• Opini
  • Jangan Ada Pungutan di Sekolah Berdalih Sumbangan

Jangan Ada Pungutan di Sekolah Berdalih Sumbangan

Praktik pungutan di sekolah berdalih sumbangan hanya sedikit yang mencuat. Selebihnya, jauh lebih banyak yang tidak terungkap karena satu dan lain hal.

Fauzan

Pegiat Pendidikan dan Literasi

Dua murid SDN Cibungur Kelas Jauh di Kampung Cijuhung, duduk di tangga masuk kelas sepulang sekolah, Mei 2023. (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

21 Juli 2023


BandungBergerak.id – Pasca Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), terutama bagi sekolah negeri, umumnya sekolah akan menyelenggarakan rapat orang tua. Orang tua dikumpulkan untuk menerima informasi mengenai “program” sekolah yang akan berlangsung selama setahun ke depan.

Jika di dalam bisnis, mungkin itu yang dinamakan town hall meeting untuk menjabarkan rencana bisnis perusahaan dalam periode tertentu agar perusahaan semakin maju dengan beragam turunan rencana program untuk menggapainya.

Rapat orang tua di awal tahun ajaran juga harapannya demikian. Pihak sekolah memaparkan visi misi serta berbagai program yang akan dijalankan dalam upaya mencerdaskan kehidupan para siswa yang bersekolah di sekolah tersebut. Dengan kejelasan rencana sekolah, harapannya para orang tua tidak hanya menitipkan anaknya melainkan turut bahu-membahu membantu sekolah merealisasikan segala program.

Itu baik. Sangat-sangat baik. Sebab tanggung jawab untuk mendidik anak bukan hanya tugas guru dan pihak sekolah semata. Melainkan sudah menjadi tugas multipihak termasuk orang tua di dalamnya. Sekolah bukanlah bengkel untuk memperbaiki moral anak-anak yang ketika ada perilaku amoral pada mereka semua telunjuk diarahkan kepada sekolah dan terutama guru karena dianggap gagal mendidik.

Satu hal yang jadi catatan penting adalah paradigma umumnya sekolah bahwa town hall meeting di sekolah hanya diperuntukkan bagi orang tua siswa kelas awal dan akhir. Apakah hanya mereka yang berhak menerima informasi sejelas-jelasnya mengenai program pembelajaran maupun di luar pembelajaran? Atau ada maksud lain sehingga hanya kalangan tertentu saja yang menjadi sasaran dalam pemaparan program tersebut?

Baca Juga: Pungutan Liar saat PPDB, Ombudsman Jabar Meminta Disdik Memperkuat Pengawasan
Kekurangan Jumlah SMA di Bandung Bisa Memicu Ketidakadilan PPDB Jalur Zonasi
Sejumlah SD Negeri di Bandung Sepi Peminat, Korban Pelabelan Sekolah Favorit?

Pungutan atau Sumbangan?

Tanpa ada tendensi berprasangka negatif, rapat orang tua sering kali terlalu fokus untuk memaparkan program bersifat infrastruktur, tidak menyentuh kepada program-program suprastruktur yang menjabarkan rencana menjadikan siswa pembelajar. Bekerja sama dengan komite sekolah, rapat tersebut tidak jarang malah dijadikan ajang untuk mengajak orang tua “berpartisipasi” dalam pembangunan infrastruktur sekolah. Hanya fokus pada itu.

Padahal, pemerintah telah menetapkan kebijakan sekolah gratis bagi sekolah negeri. Komite sekolah dalam banyak kasus malah menjadi kepanjangan tangan pihak sekolah untuk memuluskan langkahnya memungut pembiayaan yang jelas-jelas sudah di-cover oleh Biaya Operasional Sekolah (BOS). Apa nantinya tidak jadi double penganggaran? Ini jelas akan bertentangan dengan aturan.

Jika tidak begitu, akan ada dalih mengumpulkan sumbangan dari orang tua siswa untuk program infrastruktur seperti renovasi ruang kelas, melengkapi meja kursi siswa, atau keperluan menambah jumlah toilet di sekolah, atau hal-hal lainnya. Alasannya, dana BOS tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan tersebut sehingga memerlukan uluran tangan orang tua siswa agar dapat terealisasi.

Permendikbud No. 60 tahun 2011 dengan tegas melarang adanya pungutan ataupun sumbangan yang dibebankan kepada siswa maupun orang tua siswa yang tidak mampu secara ekonomis. Kendati demikian, Permendikbud No. 44 tahun 2012 menghendaki bahwa pihak sekolah diperbolehkan menerima sumbangan dari orang tua siswa atau pihak mana pun untuk memenuhi kekurangan biaya satuan pendidikan.

Beberapa waktu lalu viral di media sosial bahwa masih ada siswa SDN Cipeundeuy Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat yang duduk lesehan dalam kegiatan belajar mengajar. Dari situ kemudian terungkap kalau ada inisiasi dari koordinator kelas (korlas) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari komite sekolah untuk mengumpulkan pungutan dari orangtua siswa sebesar Rp125 ribu per kepala untuk membeli bangku dan kursi.

Meskipun keputusan pengenaan besarannya belum final, hal itu bertentangan dengan aturan yang berlaku. Sebab, jika itu merupakan sumbangan, semestinya besarannya tidak dipukul rata seperti itu. Kalau ditentukan seperti itu, sudah masuk kategori pungutan yang jelas-jelas tidak diperbolehkan. Apalagi jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa pihak sekolah sedang mengajukan bantuan pengadaan kursi dan meja kepada Dinas Pendidikan Bandung Barat.

Kalaupun mau meminta “partisipasi” dari orang tua siswa, harusnya jangan dipukul rata besaran uangnya. Harus dikembalikan kepada kemampuan masing-masing. Sebab, bukankah mereka yang menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri berasal dari kalangan ekonomi terbatas? Atau justru tidak demikian adanya? Malah mereka yang berkemampuan?

Fenomena Gunung Es

Kasus di SDN Cipeundeuy tampaknya hanya fenomena gunung es yang muncul ke permukaan. Hanya sedikit yang mencuat. Selebihnya, jauh lebih banyak yang tidak terungkap karena satu dan lain hal.

Jika semua orang tua siswa sekolah negeri mau jujur, praktik mengumpulkan pungutan berdalih sumbangan semacam itu sebenarnya tampak di depan mata mereka. Bahkan di sekolah tertentu masih ada yang berani tanpa tedeng aling-aling melakukan praktik tersebut.

Sudah saatnya komite sekolah pintar-pintar menggali potensi pembiayaan dari pihak swasta selain mengandalkan sumbangan dari orang tua siswa untuk membantu mengembangkan proses pendidikan di sekolah. Tentu banyak perusahaan, apalagi di perkotaan, yang menyadari adanya kewajiban untuk mengeluarkan biaya Corporate Social Responsibility (CSR).

Sebaliknya, pihak sekolah sudah semestinya pintar-pintar memilih komite sekolah yang mau repot-repot menjadi penyeimbang dalam menyelenggarakan pendidikan. Mereka yang kritis apabila sekolah melenceng dari rencana program yang dibuatnya. Mereka yang mau memberikan sumbang saran ide gagasan dalam pengembangan sekolah. Bukan mereka yang hanya pintar mengumpulkan pungutan dari orang tua siswa dengan dalih sumbangan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//