• Liputan Khusus
  • PERSMA MASIH RENTAN: Represi Berdalih Nama Baik Kampus

PERSMA MASIH RENTAN: Represi Berdalih Nama Baik Kampus

Persma rentan direpresi dari dalam dan luar kampus. Payung hukum yang lemah hingga iklim demokrasi yang rapuh menjadi penyebabnya.

Ilustrasi kebebasan pers, 2023. Jurnalis maupun persma rentan mengalami represi. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Ridho Danu Prasetyo7 November 2023


BandungBergerak.id - “Kalau nggak di-takedown (beritanya), akan kita bawa ke ranah hukum.”

Begitulah sepenggal kalimat ancaman yang pernah diterima oleh salah satu lembaga pers mahasiswa (LPM) di Universitas Padjadjaran (Unpad) terkait liputan isu kekerasan seksual di dalam kampus.

Cerita bermula dari liputan kolaborasi Warta Kema dan Pena Budaya mengungkap kasus kekerasan seksual yang terjadi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad pada pertengahan Maret 2023. Berita yang diterbitkan di kedua media hanya selang beberapa hari setelah adanya surat keputusan dari BEM Gama FIB. Sebelumnya, Pihak BEM mengakui adanya tindak kekerasan seksual di FIB. Nama lengkap pelaku terpampang jelas di sana.

Tidak ada persoalan sampai enam bulan kemudian, tepatnya di bulan September 2023, muncul akun Instagram @unpadcabul yang mengunggah foto para pelaku dari rentetan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang pernah terjadi di Unpad. Salah satu postingan akun yang dikelola secara anonim ini mengutip reportase yang diterbitkan oleh Warta Kema dan Pena Budaya. Dari ramainya postingan inilah, masalah mendatangi dua lembaga pers mahasiswa.

Pihak Warta Kema mendapat sebuah pesan WhatsApp dari Direktorat Kemahasiswaan dan Alumni (Dirkemal) Unpad, berisi terusan surat somasi yang dilayangkan oleh pelaku melalui pengacara yang disewanya secara pribadi. Pelaku menuntut berita segera dicabut alias di-takedown. Pelaku keberatan karena kasusnya terungkap dan namanya terekspos sebagai pelaku kekerasan seksual. Somasi itu menyertakan ancaman untuk membawa kasus ke jalur hukum.

Awalnya somasi tidak diindahkan hingga kemudian datang pemanggilan untuk bertemu dengan pihak rektorat dan dekanat FIB. Para redaktur liputan dari kedua LPM datang memenuhi panggilan tersebut. Itulah momen ketika awak kedua pers mahasiswa menyadari bahwa somasi ini masalah yang serius dan bisa berbuntut panjang.

Tim Warta Kema dan Pena Budaya mulai berkonsultasi hukum dan menjajaki bantuan advokasi lewat dosen-dosen kompeten di kampus. Kesimpulan bulat diperoleh: tak ada pelanggaran apa pun dalam artikel yang diterbitkan. Kedua LPM akhirnya sepakat menyatakan sikap bahwa mereka menolak mencabut berita.

Selama kurang lebih tiga minggu masa negosiasi, pihak LPM belum pernah dipertemukan dengan pengacara pelaku. Semua komunikasi dijembatani oleh pihak Direktorat sebagai penengah atau mediator yang netral. Namun, alih-alih membela mahasiswanya, Unpad justru terkesan memihak pelaku agar tuntutannya segera dikabulkan.

“Pada kenyataannya, mereka (pihak kampus) cari aman. Mereka nyuruh kita buat cepetan (berita) di-takedown. Nggak mau kalau nama baik Unpad ke eksternal jadi jelek. Intinya mah, mereka mau ngambil jalan cepet biar masalah cepet selesai aja, gitu,” ucap Roby Septian, perwakilan LPM Pena Budaya.

Dalam berkali-kali pertemuan, negosiasi berjalan alot dan tak kunjung menemukan titik temu. Kedua LPM tetap pada pendirian awalnya, sementara pengacara pelaku juga tetap bersikeras menuntut berita dicabut. Pihak kampus masih saja membela keinginan pelaku.

“Kita (Warta Kema dan Pena Budaya) udah menegaskan. Tapi waktu kita mau ngejelasin, ujung-ujungnya pihak kampus balik lagi, ‘ya udah, mending di-takedown aja’,” tutur Roby menceritakan proses negosiasi antara pihak kampus dengan kedua LPM.

Ketika solusi tak kunjung didapat dan ancaman dimejahijaukan kian nyata, pihak kampus justru bersikap lepas tangan dan tidak membela mahasiswanya. Kampus ingin masalah diselesaikan secara ‘kekeluargaan’. Artinya, berita dicabut sehingga proses tak perlu berlanjut ke ranah hukum.

“Kalau sudah di ranah hukum, pihak Unpad akan lepas tangan,” tutur Roby. “Nggak mau ngurusin atau membela kita lagi.”

Setelah tiga pekan, akhirnya kedua LPM dipertemukan dengan pengacara. Turut hadir dalam pertemuan tersebut Direktur Kemahasiswaan dan Alumni (Dirkemal) Unpad, Manajer Akademik FIB, Satgas PPKS, dan tiga orang pengacara. Dari pihak mahasiswa, datang perwakilan Warta Kema, Pena Budaya, dan BEM Gama FIB. Oleh rektorat, mahasiswa diminta tidak membawa atau menggunakan atribut Unpad pada saat pertemuan.

Pada pertemuan itu, pengacara dan rektorat meminta ‘kerendahan hati’ kedua LPM untuk mencabut berita. Jawabannya jelas, mereka menolaknya. Karena situasi forum yang sudah tidak kondusif, pertemuan dihentikan.

Beberapa hari kemudian, tim LPM kembali dihubungi oleh pengacara untuk melakukan negosiasi lanjutan secara langsung tanpa perantara. Mereka mengajukan tuntutan baru, yaitu penyensoran nama pelaku. Setelah berkonsultasi dengan pendamping, tim LPM menyetujuinya. Nama lengkap diganti dengan inisial.

“Waktu kita konsul, disarankan buat setuju aja karena nggak sebanding kalau kita harus sampai ke ranah hukum. Apalagi kampus nggak akan ikut turun tangan,” tutur Fahmy Fauzy yang saat itu menjabat Redaktur Tulis di Warta Kema.

Permasalahan dengan kuasa hukum pelaku memang selesai setelah kesepakatan tersebut, tetapi kabar kelanjutan penindakan kasus menguap begitu saja. Kekecewaan tim LPM berlipat karena respons dan langkah yang dibuat oleh kampus atas represi yang mereka terima jauh dari memuaskan.

“Akhirnya, kampus cuma penginnya masalah cepet selesai dan nama kampus nggak jelek,” tutur Roby.

Tim LPM menyayangkan waktu penyelesaian kasus yang berlarut-larut dan sangat menguras tenaga dan mental. Ketika keseluruhan pemberitaan telah dikaji oleh profesional dan tidak ditemukan kesalahan, pihak kampus tetap saja mendukung keinginan pihak pelaku agar kasus bisa cepat selesai, tanpa mengindahkan keinginan pihak LPM.

Nggak ada ruang buat kita berpendapat, jadinya seperti zaman kolonialisme, gitu,” kata Roby. “Padahal baiknya mah, dari luar didengerin, dari dalem juga didengerin.”

Mahasiswa perwakilan Persma melakukan aksi unjuk rasa terkait 19 pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers dalam draf RKUHP di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (20/8/2022). Aksi ini diinisiasi oleh AJI guna mendesak pemerintah untuk mencabut 19 pasal bermasalah dari draf RKUHP versi 4 Juli 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Mahasiswa perwakilan Persma melakukan aksi unjuk rasa terkait 19 pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers dalam draf RKUHP di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (20/8/2022). Aksi ini diinisiasi oleh AJI guna mendesak pemerintah untuk mencabut 19 pasal bermasalah dari draf RKUHP versi 4 Juli 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Nama Baik Kampus?

Rekam jejak Lembaga Pers Mahasiswa di Universitas Padjadjaran merentang panjang mulai dari masa Orde Baru hingga era internet hari ini. Tercatat saat ini ada delapan LPM di kampus Unpad, yang terbanyak dibandingkan kampus-kampus lain di kawasan Bandung Raya, dengan lima di antaranya aktif memproduksi karya jurnalistik sementara tiga lainnya sedang dalam masa vakum.

Ironisnya, indah rekam jejak jurnalisme mahasiswa dan banyaknya jumlah persma yang aktif tak sejalan dengan kondisi aktual kebebasan pers di Unpad. Tindakan menekan dan membatasi kebebasan pers mahasiswa kerap kali terjadi kampus tercinta kita. Bentuknya beragam, mulai dari pemanggilan, ancaman verbal, pemaksaan takedown berita, hingga ancaman dituntut ke meja hijau.

Bukan hanya Warta Kema dan Pena Budaya yang pernah mendapatkan masalah akibat pemberitaan tentang isu kampus. Baru-baru ini, tim redaksi dJatinangor memperoleh pemanggilan dari rektorat terkait artikel opini yang menyoal fasilitas di asrama Bale Wilasa.

Pola kemunculan masalah masih sama. Artikel yang terbit di laman djatinangor.com pada 15 April 2023 itu memang segera menyedot cukup banyak perhatian mahasiswa Unpad. Namun, masalah justru baru muncul ketika kami merilis cuplikan artikel di akun Instagram @djatinangornews pada 4 Mei 2023.

Tiga hari setelah perilisan konten, kami mendapati desas-desus bahwa penulis kami, Natau, sedang dicari dan akan dipanggil untuk dimintai keterangan oleh pihak kampus. Dikonfirmasi ke beberapa pihak terkait, kabar tersebut benar adanya. Direktorat Kemahasiswaan sedang mencari profil dari penulis artikel opini tersebut, mulai dari menanyakan asal fakultas dan jurusannya sampai ke letak kamar huniannya. Natau merupakan salah satu mahasiswa penerima program KIP-K yang tinggal di asrama Bale Wilasa.

Menanggapi situasi ini, kami menggelar forum dengan pihak Kulawargi Mahasiswa Bidikmisi (Kabim) Unpad, yang berperan sebagai pendamping asrama sekaligus jembatan komunikasi dengan rektorat. Dalam pertemuan tersebut, Kabim menyampaikan bahwa kampus meminta agar artikel tersebut dicabut agar tidak mengundang keributan.

Pers Mahasiswa dan Payung Hukum

Forum kecil yang sempat diwarnai sedikit perdebatan ini berlangsung selama lebih dari dua jam. Kami tetap bersikukuh menolak pencabutan artikel. Setelahnya, ada pemanggilan dari Dirkemal untuk melakukan pembahasan lanjutan, tapi tak ada kejelasan

Ini bukan kali pertama dJatinangor bersinggungan dengan pihak rektorat. Sebelumnya kami pernah mendapatkan tekanan dan intimidasi secara langsung ketika mewawancarai seorang pejabat direktorat dalam proses peliputan tentang sebuah kegiatan yang diduga ilegal tapi tetap diberikan izin oleh Unpad. Sang pejabat berulang kali meminta agar kami tidak melanjutkan proses peliputan sehingga tidak membuat nama kampus menjadi jelek. Bahkan ia sempat menyebut reporter kami ingin “berbuat onar” di kampus dengan liputan tersebut.

Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB) mencatat total 38 Lembaga Pers Mahasiswa di kawasan Bandung Raya. Tak hanya di kampus Unpad, represi terhadap pers mahasiswa oleh pihak kampus nyatanya juga dirasakan oleh banyak LPM lain di berbagai kampus. Pelakunya bukan hanya dari pihak kampus, tapi juga sesama mahasiswa dan pihak eksternal kampus serta aparat.

Merujuk hasil survei yang dihimpun secara kolaboratif oleh Bandungbergerak.id dan enam LPM di Bandung Raya, tercatat total 34 kasus yang menimpa pers mahasiswa di Bandung Raya dalam rentang waktu 10 terakhir.

Jika dirinci lebih lanjut, dari 34 kasus tersebut teridentifikasi sejumlah 61 tindak represi dalam berbagai macam bentuk. Beberapa LPM memilih tidak mengungkap kasus kekerasan yang pernah dialami dengan alasan keamanan atau takut dipermasalahkan kembali oleh pihak terkait.

Kerentanan pers mahasiswa tidak bisa dipisahkan dari nihilnya perlindungan hukum atas kerja jurnalistik pers mahasiswa. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam Pasal 1 nomor satu dan dua, serta Pasal 9 nomor dua, menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam perlindungan pers adalah mereka yang memiliki lembaga berbadan hukum. Sementara, pers mahasiswa sebagai unit kegiatan yang masih berdiri di bawah naungan kampus tidak berbadan hukum. Inilah salah satu pangkal kegamangan karena persma justru banyak berkonflik dengan pihak kampus itu sendiri.

Perlindungan kerja jurnalistik persma makin kedodoran menghadapi tekanan dari pihak eksternal, seperti warga sipil eksternal kampus atau bahkan aparat. Salah satu contoh kasusnya adalah ketika Radja dari LPM Aksara Telkom University dan Raka dari LPM Momentum Universitas Langlangbuana, ditangkap oleh aparat kepolisian saat meliput aksi penolakan pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kamis, 15 Desember 2022. Polisi tetap menangkap mereka meskipun telah menunjukkan kartu persnya, bahkan diinapkan dan dipukuli di markas Polrestabes Bandung.

Pada akhirnya, pers mahasiswa hanya bisa berpegangan pada aturan kebebasan berpendapat yang sebetulnya tidak cukup konkret mengatur kerja jurnalisme.

Ilustrasi ancaman kebebasan pers dan berekspresi. Indonesia subur dengan pasal-pasal karet yang mengancam kebebasan pers dan berekspresi. (Sumber: Aliansi Jurnalis Independen (AJI))
Ilustrasi ancaman kebebasan pers dan berekspresi. Indonesia subur dengan pasal-pasal karet yang mengancam kebebasan pers dan berekspresi. (Sumber: Aliansi Jurnalis Independen (AJI))

Pers Mahasiswa di Mata Kampus

Keberadaan pers mahasiswa di kampus sebetulnya mampu menjadi gambaran kebebasan akademik. Kritik yang dilempar oleh persma dapat menjadi bahan evaluasi dan rekam jejak penanganan masalah oleh Unpad.

“Persma bisa menjadi alat kontrol, sesuai elemen jurnalistik, pers sebagai monitor of power. Pengawas berjalannya Unpad sebagai sebuah institusi. Mengingatkan kalau ada yang dinilai salah dan menjaga prosedur yang ada. Secara garis besar itu positif, persma,” ucap Dandi Supriadi, Kepala Kantor Komunikasi Publik (KKP) Unpad saat diwawancarai oleh dJatinangor.

Sebagai seorang dosen dan juga lulusan dari program studi Jurnalistik, Dandi berpandangan positif atas keberadaan persma. Namun, Dandi menyebutkan bahwa saat ini persma yang hadir di Unpad sebagian di antaranya dianggap tidak memiliki bekal ilmu jurnalistik yang cukup. Mereka pada akhirnya terjebak menjadi media kritik yang tidak memberikan solusi.

Dalam hal pemberitaan, Dandi juga mengingatkan bahwa pihak kampus sebenarnya mengharapkan bahwa pers mahasiswa juga membantu kampus dalam hal image branding dengan menerbitkan pula berita-berita positif agar seimbang. Untuk berita yang bernada negatif, seharusnya persma bisa mengemas dengan lebih baik agar tidak mencoreng nama baik kampusnya sendiri.

“Sebenarnya kebijaksanaan saja sih (pengemasan berita). Kita kan memang harus menginformasikan yang penting kepada publik. Tapi balik lagi, yang kita beritakan itu kan rumah kita sendiri. Jangan sampai kalian sendiri jadi blunder,” ucap Dandi.

Perihal masalah yang dialami oleh Warta Kema dan Pena Budaya, Dandi memberikan tanggapan bahwa sejatinya masalah itu timbul karena adanya kode etik yang dilanggar oleh kedua LPM, dan mengklaim bahwa kampus juga telah membela dengan cara melakukan negosiasi dengan kuasa hukum pelaku.

Sementara itu, menanggapi seringnya permintaan pencabutan berita oleh pihak kampus, Dandi mengakui beberapa pihak kampus memang belum menyadari tentang adanya hak jawab maupun hak koreksi yang seharusnya digunakan. Akibatnya, cara aman dan cepat yang diambil oleh kampus adalah dengan meminta agar LPM mencabut berita terkait agar tidak terjadi polemik.

“Tapi ketika pengelola minta itu diturunkan, artinya berita tersebut memang ada sesuatu yang terlalu over, ada yang (menurut pihak kampus -red) melewati batas sejauh mana berita negatif bisa diekspos ke luar,” sambungnya.

Pada intinya, serupa dengan berbagai kejadian yang telah dJatinangor lalui sendiri, pihak kampus tidak menginginkan permasalahan dan berita negatif tentang kampus terekspos ke luar untuk menjaga nama baik kampus.

Dosen Jurnalistik Fikom Unpad Justito Adiprasetio beranggapan bahwa payung hukum bagi pers mahasiswa memang diperlukan. Karena kurang bersahabat bagi persma, UU Pers Tahun 1999 perlu direvisi. Apalagi mengingat bahwa hubungan administratif antara kampus dan mahasiswa membuat persma berada di posisi yang dilematis.

“Dana yang dimiliki oleh persma juga kan dialokasikan oleh kampus, itu yang kemudian membuat posisi tawarnya menjadi sulit. Akhirnya (persma) hanya bisa mengharapkan bahwa pengelola kampus itu punya kesadaran demokrasi, kesadaran akan sistem politik di mana pers itu kan menjadi semacam penyeimbang dari kekuatan,” ucap Justito saat diwawancarai dJatinangor melalui Zoom Meeting pada Sabtu, 29 Juli 2023.

Kesadaran kampus itulah yang menurut Justito sulit didapat karena kampus memposisikan diri atas persma sebagaimana hubungan bapak dan anak. Seorang anak tak boleh melakukan kritik atas bapaknya. Sebuah sistem yang lazim ditemui pada masa Orde Baru.

Justito mengusulkan, pers mahasiswa sebaiknya mulai mendekatkan diri tak hanya pada kepentingan mahasiswa, tapi juga kepentingan dosen dengan cara ikut menyuarakan isu yang mereka perjuangkan. Contohnya, upah layak untuk dosen yang beberapa waktu lalu sempat ramai di beberapa kampus besar di Indonesia. Langkah ini akan membuat hubungan dosen dan pers mahasiswa menjadi mutualisme dan mengundang dukungan apabila terjadi represi kepada persma.

Nggak banyak (persma) yang ikutan untuk isu dosen. Jadi akhirnya ini tuh nggak mutual gitu. Nah, ini harusnya kan saling kemudian punya support system (dosen dan persma),” tuturnya.

Justito juga mengharapkan konten-konten yang dibawakan oleh persma tidak terkesan ‘suram’ dan bisa lebih relevan dengan pembawaan yang lebih ngepop, mengingat target pasarnya adalah anak muda yang sebaya. Ia mencontohkan pembawaan media Narasi Newsroom yang mengangkat isu serius tapi dengan gaya yang cocok dengan anak muda.

“Kadang kan isu yang diangkat gede, tapi engagement-nya kecil banget gitu. Persma mau seradikal apa pun kalau nggak ada yang baca ya percuma,” ucapnya.

Justito juga mengharapkan meskipun tidak bisa berbadan hukum, persma bisa berkolaborasi dan bersimbiosis dengan media-media akar rumput, seperti Bandungbergerak.id. Namun kolaborasi tersebut jangan hanya bersifat proyek sementara, tapi bentuk kolaborasi permanen agar bisa membantu ketika persma mengalami tindak represi.

Baca Juga: Dilema Buruh-buruh Muda dalam Deru Pembangunan Majalengka
Dari Caleg Perempuan ke Parlemen yang Melahirkan Kebijakan Pro Perempuan di Kota Bandung
Jalan Buntu Mendirikan Gereja di Kabupaten Bandung

Gerak Advokasi untuk Pers Mahasiswa

Mananggapi banyaknya kasus represi yang terjadi pada pers mahasiswa, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung aktif melakukan upaya perlindungan dan pendampingan.

“Selama ada pencatatan, dokumentasi, dan memang permasalahan beritanya menyangkut kepentingan persma sebagai jurnalis, bukan sebagai individu, pasti akan kami dampingi,” ucap Lasma Natalia, Direktur LBH Bandung saat diwawancarai di kantor LBH Bandung, Jumat, 21 Juli 2023.

Menurut Lasma, karena ‘hanya’ berlindung pada pasal kebebasan berserikat dan berpendapat, persma rentan, bahkan cenderung tak tertolong ketika diserang balik oleh pihak tertentu menggunakan UU ITE. Kerentanan semakin menjadi dalam peliputan di lokasi konflik atau aksi massa.

“Itu kan ada kepentingan dari berbagai pihak. Nggak mungkin ketika kita kritis, hidup kita tenang-tenang aja, sehingga kerja jurnalistik kita juga harus terus di-review berulang-ulang,” katanya.

Lasma berependapat, hal terpenting yang perlu dilakukan oleh pers mahasiswa adalah membiasakan diri membuat manajemen mitigasi risiko ketika meliput isu-isu yang sensitif baik di dalam maupun di luar kampus. Langkah ini penting untuk mengantisipasi tindak represi yang mungkin terjadi di kemudian hari.

Sementara itu, AJI Bandung melakukan gerak advokasi yang konkret dengan membuka diri bagi mahasiswa yang aktif di persma untuk bisa bergabung menjadi anggota. AJI merupakan organisasi profesi jurnalis pertama yang melakukannya.

“Kami (AJI Bandung) menganggap persma sebagai bagian dari pers Indonesia yang melakukan kerja jurnalistik,” jelas Fauzan Sazli, Koordinator Divisi Advokasi Ketenagakerjaan AJI Bandung saat diwawancarai di Kantor AJI Bandung.

Fauzan menegaskan, AJI Bandung mengecam segala tindak represi terhadap persma yang dilakukan oleh kampus maupun sesama mahasiswa, karena menghilangkan kerja kritis melalui pemberitaan. Fenomena ini berbahaya bagi dunia akademik dan dunia pers.

“Ancaman pihak kampus terhadap persma menurut saya itu sebuah keangkuhan dunia akademik, yang tidak lagi menganggap dan menjunjung tinggi kebebasan akademik. Menurut saya, kampus (yang melakukan represi) justru tidak menjunjung tinggi nilai-nilai akademik itu sendiri,” ujarnya.

AJI Bandung mengajak persma di Bandung Raya untuk berjejaring dan terkoneksi satu dengan yang lain dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus tindak represi. Seperti buruh yang kuat melawan penindasan perusahaan melalui jejaring dan serikat, pers mahasiswa juga bisa melakukan cara-cara serupa.

Pada kenyataannya, kerja-kerja jurnalisme pers mahasiswa yang didasari oleh ideologi dan kode etik jurnalistik masih sangat rentan oleh tindak represi. Yang kemudian lazim ditemui di kampus adalah aksi represif atas dasar menjaga nama baik kampus.

*Artikel ini pertama kali tayang di djatinangor.com 3 November 2023 dengan editor Tri Joko Her Riadi/Bandungbergerak.id

*Liputan ini merupakan hasil kolaborasi LPPM dJatinangor bersama Bandungbergerak.id, LPM Suaka UIN SGD Bandung, LPM Aksara Telkom University, LPM Jumpa Universitas Pasundan, BPPM Pasoendan Universitas Pasoendan, dan LPM sEntra Universitas Widyatama dengan dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) melalui program Jaring Aman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//