Penghapusan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dalam Pemilu 2024 Bertentangan dengan Prinsip Pemilu
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih mendesak KPU tetap menerapkan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Bawaslu RI juga diminta menegur KPU.
Penulis Iman Herdiana5 Juni 2023
BandungBergerak.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia dinilai telah merusak integritas pemilihan umum (pemilu) mendatang. Melalui pernyataan anggotanya, Idham Kholik, KPU secara resmi menghapus Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menegaskan penghapusan LPSDK bertentangan dengan UU Pemilu.
Menurut Koalisi, asalan penghapusan LPSDK oleh KPU RI terlalu mengada-ngada. Di antaranya, penghapusan dilakukan karena LPSDK tidak diatur dalam UU Pemilu, masa waktu kampanye pendek, dan secara substansi telah tertuang di dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Koalisi menilai alasan yang dikemukakan KPU RI sesat dan tidak logis. Pertama, kewajiban penyerahan LPSDK harus diartikan sebagai mandat langsung dari tiga prinsip pemilu yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yakni, jujur, terbuka, dan akuntabel.
“Bukan hanya itu, keterkaitan urgensi LPSDK juga memenuhi Pasal 4 huruf b UU Pemilu yang menyebutkan bahwa pengaturan penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas,” demikian keterangan resmi Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih, yang diterima BandungBergerak.id, Senin (5/6/2023).
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih merupakan gabungan organisasi masyarakat sipil terdiri dari ICW, Perludem, Netgrit,THEMIS, KOPEL, Public Virtue Research Institute PSHK, PUSAKO FH UNAND, dan Greenpeace Indonesia.
Koalisi menegaskan, penting diketahui terutama bagi para Anggota KPU RI, esensi filosofis kehadiran LPSDK guna mendesak peserta pemilu bertindak jujur dalam melaporkan penerimaan sumbangan para calon anggota legislatifnya pada tengah waktu masa kampanye. Hal itu akan membangun instrumen pengawasan secara paralel dari pemilih sekaligus menjadi preferensi sebelum mereka menentukan pilihan politik dalam gelaran pemilu mendatang.
Lagipun secara teori yang dikemukakan banyak pihak, termasuk pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, melalui disertasinya, KPU merupakan lembaga negara independen dan memiliki kewenangan untuk membuat aturan sendiri (self regulatory agencies) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Alasan masa waktu kampanye pendek sehingga KPU RI memutuskan menghapus kewajiban LPSDK dinilai benar-benar tidak masuk akal. Sebab, proses administrasi pelaporan itu bukan dibebankan kepada KPU, melainkan partai politik. Praktis KPU hanya menerima dan melakukan verifikasi untuk kemudian dipublikasikan kepada masyarakat.
Selain itu, praktik LPSDK ini sudah terjadi sejak lama dan mestinya telah diketahui oleh setiap peserta pemilu. Kami khawatir tindakan para Anggota KPU ini hanya untuk mengakomodir kepentingan politik peserta pemilu yang tidak ingin disibukkan dengan urusan administrasi pelaporan keuangan.
Kebengkokan logika KPU, menurut Koalisi, menjadi terang dan amat terlihat dalam argumentasi bahwa muatan substansi LPSDK sudah ada di dalam LADK dan LPPDK. Sulit dipahami, sebab, secara formil dan materiil, tiga laporan itu sama sekali tak bisa disandingkan. Secara formil, LADK dan LPPDK merupakan laporan dana sebelum dan setelah masa kampanye. Sedangkan LPSDK dalam paruh waktu masa kampanye.
Kemudian, LADK memuat sumber perolehan saldo awal rekening khusus dana kampanye, lalu LPPDK adalah seluruh penerimaan dan pengeluaran selama masa kampanye. LPSDK sendiri berisikan laporan penerimaan dan pengeluaran paruh waktu masa kampanye.
“Jadi, LPSDK hanya satu-satunya medium yang dapat dimanfaatkan oleh pemilih untuk melakukan pengecekan dari aspek transparansi dan keterbukaan, bahkan kesesuaian, kandidat politik sebelum pemungutan suara pada pemilu mendatang,” kata Koalisi.
Menurut Koalisi, LPSDK pada dasarnya bukan hal baru dalam penyelenggaraan pemilu, sebab sudah diterapkan sejak tahun 2014. Ini mengartikan, seluruh anggota KPU RI yang mayoritas berlatar belakang penyelenggara pemilu serta juga pengamat telah menjalankan dan memanfaatkannya pada pemilu-pemilu yang lalu.
Misalnya, Hasyim Asyari saat menjabat sebagai anggota KPU RI periode 2017-2022, lalu Betty Idroos sebagai Ketua KPU DKI Jakarta periode 2018-2022, Mochammad Afifuddin sebagai anggota Bawaslu RI periode 2017-2022, Parsadaan Harahap sebagai Ketua Bawaslu Bengkulu periode 2017-2022, Yulianto Sudrajat sebagai Ketua KPU Jawa Tengah periode 2018-2023, Idham Holik sebagai Anggota KPU Jawa Barat periode 2018-2022, dan August Mellaz sebagai pengamat pemilu.
“Oleh karena itu, tak salah jika kemudian dikatakan bahwa seluruh anggota KPU RI seolah-olah amnesia akan pentingnya instrumen LPSDK ini,” kata Koalisi.
Koalisi juga melihat KPU gagal memahami irisan antara pemilu dan pemberantasan korupsi. Sebagaimana diketahui, Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia mengalami penurunan yang sangat drastis pada tahun 2022, yakni, dari skor 38 menjadi 34. Selain itu, berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi, sepertiga pelaku yang ditangani oleh lembaga antirasuah berasal dari lingkup politik.
Oleh karenanya, setiap penyelenggaraan pemerintahan, termasuk diantaranya pergantian kursi kekuasaan melalui pemilihan umum harus berlandaskan nilai antikorupsi yang di dalamnya memuat prinsip integritas, baik transparansi dan akuntabilitas.
Baca Juga: Ketiadaan Politik Kewargaan di Tengah Pemilu
Kekecewaan pada Pejabat Membuat Pemilu 2024 di Kota Bandung Dibayangi Golput
Perubahan Pemilu ke Sistem Proporsional Tertutup Menutup Partisipasi Rakyat
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih mendesak:
- Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia mencabut keterangannya dan tetap mengakomodir Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye untuk pemilihan umum tahun 2024 mendatang.
- Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang dimandatkan untuk menjalankan fungsi pengawasan harus menegur Komisi Pemilihan Umum dalam hal penghapusan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye.
Sebelumnya, KPU RI telah membahas tiga Rancangan Peraturan KPU (PKPU) terkait Dana Kampanye, Kampanye, serta Perlengkapan Pemungutan Suara Pemilu 2024 yang disetujui Komisi II DPR RI, 29 Mei 2023. Rapat ini menyetujui tiga Rancangan PKPU, yakni Rancangan PKPU tentang Perlengkapan Pemungutan Suara, Dukungan Perlengkapan Lainnya, dan Perlengkapan Pemungutan Suara Lainnya dalam Pemilihan Umum, Rancangan PKPU tentang Kampanye dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum, dan Rancangan PKPU tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum.
Penjelasan KPU terkait tiga PKPU tersebut disampaikan berurutan oleh Anggota KPU Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz. Drajat menyampaikan isu strategis RPKPU tentang Perlengkapan Pemungutan Suara, Dukungan Perlengkapan Lainnya, dan Perlengkapan Pemungutan Suara Lainnya, sebagaimana dikutip dari laman KPU RI.
Khusus mengenai LPSDK disampaikan Idham Holik. Ia menjelaskan isu strategis RPKPU dana kampanye pemilu, yakni terkait aturan salah satu calon atau paslon berhalangan tetap, paslon yang ditetapkan sebagai peserta pemilu berdasarkan putusan Bawaslu atau pengadilan, transparansi, penyusunan, dan penyampaian laporan dana kampanye menggunakan Sistem Informasi Dana Kampanye SIDAKAM, laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK), penyumbang pihak lain yang wajib berbadan hukum, sistem pelaporan dana kampanye, tim kampanye paslon Presiden dan Wakil Presiden tingkat provinsi dan kab/kota, sumbangan dalam bentuk uang elektronik, pembukaan dan penutupan rekening khusus dana kampanye (RKDK), laporan dana kampanye pihak lain (relawan).