• Opini
  • Tertib Administrasi Aset Sekolah

Tertib Administrasi Aset Sekolah

Membiarkan sekolah tak bersertifikat tanah sama halnya dengan menyimpan bom waktu yang entah kapan akan timbul persoalan.

Fauzan

Pegiat Pendidikan dan Literasi

Dua murid SDN Cibungur Kelas Jauh di Kampung Cijuhung sudah pulang sekolah. (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

2 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Sebagian besar orang tua anak yang baru masuk SD pasti tidak asing dengan kejadian-kejadian ini. Pada awal tahun ajaran, anak-anak mereka mengeluh kehilangan pensil, ballpoint tertukar, penghapus tertinggal di kelas, atau bahkan mendapati pensilnya bertambah tiba-tiba. Atau ada pula anak yang sampai kehilangan sepatu sebelah gara-gara ada temannya yang keliru mengambil sepatu dari rak depan kelas.

Mereka yang tertib dan apik akan membuat label dengan nama anak untuk kemudian ditempel di alat tulisnya. Cara ini biasanya akan berhasil sehingga tidak ada lagi kejadian tertukar atau terambil oleh orang lain. Dengan penandaan itu, anak akan tahu mana barang miliknya atau bukan. Kebiasaan kecil yang terlihat sangat sepele ini pun akan menumbuhkan rasa memiliki dalam diri masing-masing anak.

Pelabelan seperti ini pun akan sangat berguna dalam pengelolaan aset sekolah. Pemasangan plang yang menyatakan identitas sekolah akan meneguhkan bahwa terdapat proses pendidikan yang berlangsung di atas tanah dan bangunan tersebut. Meskipun sebenarnya, keberadaan guru-siswa sudah sangat jelas menunjukkan kalau di situ ada sekolah. Namun terkadang di banyak keadaan, penguasaan fisik saja tidak cukup.

Baca Juga: Sekolah Favorit yang Masih Mengakar
Jangan Ada Pungutan di Sekolah Berdalih Sumbangan
Aparatur Sipil Negara yang Melek Politik

Aset Sekolah

Kenapa demikian? Faktanya, masih ada banyak sekolah yang secara administrasi kepemilikan tidak apik. Surat-surat tanah belum kunjung diurus sehingga berimbas kepada berbagai permasalahan. Tanpa perlu menyebut sekolah mana, silakan Anda coba buka peramban dan ketikan sengketa lahan sekolah, pasti ada saja satu dua kasus yang muncul. Di beberapa kasus bahkan sampai diangkat ke meja hijau dan dimenangkan penggugat yang umumnya mengaku ahli waris.

Sebaiknya permasalahan penataan aset tidak dianggap sepele. Kepala sekolah harus menyadari betul tugasnya untuk memastikan bagaimana status tanah sekolahnya. Apakah sudah memiliki sertifikat atau belum. Kalau ternyata belum, cari tahu sekaligus kerahkan segenap kemampuan agar tanah tersebut bersertifikat. Ini penting untuk menghindarkan dari upaya pengambilalihan lahan.

Kendatipun tidak ada upaya ambil-alih dari pihak lain, sekolah yang tanahnya tidak bersertifikat akan terkendala saat ada rencana renovasi. Berita 60 persen SD Negeri di Kabupaten Tasikmalaya berdiri di atas tanah carik milik pemerintah desa menjadi satu contoh nyata. Sebagian ruang kelas yang mengalami kerusakan tidak bisa diperbaiki lantaran perbaikan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pemerintah pusat mensyaratkan keberadaan dokumen sertifikat tanah.

Di masa lalu, urusan tertib administrasi seperti itu tidak terlalu menjadi soal. Ada tanah pemerintah desa yang tidak dipergunakan bisa langsung dibangun sekolah demi akses pendidikan yang lebih memadai. Atau ada masyarakat yang memiliki tanah lebih dengan sukarela menghibahkan tanahnya agar lebih banyak lagi masyarakat yang mengenyam pendidikan. Di samping itu, ada juga pembangunan sekolah hasil kerja sama dengan perguruan tinggi.

Pada perjalanannya, zaman berubah sehingga menuntut tertib administrasi dalam pengelolaan aset. Ada kepala sekolah yang sadar atau karena keadaan yang memaksa sehingga mengurus pensertifikatan tanah untuk sekolah. Namun tidak sedikit juga yang abai atau tidak tahu harus melakukan apa menghadapi situasi ketiadaan sertifikat tanah. Atau ada juga yang baru mendapati kenyataan bahwa terjadi pencatatan aset ganda dengan pihak lain.

Sertifikat Aset

Membiarkan sekolah tak bersertifikat tanah sama halnya dengan menyimpan bom waktu yang entah kapan akan timbul persoalan. Setiap unsur yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah semestinya menyadari hal itu. Terlebih bagi sekolah-sekolah yang dalam sejarahnya merupakan hasil proses hibah dari seseorang. Mungkin sekarang tidak jadi masalah. Namun ketiadaan bukti kepemilikan menjadi celah bagi seseorang yang gelap mata untuk melakukan pengambilalihan.

Beberapa tahun lalu, Pemerintah Kota Bandung sempat mengambil kebijakan tegas untuk memastikan penatausahaan aset sekolah benar-benar dilakukan. Kepala sekolah harus rela perolehan tunjangan kinerjanya ditunda sebelum menuntaskan tugas yang sangat menunjang terhadap perolehan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI. Langkah ini cukup berhasil sehingga sekolah-sekolah di kota kembang lebih aware lagi terhadap masalah aset.

Pensertifikatan tanah memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit terlebih bagi sekolah-sekolah yang berada di lokasi strategis. Akan tetapi, akan jauh lebih mahal harga yang harus dibayar apabila sampai terjadi pengambilalihan oleh pihak lain. Bukan hanya bicara soal uang yang mesti dikeluarkan. Lebih dari itu akan menimbulkan efek psikologis terhadap siswa maupun orang tua yang mempercayakan anaknya.

Bagaimana nasib siswa yang sekolahnya dalam sengketa tanah? Sebagai pengingat, pada suatu kasus sengketa tanah sekolah pernah ada peristiwa penggembokan gerbang sekolah oleh sekelompok orang yang mengaku ahli waris. Jangan sampai para siswa menjadi korban atas mental tempe pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pendidikan yang enggan berjuang untuk memagari sekolah dari kepentingan-kepentingan orang pragmatis.

Maka dari itu, tidak bisa tidak pihak sekolah harus memastikan penatausahaan aset tanah sekolahnya dilakukan dengan benar. Jika belum bersertifikat, segera proses pensertifikatannya, susun berbagai alternatif rencana jika prosesnya terkendala, rinci potensi masalah yang mungkin timbul, petakan pihak-pihak yang mungkin akan merongrong, ajak warga sekolah termasuk komite sekolah agar sama-sama memperjuangkan adanya ketetapan hukum atas tanah sekolah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//