Implementasi Pengendalian Mutu Sekolah Berbasis Agama di Indonesia
Sekolah berbasis agama sangat erat hubungannya dengan budaya setempat yang memandang agama sebagai budaya atau pun sebaliknya.
Wilfridus Demetrius S.
Mahasiswa Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta/Dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.
25 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Sekolah berbasis agama negeri yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah, lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Direktorat Pendidikan, Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai bagian dari tanggung jawab negara dalam memperjuangkan politik pendidikan kelompok beragama di Indonesia. Pemerintah melalui Kemenag dan Kemendikbud bertanggung jawab atas pengelolaan, pembiayaan, monitoring, dan supervisi.
Tulisan ini menggunakan pendekatan studi kasus dan studi literatur dengan membahas perkembangan sekolah berbasis agama negeri di Indonesia. Sekolah berbasis agama negeri adalah lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah dengan pendekatan agama dalam kurikulum dan pengajarannya. Sebagai contoh, perkembangan ini tidak pernah lepas dari sejumlah tokoh agama seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy`ari dan Mahmud Yunus. Lembaga Pendidikan Katolik ada Van Lith, Soegijapanata, Geise, dan Santo Ignatius dari Loyola.
Pendidikan Islam telah ada di Indonesia sejak masa sebelum kolonialisme, masuk bersamaan dengan ekspansi dagang para pedagang Islam dari India dan Timur Tengah. Selain berdagang, mereka juga sekaligus menyebarkan agama. Namun, setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, perkembangan sekolah Islam negeri semakin diakui dan didukung oleh pemerintah. Sebut saja madrasah dan sekolah pesantren. Tidak seluruhnya berisi ilmu agama. Muhammadiyah misalnya, pola menggunakan 50% agama 50% umum (Mahdalena, 2017). Model ini juga mengadopsi pendidikan modern yang kemudian melahirkan sekolah-sekolah umum model Belanda dengan tambahan pengajaran Agama Islam (Buchori, 2007).
Cerita sejarah ini bisa kita bandingkan dengan perkembangan pendidikan Agama Katolik pada masa awal ekspansi Portugis dan Belanda ke Indonesia. Pelopor pengelolaan pendidikan Katolik di Indonesia hampir berbarengan dengan penyebaran agama yang dibawa oleh para misionaris Belanda (pastor dan suster biarawati) waktu itu. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ada sekolah-sekolah berbasis keagamaan yang menitikberatkan pengajaran agama baru kemudian memasukkan pelajaran umum. Sekolah berbasis keagamaan ini memiliki figur kharismatik, misalnya Kiyai di komunitas Muslim, Pastor/Suster Biarawati di komunitas Katolik atau Pendeta di komunitas Kristen. Mereka dihormati dan disegani, baik oleh komunitasnya maupun masyarakat sekitar, bahkan mereka diyakini sebagai wakil Tuhan.
Baca Juga: Di Balik Selubung Pendidikan Sekolah Yayasan
Mau Beasiswa Penuh dari Kementerian Agama? Ini Hal-hal yang Harus Diketahui
Tertib Administrasi Aset Sekolah
Pendidikan Berbasis Agama
Laman Pendis Kemenag mengutip bahwa pendidikan agama diatur secara khusus dalam UU No, 4 Tahun 1950 pada bab XII Pasal 20. Kemudian melahirkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 6 tahun 1975 dan No. 037/U/1975 antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah. Selanjutnya, dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 menyebut bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik (Pasal 12 ayat a). Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan juga bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur berkaitan dengan 8 standar nasional pendidikan.
Uraian tentang sejarah, dinamika, tata kelola, dan kebijakan di atas tidak lepas dari pengawasan dan jaminan mutu pendidikan yang dapat mendeteksi ketercapaian pendidikan. Bentuk Pengendalian meliputi pengendalian internal dan eksternal. Pengendalian internal adalah pengendalian yang dilakukan oleh perangkat/manajemen di dalam organisasi itu sendiri, sedangkan pengendalian eksternal adalah pengendalian yang dilakukan oleh perangkat dari luar organisasi itu sendiri. Pengawasan yang baik seharusnya dilakukan dengan pendekatan sistem: 1) integrasi antara perencanaan dan pengawasan; 2) mengaitkan sistem pengawasan dengan struktur organisasi yang secara sinergis terkait dengan pencapaian tujuan secara keseluruhan; 3) merancang sistem untuk pengambilan keputusan; 4) informasi dan pelaporan yang tepat waktu (Saihan dan Muhith, 2019).
Juran menyebut bahwa pengawasan menjadi salah satu asesmen terhadap mutu pendidikan dengan mempertimbangkan faktor kepemimpinan, rencana strategis, kekuatan kerja, fokus terhadap tindakan, hasil yang terukur, dianalisis, dan dikelola dengan tepat (De Feo, 2015). Jika kita merujuk pada sekolah-sekolah berbasis keagamaan, visi, misi, nilai (termasuk nilai agama), dan kebijakan menjadi muruah tersendiri bagi lembaga pendidikan ini. Maka sangat lumrah, lembaga pendidikan berbasis keagamaan biasanya sangat kental dengan aspek geografis, budaya dan kurikulum (Saihan dan Muhith, 2019). Perumusan visi, misi, nilai, dan kebijakan tentu saja perlu berkolaborasi dengan pihak manajemen sekolah (kepala sekolah dan guru), komite sekolah dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) termasuk Kemenag dan Kemendikbud. Keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam mewujudkan sekolah yang bermutu.
Provinsi Jawa Barat misalnya, sekolah berbasis agama negeri yang cukup populer sebagian besar berada di wilayah Indramayu, Garut, Tasik, dan Ciamis. Pemilihan tempat ini juga sangat erat hubungannya dengan budaya setempat yang memandang agama sebagai budaya atau pun sebaliknya. Selain itu, kurikulum yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan seperti ini sangat menitikberatkan pada nilai-nilai keagamaan yang diyakini sebagai kontrol terhadap ilmu pengetahuan dan sebagai kontrol sosial. Tidak heran, lembaga pendidikan berbasis keagamaan mengedepankan pendidikan karakter berbasis keagamaan seperti kedisiplinan, religiositas, ekologis, intelektualitas dan kesehatan jiwa raga. Hal ini yang kemudian menjadi alasan bagi banyak lembaga pendidikan berbasis keagamaan menyediakan pemondokan (pondok pesantren), asrama atau sejenisnya.
Proses pengendalian mutu memerlukan pengawasan yang efektif harus melibatkan semua tingkatan manajer dari atas sampai bawah dan kelompok kerja. Konsep pengawasan yang efektif mengacu pada pengawasan mutu terpadu (TQC) (Fattah, 1996). Sebagai contoh di madrasah ibtidaiyah negeri Kabupaten Bondowoso yang terakreditasi A, pengawasan dilakukan oleh pengawas pendidikan Agama Islam atau pengawas sekolah, yaitu ASN yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan dan penilaian serta pembinaan teknis di bidang pendidikan (Saihan dan Muhith, 2019).
Pengendalian mutu dalam tataran operasional lembaga pendidikan berbasis agama ditujukan pada aspek input, proses dan output atau hasil pendidikan. Substansi supervisi pendidikan meliputi: (a) supervisi terhadap pelaksanaan kurikulum, pengajaran, pemahaman guru terhadap kurikulum, penjabaran guru terhadap teknik penilaian, penjabaran dan penyesuaian kurikulum (b) supervisi terhadap kegiatan belajar mengajar.
Keunggulan Lembaga Pendidikan Berbasis Agama
Pengendalian mutu dilakukan dengan menyusun rencana, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dalam menetapkan tujuan. Tahap sosialisasi visi dan misi merupakan instrumen kunci dalam pencapaian program agar seluruh tenaga pendidik dan kependidikan memiliki pandangan yang sama untuk mencapai tujuan. Pemangku kepentingan di satuan pendidikan berkewajiban mensosialisasikan rumusan visi dan misi sekolah yang merupakan landasan keunggulan mutu lembaga berbasis keagamaan. Program kegiatan keagamaan seperti sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, Fiqih, Al-Qur’an Hadist, serta Aqidah Akhlak, pesantren kilat dan tahfidz Al Qur'an, konsentrasi bakat dan minat peserta didik, pengolahan aspek hardskill dan softskill, dan turut serta dalam berbagai kompetisi di tingkat lokal dan nasional.
Lembaga pendidikan berbasis agama seperti Madrasah memiliki tujuan yang telah ditetapkan dalam visi dan misi sebagai target yang ingin dicapai. Sekolah menyusun rencana, tujuan, dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dalam bentuk dokumen perencanaan program sekolah dan kegiatan sekolah yang dituangkan dalam Rencana Pengembangan Sekolah. Capaian standar mutu merupakan hasil yang terukur melalui (1) perencanaan program, (2) pelaksanaan rencana kerja, (3) pengawasan dan evaluasi, (4) kepemimpinan sekolah, dan (5) sistem informasi manajemen. Perencanaan merupakan rangkaian kegiatan pertama dalam proses manajemen, tak terkecuali dalam peningkatan kinerja guru. Peningkatan mutu pendidikan di lembaga pendidikan agama negeri mendapat prioritas dari pemerintah melalui standarisasi kurikulum dan kualitas pengajaran dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keagamaan termasuk peningkatan fasilitas dan pelatihan guru.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan berbasis keagamaan, baik negeri maupun swasta yang dikelola secara mandiri, standar mutu yang dibangun berupa pencapaian keimanan dan ketakwaan, akhlak mulia, serta budi pekerti luhur. Tujuannya agar mempersiapkan lulusan yang mampu menghadapi era teknologi industri 4.0. Maka lembaga ini membekali peserta didik dalam menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, seni budaya, dan kurikulum dengan subyek mata pelajaran khusus berwawasan keagamaan sebagai bekal menghadapi kehidupan di masa depan. Selain itu, juga mengembangkan kemampuan siswa dalam kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler tetap menjadi proporsi yang seimbang bagi pertumbuhan dan kematangan peserta didik.
Tujuan dari pengendalian internal ini adalah untuk menghasilkan kepuasan dan pengukuran mutu sekolah secara internal untuk mencapai target mutu sekolah. Sedangkan, pengendalian mutu eksternal dilakukan dengan cara meningkatkan sumber daya manusia dan potensi yang ada dengan melakukan kompetisi, publikasi, dan menyesuaikan tuntutan di luar sekolah. Artinya, pengendalian mutu pendidikan di lembaga pendidikan berbasis agama tetap memperhatikan aspek: (a) visi, misi, dan tujuan; (b) kurikulum; (c) pendidik dan tenaga kependidikan; (d) peserta didik; (e) sarana dan prasarana; (f) dana/pembiayaan; (g) peraturan satuan pendidikan; (h) organisasi; (i) ketatalaksanaan; (j) peran serta masyarakat; dan (k) budaya satuan pendidikan. Tantangannya, meskipun pendidikan berbasis agama tetap menjadi favorit karena memiliki tawaran mutu yang berbeda baik dari aspek pengelolaan dan profil lulusan, masih ada beberapa tantangan dalam pengembangan sekolah seperti sumber daya yang masih terbatas, kualifikasi guru, penyediaan fasilitas yang belum memadai, dan penerimaan siswa baru di sebagian sekolah berbasis keagamaan cenderung mengalami penurunan dari sisi jumlah siswa.