• Opini
  • Aparatur Sipil Negara yang Melek Politik

Aparatur Sipil Negara yang Melek Politik

Imbauan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) jangan sampai menjauhkan mereka dari pemahaman pada politik, jangan juga jadi alasan untuk terlibat politik praktis.

Fauzan

Pegiat Pendidikan dan Literasi

ASN Pemkot Bandung saat upacara 75 tahun Bandung Lautan Api di Balai Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (24/3/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

28 Juli 2023


BandungBergerak.id – Tahapan Pemilu 2024 sudah setengah jalan. Pesta demokrasi yang akan berlangsung akhir Februari 2024, kini telah melewati tahapan penetapan Daftar Pemilih Tetap. Perjalanan masih cukup panjang untuk menentukan siapa yang akan memimpin negara ini lima tahun ke depan maupun para wakil rakyat yang di parlemen.

Mereka yang punya hasrat mengisi kursi-kursi jabatan itu kini tengah berlomba mencuri perhatian warga masyarakat dengan caranya masing-masing. Para politisi senior maupun yang sama sekali baru mulai berebut simpati demi mendulang suara tidak hanya di dunia nyata, juga di dunia maya. Itu dilakukan agar dapat menaikkan popularitas sekaligus elektabilitas di saat yang sama.

Derasnya arus informasi terlebih keberadaan media sosial membuat siapapun, tua-muda, berpendidikan atau tidak, dapat terpapar konten-konten caper para politisi. Hal itu akan sangat memudahkan bagi rakyat untuk jauh lebih mengenal siapa yang akan menjadi “babu” mereka di satu sisi. Namun di sisi lain akan semakin sulit membedakan mana yang murni atau penuh make up.

Maka dari itu, penting untuk menyebarluaskan pendidikan politik kepada berbagai elemen masyarakat tanpa kecuali. Agar semakin banyak pihak yang melek politik, sadar akan pilihan saat di bilik suara, dan memahami betul apa dampak dari memilih atau tidak memilih ketika pesta demokrasi berlangsung.

Sering kali, obrolan tentang politik dihindari karena imaji yang muncul di benak banyak orang betapa politik itu kotor oleh karena perilaku sebagian politisi yang menghalalkan segala cara demi memuluskan ambisinya. Tampaknya pandangan itu perlu semakin dikikis agar semakin banyak orang lagi yang melek dan meminimalkan praktik golput sehingga bergerak demi perbaikan bidang politik itu sendiri.

Baca Juga: Kekecewaan pada Pejabat Membuat Pemilu 2024 di Kota Bandung Dibayangi Golput
Bom Waktu Problematika Sistem Pemilu Indonesia
Memang Sudah Seharusnya ASN Pemkot Bandung Netral dalam Pemilu 2024

Pengetahuan Politik

Mari tengok pengertian politik yang menurut KBBI daring merupakan pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti tentang sistem pemerintahan atau dasar pemerintahan. Dalam pengertian lain, politik juga diartikan sebagai cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah atau suatu kebijakan.

Dilihat dari hal paling dasar saja sepatutnya topik mengenai politik tidak perlu dihindari. Sebab banyak hal sangat dipengaruhi oleh politik. Ambil contoh mengenai pendidikan. Terdapat mandatory spending yang mengamanatkan minimal 20 persen APBN mesti dialokasikan untuk anggaran pendidikan.

Jika itu terlalu makro, mari ambil contoh lebih mikro. Misalkan di suatu wilayah kecamatan sering kali terjadi pembegalan. Salah satu solusinya adalah dengan memperbanyak penerangan jalan umum dan kamera pengawas (CCTV). Mengumpulkan uang dari warga tidak cukup untuk pengadaannya. Maka dibutuhkan kehadiran pemerintah daerah yang itu perlu proses politik agar dapat dianggarkan dalam APBD.

Harus lebih banyak orang melek politik. Begitu pun dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Imbauan netralitas ASN jangan sampai menjauhkan mereka dari pemahaman politik itu sendiri. Hanya karena takut akan melanggar peraturan mengenai netralitas malah membuat ASN enggan untuk mempelajarinya. Bagaimana mereka akan dapat mematuhi aturan kalau tidak paham sama sekali mengenai konteksnya, mengenai batas-batasnya?

Netralitas ASN

ASN harus melek politik. Bagaimanapun, para pelayan publik itu yang akan menjadi bagian dari jalannya proses politik di suatu negara atau daerah. Asalkan, pemahaman itu tidak dijadikan alasan untuk terlibat aktif dalam politik praktis seperti memihak terhadap partai politik tertentu atau menyalahgunakan kewenangannya untuk membantu proses kampanye.

Setiap warga negara sebenarnya punya hak berpolitik termasuk ASN. Hanya saja, ekspresinya tidak boleh ditunjukkan ke publik. Satu-satunya tempat yang aman dan nyaman bagi ASN untuk menunjukkan preferensi politik hanyalah di bilik suara. Di luar itu, mereka sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengekspresikan pilihannya entah itu calon presiden, calon legislatif, maupun kepala daerah.

Undang-undang No. 5 tahun 2014 tentang ASN dengan tegas memagari ASN untuk mengekspresikan pilihan politik dalam bentuk apapun. Hal kecil seperti menekan tombol suka untuk konten kampanye politik di media sosial sekalipun dilarang. Apalagi terbukti ikut-ikutan mengampanyekan kandidat atau partai politik tertentu. Pelanggaran berat terhadap aturan ini bisa berakibat pemberhentian.

Data KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) menunjukkan bahwa pada Pemilu lima tahun lalu, sepanjang tahun 2019, terdapat 412 laporan temuan pelanggaran netralitas ASN yang masuk ke KASN dan Bawaslu. Jenis pelanggarannya dari mulai terlibat aktif menyebarluaskan informasi kampanye calon tertentu, menggunakan atribut yang berkaitan langsung dengan kampanye, hingga deklarasi sebagai calon kepala daerah.

Ketidaknetralan ASN sangat mungkin akan berdampak kepada terjadinya diskriminasi layanan terhadap masyarakat yang berbeda pilihan politik atau adanya konflik kepentingan sehingga kesulitan dalam menegakkan aturan. Poinnya, ASN yang tidak netral, yang memihak kepada partai politik atau pasangan calon tertentu menjadikannya pelayan publik yang tidak profesional.

Namun sekali lagi, jangan sampai adanya ancaman hukuman disiplin terhadap pelanggaran malah membuat ASN menutup diri dari upaya untuk memahami apa itu politik, seperti apa prosesnya, sejauh mana dampaknya. ASN sudah semestinya melek politik tapi harus juga tahu betul sejauh mana batas yang diperbolehkan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//