Dari Caleg Perempuan ke Parlemen yang Melahirkan Kebijakan Pro Perempuan di Kota Bandung
Regulasi afirmatif 30 persen keterwakilan perempuan belum banyak berdampak pada kebijakan pro perempuan. Saatnya mendorong caleg-caleg perempuan yang berintegritas.
Penulis Emi La Palau11 September 2023
BandungBergerak.id – Baliho dan spanduk politik, yang berizin dan yang tidak, bertebaran di jalanan Kota Bandung sejak beberapa bulan lalu. Yang bermodal besar memesan papan berukuran besar di titik-titik strategis di jalan utama, sementara yang cekak modal cukup tahu diri dengan berpromosi di jalan-jalan sekunder atau tersier.
Di antara wajah-wajah laki-laki, terselip beberapa calon anggota legisatif (caleg) perempuan. Meski tak melimpah dan sebagian besar bukan di lokasi strategis, mereka memberanikan diri hadir menyapa publik.
Semarak baliho politik di jalanan Kota Bandung berbanding terbalik dengan suasana muram perlindungan terhadap perempuan. Merujuk data laman Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA), jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Barat terus bertambah dalam tiga tahun terakhir. Tercatat sebanyak 1.186 kasus kekerasan pada tahun 2020 dan bertambah menjadi 1.766 kasus setahun kemudian. Pada tahun 2022, jumlah kasus kekerasan kembali bertambah menjadi 2.001 kasus. Selama tiga tahun berturut-turut, Kota Bandung menduduki urutan pertama kota penyumbang kasus terbanyak.
“Kalau saya melihat memang Kota Bandung, sebagai ibu kota provinsi, dari sisi aspek perkembangannya itu lebih tertinggal ya dari sisi dukungan kebijakan bagi perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan,” ucap Ketua Badan Pengurus Yayasan SAPA Institute, Sri Mulyati, Rabu 12 Juli 2023.
Kota Bandung merupakan salah satu kota pionir yang pertama kali membentuk Pusat Penanganan Terpadu untuk Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (P2TP2A). Namun, kemudian tidak banyak kebijakan pro perempuan yang diterbitkan. Sampai saat ini Kota Bandung, yang sudah memiliki peraturan daerah (perda) tentang perlindungan anak, belum memiliki regulasi yang secara spesifik terkait perlindungan perempuan. Fakta inilah yang membuat Sri menyebut ibu kota provinsi Jawa Barat ini “tertinggal”.
Sebagai pembanding, Sri menyebut Kabupaten Bandung yang, selain perda perlindungan anak, telah memiliki perda perlindungan perempuan dan peraturan-peraturan Bupati sebagai turunannya. Kabupaten ini juga telah memiliki prosedur poperasional standar (SOP) penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Di tingkat provinsi, terdapat perda pemberdayaan dan perlindungan perempuan serta perda pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Yang sedang didorong, peraturan gubernur tentang standar pelayanan untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan tindak pidana perdagangan orang.
Pesta demokrasi pemilihan umum (pemilu) 2024 dapat dilihat sebagai momentum perubahan. Para caleg perempuan memikul tanggung jawab untuk, jika terpilih, menyuarakan dengan makin lantang kepentingan-kepentingan perempuan di level pembuatan regulasi.
Namun, berkaca dari kondisi sekarang, ini bukan perkara mudah. Dari 50 anggota legislatif di DPRD Kota Bandung per Agustus 2023, hanya ada sembilan orang perempuan atau setara sekitar 16 persen. Angka ini jauh di bawah 30 persen, angka minimal keterwakilan perempuan sebagaimana diamanatkan Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemliu. Suara perempuan betul-betul masih minoritas.
Posisi Tawar Caleg Perempuan
Merujuk data Komisi Pemiliha Umum (KPU) Kota Bandung per Agustus 2023, 18 partai politik (parpol) telah mendaftarkan 885 orang caleg. Setiap parpol, dari total 50 nama yang disetorkan, menyediakan tujuh sampai delapan kursi untuk caleg perempuan. Ini merupakan pemenuhan regulasi afirmatif yang mengharuskan penyediaan kuota sedikitnya 30 persen bagi perempuan.
“Setiap partai memang harus kita pastikan bahwa di dalam setiap Dapil (Daerah Pemilihan) itu ada keterwakilan minimal 30 pesen,” tutur Ketua KPU Kota Bandung Suharti melalui sambungan telepon, Jumat 7 Juli 2023.
KPU Kota Bandung telah mengumumkan daftar pemilih tetap (DPT) pada 21 Juni 2023 lalu. Terdapat 1.872.381 orang dengan hak pilih yang tersebar di 151 kelurahan di 30 kecamatan dan terbagi ke 7.424 tempat pemungutan suara (TPS). Jumlah pemilih perempuan lebih banyak dibandingkan pemilih laki-laki.
Sri Mulyati menceritakan pengalaman SAPA Institute melangsungkan pelatihan untuk memperkuat kapasitas kepemimpinan perempuan menjelang Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Dia mengakui bahwa masih sulit mencari sosok perempuan yang memiliki perspektif yang baik terhadap persoalan perempuan. Namun tahun ini, dalam program penguatan kapasitas bagi caleg-caleh muda dari beberapa partai politik di Kota Bandung, Sri menemukan caleg-caleg yang memiliki perspektif cukup baik. Masih ada harapan bagi Kota Bandung.
Yang kemudian menjadi masalah besar, menurut Sri, adalah sejauh mana posisi tawar para caleg perempuan yang memiliki kapasitas tersebut untuk mampu bersaing dalam kontestasi pemilihan legislatif (pileg). Dia menceritakan nasib seorang temannya yang tidak pernah terpilih dalam beberapa kali pileg. “Sampai pindah-pindah Dapil di Kota Bandung dan Kabupaten Garut,” ungkapnya.
Ketika terpilih menjadi anggota legislatif, para politisi perempuan juga belum teruji komitmennya memperjuangkan kepentingan perempuan. Peran pengawasan seharusnya diterapkan secara efektif dalam kebijakan, program, dan anggaran pemerintah terkait perlindungan perempuan.
“Ya padahal kan mereka tuh harapan kita sebagai garda terdepan untuk memastikan adanya kebijakan, memastikan program dan anggaran itu cukup responsif gender,” tutur Sri.
Baca Juga: Menjelang Pemilu 2024, Pemilih Muda Bersuara
Walhi Serukan Publik Mencermati Program-program Prolingkungan pada Pemilu 2024
Kekecewaan pada Pejabat Membuat Pemilu 2024 di Kota Bandung Dibayangi Golput
Kesaksian dari Dalam
Komisi D DPRD Kota Bandung adalah komisi yang mengurusi 11 bidang terkait kesejahteraan rakyat, salah satunya pemberdayaan perempuan. Saat ini dari total 13 orang anggota komisi termasuk ketua, tiga di antaranya perempuan. Mereka bisa bersaksi bagaimana rumitnya upaya memperjuangkan kepentingan perempuan di level legislasi.
Rini Ayu Susanti dari Partai Demokrat tidak menampik fakta masih tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Kota Bandung. Dia menyebutkan beberapa faktor penyebab, mulai dari pendidikan perempuan yang minim hingga budaya patriarki di masyarakat. Tak ayal, perempuan menjadi kelompok yang rentan, baik secara ekonomi, pendidikan, maupun lingkungan dan budaya.
Rini, ditemui di ruang kerja Fraksi Demokrat, DPRD Kota Bandung, Rabu 12 Juli 2023 sore, mengaku telah mendorong parlemen agar perempuan diberi kesempatan untuk menjadi Ketua Komisi, Ketua Fraksi perempuan, dan posisi-posisi strategis lain di DPRD. Bersama anggota legislatif perempuan lain, dia juga telah mendorong kelahiran Perda inisiatif terkait perempuan.
“Kemarin sudah (mendorong),” kata Rini. “Namun inisiatif ini masih digodok di Bapemperda (Badan Pembentukan Peraturan Daerah) dan insyaallah mungkin kita akan dorong lagi untuk di tahun sekarang.”
Berlatar seorang akademisi, Rini terjun ke dunia politik pada 2018 lalu. Dalam pileg 2019, dia berhasil terpilih menjadi perwakilan Dapil 5 Kota Bandung yang meliputi Kecamatan Bandung Kidul, Buahbatu, Gedebage, Rancasari, dan Regol.
Salmiah Rambe dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak banyak membagikan pendapat tentang isu perempuan. Dia justru membagikan cerita tentang keterlibatannya dalam isu anak dan LGBTQ. Namun, seperti Rini, Salmiah menyebut-nyebut juga usulan penerbitan Perda inisiatif terkait pemberdayaan dan perlindungan perempuan yang digawangi oleh para anggota legislatif perempuan.
“Jadi kita mendorong, karena ini juga memang tidak gampang,” ucap Salmiah, ditemui di ruang kerjanya di DPRD Kota Bandung, Selasa 11 Juli 2023. “Maksudnya tidak gampang itu lama tahapan-tahapannya.”
Perubahan Kebijakan dan Ekonomi Perempuan
Bandungbergerak.id mewawancarai tiga caleg perempuan dari tiga partai politik yang akan maju dalam kontestasi pemilihan legislatif (Pileg) 2024 di Kota Bandung. Mereka datang dari beragam latar belakang dan alasan untuk terjun di dunia politik. Ketiganya adalah Nina Fitriana dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Indri Hafsari dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Lia Nurlaela dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Nina Fitriana terjun ke dunia politik sekitar tahun 2007 lalu, di tengah ragam permasalahan ekonomi yang membelit rumah tangganya. Dia mengingat bagaimana anak pertamanya, yang lahir pada tahun 2005, diberi susu formula oleh pihak rumah sakit tanpa terlebih dahulu meminta persetujuannya sebagai ibu. Sebagai ibu rumah tangga, Nina juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara verbal.
Perbincangan dengan seorang teman membuat Nina berpikir untuk masuk ke sistem agar dapat mengubah kebijakan. Menemui Rudi Harsa Tanaya, pengurus teras DPD PDI Perjuangan Jawa Barat, Nina menawarkan program Inisiasi Menyusui Dini (IMD), yang kala itu belum populer di Indonesia, dan program pendidikan murah.
“Jadi akhirnya saya coba kalau misalnya saya masuk sistem, saya bisa gak ya mengubah kebijakan-kebijakan, sehingga nanti kebijakan tersebut akan membangun perempuan yang tangguh juga anak-anak yang cerdas, ceria, dan bisa membangun bangsa ini,” ungkap Nina, ditemui di kediamannya di Jalan Wastukencana, Kota Bandung, Selasa 18 Juli 2023.
Nina memilih PDI Perjuangan karena parpol ini mudah diakses dan memberikan peluang untuk anggota perempuan berada di posisi pengambil keputusan. Dia juga terkesan pada pembelaan partai berlambang banteng tersebut terhadap keberagaman dan kaum minoritas. Menurut Nina, banyak kebijakan PDIP juga pro perempuan.
“Bukan berarti (PDIP) benar dan terbaik, tapi setidaknya ada perjuangan-perjuangan partai yang memang sesuai dengan hati nurani saya,” ungkap Nina.
Sepuluh tahun berlalu, Nina menyadari bahwa masuk partai politik tidak semudah yang dibayangkan. Dia belajar politik secara perlahan-lahan. Baru di pemilu 2014, atas penugasan partai, Nina untuk pertama kalinya mencalonkan diri sebagai caleg di Kabupaten Garut.
Di kontestasi pemilu 2019, Nina kembali maju sebagai caleg. Namun, fokusnya terpecah oleh kehamilan. Setelah kelahiran, Nina bahkan sempat menghentikan semua aktivitas politik. Dia memilih untuk aktif di lingkungan sekitar rumah sembari mengasuh anak. Namun justru kiprah di tingkat Rukun Warga (RW) ini yang membuat parpol kembali meminangnya. Dalam pemilu 2014 mendatang, Nina maju sebagai caleg di Kota Bandung.
Nina mengenyam pendidikan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran (Unpad) dan aktif di Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD). Meski tak ikut demonstrasi besar mahasiswa tahun 1998, dia banyak memperjuangkan hak orang-orang kecil di sekitarnya. Sesederhana mengadvokasi agar tukang sapu di kampus bisa naik gaji.
Jika terpilih sebagai anggota legislatif, Nina akan menaruh prioritas pada program-program terkait ekonomi perempuan. Menurutnya, inilah pangkal berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan, termasuk kekerasan. Nina ingin mengubah pola pikir (mindset) perempuan agar lebih berdaya dan lebih berani.
“Saya lebih ke ayo kita bantu perempuan untuk mengubah mindset-nya menjadi pribadi yang lebih baik lagi, yang bisa struggle apa pun yang terjadi pada dia,” ujarnya.
Diakui Nina, dalam kacamata elektoral, isu perempuan bukan isu populer di tengah masyarakat. Dia secara aktif menggelutinya, namun tahu diri bahwa isu ini tidak akan begitu berpengaruh untuk meraup suara. Nina memilih untuk terus berbuat nyata di lapangan, tapi tidak akan menjadikannya janji politik.
Dendam Politik dan Prioritas Pendidikan
Caleg PSI Indri Hafsari punya cerita berbeda. Dia lahir dan tumbuh di daerah yang tingkat korupsinya terbilang cukup tinggi, yakni Tembilahan, Riau. Ketidakadilan akibat kebijakan politik sudah dia alami sejak kecil.
Sejak duduk di bangku sekolah, Indri memiliki berbagai prestasi. Ia sempat mewakili sekolah dan daerahnya untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional dan keluar sebagai juara. Sejak di bangku sekolah, Indri memiliki ketertarikan terhadap keberagaman, isu yang dia jadikan topik dalam karya tulis ilmiahnya.
Indri dibuat kecewa berat ketika kesempatannya untuk mendapatkan beasiswa justru diberikan kepada anak-anak pejabat. Segudang prestasi yang ditorehkan tak cukup dihargai.
“Nah ini yang aku agak protes dari dulu,” ungkap Indri ditemui di salah satu kedai kodi di pusat Kota Bandung, Rabu 12 Juli 2023. “Benar-benar bikin kayak dendam politik gitu.”
Dendam politik semacam inilah yang menjadi salah satu alasan Indri mau bergabung dengan PSI, setelah sebelumnya memilih bersikap antipati terhadap parpol. Menurutnya, PSI memiliki visi keberagaman dan antikorupsi. Pesan sang ayah, tak lama sebelum meninggal dunia, juga menjadi penyemangatnya.
Tentang keputusannya mencalonkan diri sebagai caleg, Indri mengisahkan apa yang dia alami ketika masih tinggal di Jakarta. Lingkungan perumahannya tidak pernah absen banjir setiap kali musim hujan datang. Namun, berkat kerja-kerja pasangan Jokowi dan Ahok yang memimpin DKI Jakarta, kondisinya berubah.
“Nah akhirnya aku baru sadar kalau misalnya dipimpin sama orang yang bener, sebenarnya negara ini bisa benar juga sih,” ungkapnya.
Indri sendiri terbilang masih baru terjun ke dunia politik, dimulai di tahun 2018. Dalam pemilu 2019, menjabat sebagai Wakil Sekretaris DPW PSI Jawa Barat, dia pertama kali mengikuti pileg DPRD Jawa Barat. Mendapatkan nomor urut 3, Indri meraup suara cukup banyak meski belum berhasil memenangkan kursi. Tahun depan dia akan mencoba lagi.
“Jadi kalau ngga nyaleg, ngapain gitulah aktif di partai politik? Akhirnya aku ikut dan aku memutuskan untuk ke kota Bandung, karena sebenarnya itu wilayah adikku. Keluarga ada di sekitar Dapil 4 (Bandung Kidul, Rancasari, Buah batu, Cinambo, Panyeleukan, dan Gedebage) Kota bandung,” tuturnya.
Indri merupakan salah satu inisiator program berbasis komunitas Stand with Her, yang bekerja membangun kesadaran masyarakat tentang peran dan kapasitas perempuan. Secara khusus, Indri menaruh perhatian pada kasus kekerasan terhadap perempuan yang angkanya masih tinggi di Kota Bandung dan Jawa Barat. Kasusnya terjadi di mana-mana, tak terkecuali institusi-institusi pendidikan.
Sebagai ketua koordinator wilayah untuk Komite Solidaritas Perlindungan Perempuan dan Anak Jawa Barat, Indri sering turun langsung ke tengah masyarakat untuk menimba aspirasi atau bahkan mengadvokasi kasus. Permasalahan perempuan masih belum banyak dimengerti. Dibutuhkan edukasi terus-menerus agar warga, terutama perempuan, mengerti lalu mau memperjuangkan hak-hak mereka. Termasuk melaporkan kekerasan yang dialami.
“Saya pikir memang perlu ada kebijakan yang memang benar-benar bisa memberdayakan perempuan-perempuan korban kekerasan,” ucap Indri.
Sama seperti Nina, Indri mengakui bahwa isu permpuan belum cukup mendapat perhatian di tengah masyarakat. Isu ini tidak cukup ‘seksi’ untuk bisa dikapitalisasi menjadi suara. Toh Indri tak lantas ciut dalam melakukan gerakan sosialisasi dan advokasi.
Jika terpilih sebagai anggota legislatif, Indri akan memberi prioritas pada penyediaan akses pendidikan setara bagi perempuan. Sistem harus menjamin semua anak perempuan memperoleh pendidikan bermutu, dan tanpa diskriminasi. Selain beasiswa pendidikan bagi anak-anak perempuan, Indri juga memberi perhatian kepada anak-anak korban kekerasan.
“Harus ada jaminan untuk anak-anak perempuan mendapatkan pendidikan setinggi tingginya,” ungkapnya.
Dalam ranah politik, Indri merasa perlu adanya intervensi pemerintah untuk membuka kesempatan bagi perempuan menduduki jabatan-jabatan strategis. Seperti kuota keterwakilan 30 persen, harus dibuat regulasi afirmatif.
Caleg PPP Lia Nurlaela sudah terjun ke dunia politik sejak 13 tahun silam. Dia pernah menduduki beragam jabatan stategis di partainya. Dari wakil sekretaris, bendahara umum, hingga saat ini Ketua BPJ PPP Kota Bandung untuk persiapan pemilu 2024.
PPP Kota Bandung menargetkan memperoleh empat kursi. Dari 50 kursi caleg, terdapat 19 orang perempuan yang didaftarkan. Melebihi kuota minimal 30 persen. Bagi Lia, pemilu 2004 nanti akan menjadi pengalaman ketiganya bertarung memperebutkan kursi legislatif.
Pengalaman berpolitik selama belasan tahun membuat Lia merasa punya cukup modal pengalaman untuk berkompetisi dalam pileg dan untuk menjabat ketika terpilih. Dia juga termotivasi untuk memberikan contoh kepada para kader partai lainnya.
“Nah saya juga ingin membuktikan bahwa politik perempuan itu, kepemimpinan perempuan itu, juga kita bisa dan mampu untuk memimpin bangsa Indonesia ke depan,” ungkapnya ketika ditemui di kantor DPC PPP Kota Bandung di Gang Ibu Karees, Maleber, Rabu 12 Juli 2023.
Lia memiliki ketertarikan pada dunia politik sejak duduk di bangku sekolah menengah atas islam Madrasah Aliyah pada 1998 lalu. Dia aktif berorganisasi. Salah satunya di ikatan putra putri Nahdatul Ulama.
Selain terjun di dunia politik, Lia juga awet berkarya di dunia pendidikan. Sejak tahun 2003 sampai saat ini dia mengajar di sekolah menengah pertama di yayasan sekolah pendidikan keagamaan yang didirikan oleh orangtuanya.
PPP menjadi pilihan Lia karena kiprah dan sejarahnya yang telah merentang panjang. Selain itu, dia juga sepakat dengan kata “persatuan” yang menjadi keutamaan partai. Satu lagi alasan, tentu saja, karna PPP berlandaskan Islam.
Kurang Agresif
Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Ari Ganjar Herdiansyah mengungkapkan, penetapan kuota perempuan sebesar 30 persen setidaknya dapat memaksa partai-partai politik untuk mendorong kader-kader perempuan ambil bagian dalam pemilu. Sayangnya, penerapannya di lapangan belum optimal karena para kader perempuan sendiri kurang agresif memanfaatkan kesempatan tersebut.
“Bisa jadi juga (karena) kaderisasi di partainya kurang kuat dalam mendorong kadernya untuk berani maju memanfaatkan kuota itu,” ungkap Ari melalui sambungan telepon, Jumat, 7 Juli 2023 malam.
Jelas bahwa gerakan mendorong perempuan untuk berkiprah di kancah politik, terutama legislatif, tidak bisa sepenuhnya diserahkan ke mekanisme parpol. Namun, menyerahkan semuanya ke publik juga problematis. Pendidikan politik di masyarakat, terutama tentang pentingnya perempuan di posisi strategis, masih lemah.
“Masih ada anggapan kuat di kota Bandung juga di Jawa Barat, bahwa kandidat perempuan itu tidak disukai sebagai kepala daerah,” kata Ari “Ada anggapan semacam itu.”
Menurut Ari, akademisi, intelektual masyarakat, dan media harus berkontribusi menciptakan masyarakat yang semakin terbuka sehingga percaya bahwa perempuan juga bisa dan layak memimpin. Mereka juga yang kemudian mengambil posisi kritis terhadap para politisi perempuan yang terpilih agar konsisten memperjuangkan isu-isu perempuan di tataran kebijakan dan regulasi.
*Reportase ini merupakan bagian dari fellowship yang diselenggarakan oleh Perludem