Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Bandung Meningkat, Penegakan Hukum masih Lemah
Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat setiap tahunnya baik di Kota Bandung, Jawa Barat maupun secara nasional.
Penulis Awla Rajul25 Oktober 2023
BandungBergerak.id - Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Bandung maupun Jawa Barat cenderung meningkat setiap tahunnya. Di sisi lain, Komnas Perempuan menilai dalam penanganan kasus, aparat penegak hukum masih memberi stigma dan menyalahkan korban.
Aparat penegak hukum masih terbatas pengetahuan hukumnya mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak. Alih-alih menangani kasus, kerangka hukum justru masih menjadi “faktor penghambat”.
Persoalan mental korban juga menjadi catatan. Pemerintah dan masyarakat bukan hanya harus memfasilitasi pelayanan khusus kekerasan, tetapi juga perlu menyediakan layanan pemulihan mental. Korban kekerasan membutuhkan pendampingan psikis.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung, sepanjang tahun 2022 ada 450 kasus yang dilaporkan ke Unit Pelayanan Terpadu Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Jenis kekerasan yang tertinggi adalah kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran.
Kepala DP3A Kota Bandung Uum Sumiati mengatakan, pihaknya mencoba menurunkan angka kasus kekerasan dengan menghadirkan fasilitas berupa Sekolah dan Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak atau yang disingkat menjadi Senandung Perdana, di Pendopo Kota Bandung, Senin, 23 Oktober 2023.
Melalui program sekolah Senandung Perdana, korban perempuan dan perlindungan anak akan diberdayakan dengan meningkatkan kewirausahaan, menekan angka pekerja anak, mencegah perkawinan anak, meningkatkan peran ibu, dan keluarga dalam pengasuhan anak.
“Dari unsur pendidikan, kami mengutamakan juga nanti para guru BK, para kepala sekolah, dan juga pengurus OSIS dari sekolah untuk penguatan sosialisasi dan edukasi pencegahan kekerasan ini dilakukan secara sistematis,” ungkap Uum Sumiati, dikutip dari siaran pers, Rabu, 25 Oktober 2023.
Uum berharap Senandung Perdana dapat menekan kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Kota Bandung.
Kekerasan di Jawa Barat
Tak hanya di Bandung, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Jawa Barat (Jabar) dan nasional pun meningkat. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, kasus kekerasan di Jabar meningkat pada tahun 2022.
Pada tahun 2021, terjadi 1.766 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Angkanya meningkat di tahun 2022 menjadi 2.001 kasus. Adapun dari data pengaduan kasus yang tercatat di UPTD PPA Provinsi Jabar, tahun 2021 ada 500 kasus yang dilaporkan. Tahun 2022 laporannya meningkat 102 kasus, menjadi 602 kasus.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat Siska Gerfianti menyebutkan, persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak harus menjadi perhatian serius.
Dalam menangani kasus tersebut, Pemprov Jabar mengaktivasi layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 Terintegrasi. Layanan ini nantinya akan diintegrasikan dengan layanan Sapawarga yang dikelola oleh Diskominfo Jabar.
Aktivasi SAPA 129 Terintegrasi ini diharapkan dapat meningkat kualitas layanan perlindungan perempuan dan anak. Sebab, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendelegasikan tugas ini dengan memuat enam fungsi layanan.
“Enam fungsi layanan itu adalah pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban,” jelasnya, dikutip dari siaran pers.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar menyebut aktivasi layanan SAPA 129 Terintegrasi juga dilakukan serentak di 10 provinsi dengan pengaduan terbanyak, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Namun jangan diartikan bahwa yang angka kasusnya terbanyak itu bermasalah. Itu justru harus dipahami bahwa orangnya itu memiliki kesadaran untuk melaporkannya tinggi. Melaporkan itu lebih baik daripada tidak melapor sama sekali,” ujar Nahar.
Secara nasional, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat. Menurut Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan 2023, ada sebanyak 4.471 pengaduan kasus ke Komnas Perempuan sepanjang 2022.
Pada tahun 2021, jumlah pengaduan kasus yang masuk sebanyak 4.322 kasus. Jika dilihat lebih rinci, pengaduan yang diterima terbagi dalam tiga ranah, yaitu ranah personal 2.098 kasus, ranah publik 1.276 kasus, dan ranah negara sebanyak 68 kasus.
Angka pengaduan Komnas Perempuan di 2022 jika digabungkan dengan data yang dihimpun dari Badan Peradilan Agama (Badilag), kasusnya mencapai 457.895 kasus. Dari total aduan itu, 339.782 adalah aduan kekerasan berbasis gender (KBG).
KBG yang diadukan ini sebanyak 336.804 kasus merupakan kekerasan di ranah personal, 2.978 di ranah publik, dan 68 kasus di ranah negara. KBG di ranah negara ini meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya, yaitu 38 kasus.
Baca Juga: Suara Pendamping Korban Kekerasan Seksual
Mencegah Kekerasan Seksual dengan Film
Kurangnya Perlindungan Hukum Membuat Maraknya Kasus Kekerasan Seksual
Rekomendasi Komnas Perempuan
Komnas Perempuan dalam Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan 2023 memberikan catatan penting terkait masalah kekerasan ini. Komnas Perempuan menilai, masyarakat maupun aparat penegak hukum masih memberi stigma dan menyalahkan korban terkait kasus kekerasan ini.
“Hukum dan kebijakan yang konstruktif juga masih membutuhkan penopang berupa aturan turunan dan infrastruktur yang lebih mumpuni agar dapat bermanfaat bagi korban,” demikian dikutip dari dokumen Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan 2023 yang terbit Maret lalu.
Komnas Perempuan memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan regulasi terkait dalam menangani kasus. Misalnya, mengoptimalkan penggunaan UU PKDRT untuk mendorong perlindungan terhadap perempuan di luar perkawinan dalam ranah personal, implementasi UU TPKS perihal kekerasan seksual, dan UU Perlindungan Anak untuk menyikapi kasus kekerasan terhadap anak.
Komnas Perempuan juga mendorong DPR RI untuk menyegerakan pembahasan dan pengesahan UU PPRT dan RUU Masyarakat Adat. Sebab, ada peningkatan kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Perempuan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan masyarakat adat sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk melindungi perempuan dari kekerasan.
Pemulihan mental bagi korban kekerasan pun tak kalah penting. Menurut Komnas Perempuan, pemerintah mesti menyediakan akses yang mudah sebagai bentuk pelayanan khusus kekerasan terhadap perempuan dalam hal pemulihan mental.
“Hal ini untuk menyikapi tingginya kekerasan dalam bentuk psikis baik di ranah personal maupun publik, serta kebutuhan pendampingan psikis pada semua kasus kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan seksual,” kata Komnas Perempuan.
Pemerintah juga harus mensosialisasikan pemahaman tentang UU TPKS kepada aparat hukum dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Di samping itu, lembaga layanan medis harus menerapkan SOP penanganan kekerasan seksual untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual.
*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain Kekerasan Seksual