Apa Kamu Baik-baik Saja?
Kelompok kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri di Australia memahami pentingnya komunikasi dalam pencegahan bunuh diri dengan menggagas gerakan "RU OK?"
Okky Ardiansyah
Penikmat tulisan sepak bola dan politik.
20 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Jembatan gantung Clifton begitu aduhai. Dua menara yang menjulang tinggi meneguhkan bahwa jembatan yang melintasi Jurang Avon dan Sungai Avon itu merupakan karya arsitektur menakjubkan sekaligus simbol kemegahan Bristol, Inggris.
Namun, cerita Jembatan Clifton bukan hanya tentang anggun dan kokohnya sebuah infratruktur, tetapi juga soal kerapuhan jiwa manusia.
Berdasarkan data Cambridge University, lebih dari 8 orang per tahun dalam kurun 1994-1998 menjadikan Jembatan Clifton sebagai persinggahan terakhir di dunia. Mereka meratapi nasib buruk, merutuki dunia, dan melompat dari Jembatan Clifton untuk melepas kehidupan.
Jika ada pertanyaan "Kenapa orang-orang melakukan bunuh diri di Jembatan Clifton", maka tidak ada jawaban tepat yang dapat diajukan. Jawaban karena ini, karena itu, karena ini-itu, acapkali berakhir dengan asumsi liar, cocoklogi yang memaksakan, dan tidak pernah bisa dikonfirmasi. Sebab, bunuh diri merupakan masalah sensitif, rumit, dan kompleks.
Dalam jurnal bertajuk Effect of barriers on the Clifton suspension bridge, England, on local patterns of suicide: implications for prevention, Olive Bennewith dkk menegaskan, perhatian pada kasus bunuh diri jangan hanya berfokus pada penyebab atau latar belakang, tetapi juga metode orang-orang mengakhiri hidupnya sendiri, entah itu melompat dari Jembatan Clifton, meneguk sianida, maupun menggantung dirinya sendiri.
Dengan mengetahui kebanyakan metode atau cara pada kasus bunuh diri, kata Bennewith dkk, kita dapat mengambil tindakan dan kebijakan untuk menekan angka kasus bunuh diri itu sendiri.
Bennewith dkk menuliskan, pembangunan pembatas jembatan pada 1999 menjadi salah satu faktor yang membuat kasus bunuh diri di Jembatan Clifton menurun. Dari 8,2 orang per tahun pada 1994-1998 menjadi 4 orang per tahun pada 1999-2003.
Hal senada dikatakan Mantan Direktur Eksekutif Lifeline yang merupakan badan amal dan layanan pencegahan bunuh diri di Australia, Colman O'Driscoll. Ia menuturkan, pembatasan pada akses dan metode pada kebanyakan kasus bunuh diri menjadi kunci pencegahan.
O'Driscoll lantas menyinggung salah satu latar belakang jumlah kasus bunuh diri pada laki-laki lebih besar ketimbang perempuan. Di Amerika Serikat, misalnya, jumlah perempuan yang melakukan percobaan bunuh diri lebih banyak 1,2 kali ketimbang laki-laki. Namun, angka kasus bunuh diri pada laki-laki lebih tinggi hingga tiga kali lipat.
Menurut O'Driscoll, kondisi tersebut terjadi karena cara atau metode dan akses laki-laki untuk membunuh dirinya sendiri lebih agresif dan mematikan. Ada indikasi kepemilikan senjata api menjadi penyebabnya. Laki-laki yang memiliki senjata api di Amerika Serikat lebih banyak ketimbang perempuan.
Namun, kata O'Driscoll, pembatasan pada akses dan metode untuk menekan kasus bunuh diri perlu penelitian yang komprehensif dan peran pemerintah. Penelitian tentang cara dan metode bunuh diri yang biasa dilakukan harus dirangkum dengan baik.
Setelah data didapat, pemerintah harus mengambil kebijakan yang tegas. Misal, kasus bunuh diri kebanyakan dilakukan dengan menembak kepala sendiri, maka kepemilikan senjata harus dibatasi.
Baca Juga: Mengatasi Depresi dengan Mikroba
Belajar Mencintai Diri Apa Adanya dengan Memahami Hubungan Intrapersonal
Jangan Mati Dulu, Hidupmu Besok akan Baik-baik saja
Komunikasi sebagai Upaya Deteksi
Selain pembatasan pada cara dan akses, komunikasi menjadi salah satu upaya untuk mendeteksi potensi munculnya kasus bunuh diri. Berbicara tentang masalah hidup kepada rekan atau psikolog, dapat menyusutkan potensi maupun dorongan orang-orang untuk melenyapkan kehidupan.
"Berbicara tentang perasaan, dapat menghadirkan kekuatan," ucap O'Driscoll.
Kelompok kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri di Australia memahami pentingnya komunikasi dalam pencegahan bunuh diri. Kelompok tersebut pun menggagas gerakan "RU OK?"
Gerakan tersebut mendorong setiap orang untuk berbicara tentang kondisi mereka. “RU OK?” bertujuan untuk mendorong orang-orang tetap terhubung dan menjalin komunikasi. Ini sebagai upaya untuk dapat membantu orang-orang melewati masa-masa sulit dalam hidup mereka.
“RU OK?” berfokus pada membangun motivasi, kepercayaan diri, dan keterampilan orang yang dapat melakukan percakapan bermakna dengan seseorang yang sedang berjuang dengan kehidupan.
Gerakan tersebut berkontribusi pada upaya pencegahan bunuh diri dengan mendorong orang untuk menginvestasikan lebih banyak waktu dalam hubungan pribadi mereka.
Selain itu, “RU OK?” menstimulus orang-orang untuk memperhatikan rekan-rekan terdekat. Sebab, perhatian dari rekan terdekat akan terasa lebih hangat, bermakna, dan intim.
Di era digital, yang mana media sosial hadir sebagai ruang segala hal, gerakan “RU OK?” dapat digaungkan. Hal paling sederhana adalah melihat unggahan rekan terdekat di media sosial. Jika rekanmu berbicara tentang persoalan hidup yang sungguh berat, kamu dapat meresponsnya dengan “Apa kamu baik-baik saja?” atau “Ada masalah apa?” atau “Ayo ngopi dan ngobrol, barangkali bisa bantu.”
Jika rekanmu tidak merespons, kamu tidak usah merasa tidak enak hati. Ada kata-kata lain yang dapat kamu ucapkan tanpa perlu mendapat respons. Sebagaimana mengutip judul lagu bang Kin-Kin, kamu dapat mengirim pesan “Masalah Hari Ini, Candaan Esok.”
Pesan-pesan atau pertanyaan tersebut memang terkesan sederhana dan basa-basi. Namun, itu cukup untuk meyakinkan rekanmu bahwa dia tidak sendirian. Ada orang-orang yang peduli, siap membantu, dan hadir dalam kemuraman.
“Jika beban yang kamu pikul sangat berat dan berpikir satu-satunya cara untuk menyelesaikannya dengan bunuh diri, tolong bicara dengan seseorang," ucap Petarung UFC, Patrick Mark Pimblett.
Jangan sampai, ketika ada rekanmu mengunggah persoalan hidup di media sosial, kamu meremehkan dan mendiskreditkannya. Bisa saja, unggahan itu menjadi tanda bahwa rekanmu ingin mendapat bantuan. Kepekaan di media sosial jangan selalu fokus pada hal-hal besar saja, tetapi juga beri atensi pada rekan terdekat. Tepukan di pundak dari rekan terdekat sudah cukup untuk menyusutkan pikiran bengis, dan meyakini bahwa hidup akan baik-baik saja.