Bom Waktu Problematika Sistem Pemilu Indonesia
Pemilu 2024 menghadapi banyak persoalan yang belum tuntas. Mulai dari integritas penyelenggara, perubahan sistem pemilu, hingga teknis pemilihan serentak.
Fian Alaydrus
Peneliti di Haris Azhar Law Office, Sarjana Ilmu Hukum Universitas Trisakti Jakarta.
16 Juni 2023
BandungBergerak.id – Dengan memasuki pertengahan tahun baru 2023 berarti menandakan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 telah di depan mata kita. Namun, seiring memasuki perhelatan pemilu tahun depan, segudang permasalahan mulai dari sistem hingga persoalan manajemen teknis pemilu masih mengundang pertanyaan. Teranyar dan masih hangat dalam ruang publik kita adalah persoalan dugaan intervensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat kepada KPU daerah terkait verifikasi faktual partai politik yang menjadi peserta pemilu 2024.Tentunya persoalan tersebut menjadi catatan hitam; per 3 April kemarin, DKPP resmi memberikan peringatan keras terakhir bagi ketua KPU. Baru saja di tahap awal dalam tahapan pemilu, sebagai penyelenggara integritas dan legitimasi KPU menjadi patut dipertanyakan.
Dari persoalan penyelenggara, beralih kepada ke pertanyaan mengenai sistem pemilu, baru-baru ini juga wacana untuk mengembalikan sistem pemilu dengan menggunakan sistem proporsional tertutup mengemuka melalui adanya gugatan judicial review UU Pemilu per November lalu. Delapan fraksi DPR per 3 Januari 2023 telah menyatakan menolak penerapan sistem tersebut dan menyisakan fraksi PDIP sendiri yang menyetujuinya.
Baca Juga: Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024
Ketiadaan Politik Kewargaan di Tengah Pemilu
Penghapusan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dalam Pemilu 2024 Bertentangan dengan Prinsip Pemilu
Sistem Pemilu
Sistem proporsional terbuka atau tertutup tidak berdiri sendiri sebagai suatu persoalan. Penggunaan sistem ini juga berkelindan dengan persoalan langganan dalam setiap adanya suatu pemilihan umum, yaitu; politik uang. Dalam beberapa kajian, disebutkan bahwa dengan penggunaan sistem proporsional terbuka telah menyebabkan masifnya praktik jual beli suara antara kandidat dengan pemilih. Dalam riset Burhanuddin Muhtadi bahkan menyebutkan satu di antara tiga orang pemilih terpapar oleh praktik jual beli suara. Riset ini dilakukan dalam rentang antara tahun 2006 dan 2016 dengan jumlah responden 800 ribu orang di Indonesia (Marcus Mietzner, 2021).
Selain permasalahan politik uang, beberapa kelemahan lain dalam sistem ini juga tetap mengendap dari setiap pemilu ke pemilu sejak pertama kali diterapkan pada tahun 2004 melalui UU 12/2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di antaranya; (i) Sikap politik di parlemen nyatanya ditentukan oleh partai, bukan oleh sikap individu, (ii) Tidak mendukung penguatan institusi partai politik, (iii) Partai politik menjadi tidak ideologis dan bergantung hanya pada popularitas, (iv) Melahirkan calon legislatif yang mengandalkan popularitas bukan kapabilitas, (v) Menguntungkan calon legislatif dengan modal sumber daya yang besar dan melahirkan praktik politik uang (BPHN, 2020).
Namun kelemahan sistem proporsional terbuka juga tidak membuat sistem proporsional tertutup menjadi solusi untuk menghalau politik uang dan menyelesaikan kelemahan lainnya. Tuduhan akan semakin menguatnya praktik feodalisme-elitisme dalam suatu partai juga menjadi batu ganjalan bila sistem proporsional tertutup diberlakukan selain menutup derajat keterwakilan masyarakat yang mendekatkan antara calon legislatif dan konstituennya.
Adapun beberapa syarat yang wajib dilakukan jika hendak memberlakukan sistem proporsional tertutup, seperti; penguatan institusi partai politik melalui UU Partai Politik, demokratisasi dan transparansi di tubuh internal parpol sendiri, proses seleksi dan penetapan calon beserta nomor urutnya yang mesti diatur secara rigid melalui UU, serta yang terakhir perlunya sosialisasi masif kepada seluruh lapisan masyarakat (BPHN, 2020).
Desain Pemilu Serentak yang Problematik
Persoalan lainnya yang juga dinilai fundamental untuk didiskusikan dalam evaluasi sistem pemilu yang akan dilakukan di 2024 ialah penggunaan desain pemilu serentak yang sejak 2019 diberlakukan. Desain pemilu serentak tersebut nyatanya telah mengundang beberapa persoalan, pertama, pemilu serentak dengan 5 kotak telah membuat pemilih bingung. Hal ini dibuktikan melalui survei P2P LIPI yang menemukan bahwa mayoritas responden (74%) mengaku bahwa pemilu serentak (mencoblos lima surat suara) lebih menyulitkan bagi pemilih dibandingkan jika pemilu legislatif dan pilpres diselenggarakan secara terpisah (BPHN, 2020).
Kedua, dalih efisiensi pembiayaan dalam pemilu serentak 2019 yang dikatakan dari proses JR UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang akan menghemat sekitar sepersepuluh APBN dan APBD juga terbantahkan. Dengan melihat Media Keuangan edisi April 2019 yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, dilaporkan bahwa anggaran biaya penyelenggaraan pemilu 2019 sebesar Rp.25.59 triliun. Padahal realisasi anggaran penyelenggaraan Pemilu 2014 sebesar Rp. 15.62 triliun (dengan memperhitungkan inflasi 2014- 2019 terdapat kenaikan sebesar Rp. 5.14 triliun atau 32.91 persen) (BPHN, 2020).
Ketiga, desain pemilu serentak 2019 juga telah membawa persoalan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Hal tersebut dinilai tidak masuk akal sebab pemilihan legislatif dan presiden dilakukan secara serentak. Akibatnya penentuan perolehan suara diambil dari pemilu sebelumnya. Hal ini yang membuat pilihan politik bagi masyarakat menjadi semakin terbatas. Bandingkan dengan pemilihan presiden sebelumnya sejak 2004 yang menghadirkan 5 kandidat, lalu pada 2009 ada 3 kandidat, dan pada 2014 dan 2019 diikuti oleh dua kandidat presiden yang sama (Marcus Mietzner, 2021).
Semakin terbatasnya kandidat telah menyebabkan polarisasi ideologis yang semakin meruncing hingga menyebabkan bertebarannya informasi hoaks dan bersitegangnya antar kelompok. Dengan demikian, polarisasi yang timbul bukan serta merta dihasilkan dari tren sosio-demografis saja namun melalui pasal ambang batas pencalonan presiden, yang berarti dengan kata lain sistem pemilu kita sendirilah yang membuka ruang menguatnya polarisasi di masyarakat (Marcus Mietzner, 2021).
Keempat, residu dari desain pemilu serentak di 2019 mengenai beban kerja penyelenggara pemilu berpotensi besar terulang di pemilu 2024. KPU mencatat per 9 Oktober 2019 sebanyak 894 orang petugas badan ad hoc pemilu 2019 telah meninggal. Dari total jumlah yang meninggal tersebut, berdasarkan verifikasi dan validasi KPU korban meninggal sebanyak 708 orang. Data lain dari Kemenkes menyebutkan bahwa 527 jiwa meninggal dan 11.239 orang jatuh sakit, yang jumlahnya tersebar di 28 provinsi (BPHN, 2020).
Meski baru-baru ini melalui Perpu 1/2022 tentang Perubahan Atas UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum telah memuat batasan usia anggota Bawaslu minimal 40 tahun untuk provinsi dan kabupaten/kota minimal 35 tahun, serta Panwaslu dan Pengawas TPS ditetapkan usia minimal 21 tahun, namun hal tersebut tidak cukup.
Alasannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Perludem, agenda reformasi manajemen pemilu harus dimulai dengan optimalisasi rekrutmen petugas ad-hoc dan bimbingan teknis yang memadai bagi seluruh petugas. Selain itu, penerapan standar kesehatan dan mekanisme jaminan kesehatan serta keselamatan petugas juga mesti diatur. Terakhir, penggunaan teknologi pemilu yang tepat guna dan sesuai kebutuhan juga penting untuk mengurangi beban pemilu (Perludem, 2019).
Terkait penggunaan teknologi ini, International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) dalam “Panduan Penerapan Teknologi Pungut-Hitung di Pemilu” (2019) telah memberikan panduan agar dijadikan pedoman dalam penerapan teknologi. Bahwa kebutuhan akan penggunaan teknologi harus dimulai dari masyarakat sipil bukan elite politik. Selain itu juga perlu adanya kepastian hukum yang artinya adanya pengaturan pada level UU (UU Pemilu) bukan sekedar pada peraturan teknis (Perludem, 2019).
*
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin menyampaikan sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab dan direnungkan bersama; apakah sistem pemilu 2024 akan menciptakan kecurangan dan permasalahan? Jika jawabannya “iya” maka pertanyaan selanjutnya yaitu apa potensi kecurangan yang akan terjadi? Terakhir, dan yang paling penting, seperti apa kita sebagai warga dapat mencegah dan bisa berhadapan dengan kecurangan tersebut? Atau justru warga adalah koresponden kecurangan, kerusakan dan masalah dalam sistem pemilu di Indonesia karena takut dan pesimis dengan para politisi.
Dengan demikian, warga Indonesia wajib waspada dalam lima tahun ke depan. Sebab, kepemimpinan nasional yang akan dilahirkan merupakan hasil dari sebuah sistem pemilu yang problematik.