PERSMA MASIH RENTAN: Beragam Tindak Represi, Bermacam Sikap Kampus
Berbagai tindak represi dialami para awak redaksi Aksara, pers mahasiswa dari kampus Telkom University. Jalan panjang menuju kebebasan pers kampus.
Penulis Tim Redaksi AksaraNews11 November 2023
BandungBergerak.id - Muhammad Yovinanda masih mengingat tindak represi yang dilakukan oleh Keluarga Mahasiswa Teknik Elektro (KMTE) Telkom University pada tahun 2018 lalu. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aksara yang ia pimpin diminta untuk menurunkan berita dan meminta maaf atas pemberitaan tentang penusukan yang terjadi pada salah satu mahasiswa Teknik Elektro Telkom University di belakang Jalan Radio.
Mediasi dilakukan. KMTE merasa Aksara tidak etis dalam memberitakan. Mereka bahkan menilai berita tersebut bohong atau palsu, meski awak redaksi sudah menjelaskan bahwa berita tersebut sudah dikerjakan sesuai dengan prosedur meliput dan sesuai fakta.
Kabar tak sedap ini sampai ke telinga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang mengusulkan untuk membawa persoalan ke Dewan Pers. Namun, Top Management (TM) Aksara meminta agar persoalan tidak terlalu dibesarkan dan lebih disikapi sebagai pelajaran untuk Aksara. Sebagai langkah resolusi kasus, Yovinanda mengumpulkan bukti-bukti atas berita duka tersebut.
Tekanan yang dialami awak redaksi Aksara berdampak pada penulis artikel tersebut, Ika dan Milati. Kedua anggota RFID (Divisi Redaksi Aksara) tersebut merasa takut sampai menangis. “Terus jadi kayak performa dari RFID-nya menurun juga kan,” kata Yovinanda saat diwawancarai pada Sabtu, 20 Mei 2023 bersama dengan pimpinan umum Aksara lainnya.
Kasus dengan KMTE adalah satu dari empat kasus tindak represif yang dialami LPM Aksara Telkom University dalam lima tahun terakhir. Setahun kemudian, salah satu anggota Aksara, Yoga, mengalami tindak represif oleh petugas intel di tengah unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja. Aksesoris berupa tindikan anting di hidung menjadi alasan intel menciduk sang reporter persma.
“Ditarik dan diminta itu menghapus hasil pelitiputannya kayak foto, video, dan segala macemnya,” ucap Taufiq Dawami, ketua Aksara periode 2019.
Di tengah kemelut unjuk rasa, tidak banyak yang bisa dilakukan awak Aksara untuk membantu Yoga saat itu. Dengan bantuan Rian selaku ketua Forum Komunikasi Pers Bandung (FKPMB), dibuatlah daftar anggota persma yang ada dalam aksi unjuk rasa dan lalu menjadi korban tindak represif. Data itu yang kemudian menjadi tiket untuk membebaskan Yoga.
Berselang tiga tahun, ketika pandemi Covid-19 sudah melandai, tepatnya pada Agustus 2022, Aksara kembali menerima tekanan. Berita duka atas meninggalnya salah satu mahasiswa Telkom University diminta oleh beberapa pihak untuk segera dicabut. Awak redaksi Aksara menanggapi tuntutan tersebut dengan menjelaskan prosedur peliputan. Pihak kampus menyusul kemudian dengan menerbitkan sebuah siaran pers.
“Jadi mungkin dari pihak yang menghubungi setelah itu sebetulnya gak banyak berkomentar,” ujar Iqbal Abdul Rauf, ketua Aksara 2022.
Tidak Otomatis Selalu Melindungi
Lewat wawancara kami pada Senin, 24 Juli 2023 bersama Kepala Bagian Prestasi dan Kegiatan Mahasiswa Telkom University, Edy Wibowo, menekankan pentingnya konteks dalam setiap kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa. Kampus akan melakukan tanggapan sesuai dengan konteks tiap-tiap kasus.
“Jadi gini, ketika teman UKM itu di bawah kita, bukan berarti kita akan otomatis selalu melindungi, tidak. Kita harus tahu dulu konteksnya apa, apa yang dipermasalahkan gitu ya,” jawab Edy.
Tentang tekanan mencabut berita, Edy menyebut keberadaan kode etik jurnalistik seharusnya menjadi alasan yang cukup bagi persma untuk tidak merasa khawatir. Caranya, ya dengan memberikan ruang secara seimbang dan proporsional dalam setiap pemberitaan. Persma tidak boleh memihak dan partisan. Nanti biar publik yang menilai.
Tentang tindak represif yang dialami di luar lingkungan kampus, Edy menyarankan sebaiknya Aksara langsung melaporkan ke pihak berwajib. Namun, jika polisi itu sendiri yang melakukan tekanan tersebut maka pelaporkan harus dilakukan ke pengawas polisi hingga Dewan Pers.
Di Sini Represi, di Sana Represi
Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB) mencatat total 38 Lembaga Pers Mahasiswa di kawasan Bandung Raya. Tak hanya Aksara Telkom University, tindak represi nyatanya juga dialami oleh banyak LPM lain di berbagai kampus. Pelakunya beragam, mulai dari sesama mahasiswa, pejabat kampus, hingga pihak eksternal kampus serta aparat.
Murujuk hasil survei yang dihimpun secara kolaboratif oleh Bandungbergerak.id dan enam LPM di Bandung Raya pada Mei-Juni 2023 lalu, tercatat total 34 kasus yang menimpa pers mahasiswa di Bandung Raya dalam rentang waktu 10 tahun terakhir. Dari 34 kasus tersebut, teridentifikasi sejumlah 61 tindak represi dalam berbagai macam bentuk.
Data tersebut mencerminkan perlunya kesadaran dan langkah-langkah yang lebih kuat oleh pihak kampus untuk melindungi kebebasan berekspresi dan memastikan perlindungan hak-hak pers mahasiswa. Lantas, upaya apa yang sudah dilakukan dari berbagai kampus di Bandung dalam mencegah pembungkaman suara pada pers mahasiswa?
BPPM Pasoendan di Universitas Pasundan (Unpas) mengalami represi dari sesama mahasiswa kampusnya sendiri atau organisasi mahasiswa lain, tanpa perlindungan yang memadai. Pihak kampus memilih untuk tidak turut campur.
Lain cerita jika permasalahan menyangkut nama kampus. Pihak kampus meminta penyelesaian dilakukan secara cepat, meski tetap tanpa memberikan bantuan langsung ke lapangan. Fokus mengarahkan agar masalah diselesaikan secara administratif.
LPM Suaka di Universitas Islam Negeri (UIN) mengalami kisah serupa. Ketika mereka berselisih dengan pihak ketiga, kampus tidak benar-benar berpihak kepada persma. Yang diutamakan adalah nama baik kampus.
Sama saja pengalaman dua LPM di Universitas Padjadjaran (Unpad): Pena Budaya dan Warta Kema dan LPM Jumpa di Unpas. Kampus lebih memilih menjaga nama baik dan mengambil jalan tercepat untuk menyelesaikan masalah: mencabut berita.
Ketika terjadi permasalahan antara LPM Jumpa dan sebuah fakultas, Biro Kemahasiswaan Unpas mengambil peran sebagai mediator. Namun, akibat kurangnya pemahaman tentang kerja pers, pihak kampus pada akhirnya meminta LPM Jumpa untuk mencabut berita agar ketegangan mereda.
Tekanan lain yang dilakukan pihak kampus adalah permintaan atau tuntutan untuk membaca rancangan berita sebelum diterbitkan oleh persma. Di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), LPM Isola Pos mengalaminya. Demikian juga LPM Daun Jati di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI).
LPM Media Parahyangan di Universitas Katolik Parahyangan bercerita tentang absennya pihak kampus ketika persma mengalami tindak represi. Awak redaksi harus mencari bantuan dari alumni dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Bantuan dari kampus ke persma masih terbatas pada sokongan finansial.
Cerita sedikit berbeda datang dari LPM Suara Mahasiswa di Universitas Islam Bandung (Unisba). Pihak kampus cenderung tidak terlalu mempermasalahkan langkah-langkah apa pun yang diambil oleh pers mahasiswa dalam mengatasi tindak represi, dan ini relatif positif. Kampus mempercayai pers mahasiswa telah memiliki Standard Operating Procedure (SOP) sendiri. Baru ketika masalah melibatkan pihak aparat atau aktor eksternal lain yang lebih kompleks, pihak kampus akan terlibat secara aktif.
Pengakuan dan dukungan terhadap peran dan kerja pers mahasiswa seperti terjadi di Unisba agaknya langka. Namun sikap seperti inilah yang dibutuhkan persma agar bisa berkarya secara lebih leluasa.
Advokasi, Mitigasi, dan Jejaring
Koordinator Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Bandung Ahmad Fauzan Sazli menekankan pentingnya upaya bersama untuk memitigasi tindak kekerasan terhadap pers mahasiswa. Kepatuhan pada kode etik jurnalistik dalam peliputan menjadi langkah awal yang signifikan untuk menghindarkan tuntutan, ancaman, atau jerat hukum.
AJI, menurut Fauzan, teguh berpendapat bahwa persma merupakan bagian dari pers Indonesia. Secara hukum persma dapat dilindungi oleh payung kebebasan akademik dan kebebasan berserikat.
Meski bekerja dalam payung besar kebebasan berekspresi, nyatanya persma masih kesulitan mendapatkan pembelaan di jalur advokasi. Koordinator Divisi Kampanye Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Heri Pramono menyebut dua faktor penting dalam persoalan ini, yakni posisi persma dan relasinya di kampus.
Karena hampir semua persma merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), kebebasan jurnalistik masih ada di bawah instansi akademik atau tanggung jawab rektorat. Kondisi ini membuat posisi persma serba sulit. Ditambah lagi, persma masih dicap sebagai media kampus yang sekadar memberitakan isu kampus.
Direktur LBH Bandung Lasma Natalia mengingatkan, langkah advokasi menuntut disiplin pencatatan dan pelaksanaan SOP. Keduanya lantas menjadi bekal kuat untuk memulai kerja advokasi yang sering kali berlangsung panjang.
“Terakhir, tinggal sejauh mana persma berani karena sering kali banyak persma yang tidak berani (mengikuti proses advokasi) sampai akhir,” tuturnya.
Tidak kalah penting, Lasma mendorong persma untuk membangun jejaring di luar kampus. Langkah ini signifikan untuk mengingatkan pihak pelaku tindak represi bahwa persma tidak sendirian sehingga mereka tidak berbuat seenaknya.
Kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi idealnya menjadi tempat memadai untuk bebas berekspresi dan lingkungan aman untuk bebas berpendapat. Kehadiran pers mahasiswa sebagai penyalur informasi yang objektif dan independen mestinya mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang cukup.
*Artikel ini pertama kali tayang di AksaraNews, 4 November 2023 dengan editor Tri Joko Her Riadi/Bandungbergerak.id dan Zida Naela Salsabilla/AksaraNews, dan penulis Daffa Shiddiq Al-Fajri dan Jasmine Fairuz
*Liputan ini merupakan kolaborasi bersama BandungBergerak.id, LPM Jumpa Universitas Pasundan Bandung, LPM Suaka Universitas Islam Negeri Bandung, BPPM Pasoendan Universitas Pasundan Bandung, LPM Aksara Universitas Telkom Bandung, LPM dJatinangor Universitas Padjadjaran, dan LPM sEntra Universitas Widyatama berkat dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara melalui Project #PersmaMasihRentan