesiana dari Kemendibudristek RI