• Nusantara
  • Suara Pendamping Korban Kekerasan Seksual

Suara Pendamping Korban Kekerasan Seksual

Para pendamping korban kekerasan seksual turut terancam oleh pelaku. Sementara perhatian pemerintah pada mereka masih minim.

Lisa Oktavia (kiri), dari lembaga pengada layanan Rifka Annisa, menceritakan proses pendampingan korban dalam Media Training Pre-event Konferensi Internasional Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, ICIFPRH 2022, di Yogyakarta, Senin (22/8/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau31 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Menjadi pendamping korban kekerasan tidaklah mudah. Tak jarang mereka mengeluarkan dana pribadi untuk mendampingi korban atau mengikuti pelatihan. Mereka turut terancam dikriminalisasi atau mendapat teror dari pelaku. Sementara perhatian pemerintah pada para pendamping masih minim.

“Kamu kurang kerjaan, itukan orang gila, ngapain kamu dampingi? Pertanyaan-pertanyaan itu ada, ketika kemudian saya mendampingi korban dengan disabilitas intelektual,” ungkap Lisa Oktavia salah satu pendamping korban dari Lembaga Penyedia Layanan Rifka Annisa, dalam Media Training Pre-event Konferensi Internasional Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, ICIFPRH 2022, di Yogyakarta, Senin (22/8/2022).

Stigma dari lingkungan masyarakat yang belum memberikan dukungan terhadap korban masih menjadi tantangan dan persoalan dalam pendampingan kasus. Tak hanya masyarakat, pada tingkat aparat penegak hukum (APH) seperti kepolisian, kerap kali masih menyudutkan korban. Sehingga menjadi pekerjaan rumah besar ketika penegak hukum belum memiliki perspektif yang baik terhadap korban.

Ketiadaan perspektif korban membuat korban sendiri akhirnya enggan melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Persoalan persepektif korban sekaligus menjadi hambatan terbesar dalam pendampingan kasus.

Dewan Etik Forum Pengada Layanan, Suharti menjelaskan hal yang sama. Tak hanya aparat penegak hukum, namun juga masyarakat dan tergadang keluarga korban turut berkontribusi mempersuit dalam proses penanganan kasus.

Kerap kali dalam kasus kekerasan seksual, masyarakat masih menuduh hal itu sebagai perbuatan suka sama suka. Dalam tahapan di aparat kepolisian pun, masih ada pertanyaan menyudutkan korban.

“Kamu goyang nggak? Atau kok bisa terjadi berkali-kali. Orang dicium kok berarti itu kejadinnya bukan pemaksaan hubungan seksual tetapi memang mau, karena dia dicium dan dipegang sebelumnya juga mau,” tutur Suharti, kepada BandungBergearak.id, Kamis (24/8/2022).

Selain persoalan perspektif aparat penegak hukum, kapasitas lembaga penyedia layanan, kapasitas UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) sangat beragam di berbagai daerah. Semisal di wilayah tertentu, lembaga penyedia layanan tidak memiliki anggaran yang cukup.

Kemudian UPTD PPA tidak pernah mengikuti pelatihan, dan tidak memahami bagaimana penanganan kasus. Tak banyak psikolog yang disediakan di daerah-daerah di luar kota besar.

Kerap kali pendamping korban mesti mengeluarkan uang pribadi untuk membantu korban melakukan pemeriksaan dan visum. Karena pemerintah daerah tak memiliki cukup anggaran untuk bisa membiayai penanganan korban.

“Itu hambatan yang paling sering muncul. Tapi yang paling besar itu sebetulnya soal perspektif, karena kalau perspektif ini masih sangat bias gender maka banyak sekali kasus-kasus yang berakhir didamaikan. Atau bahkan dinikahkan sama pelakunya itu jamak terjadi di mana-mana,” katanya.

Infrastruktur yang Dibutuhkan Pendamping Korban Nonpemerintah

Persoalan dana, menjadi yang utama bagi Lembaga Penyedia Layanan Non-Pemerintah. Selama ini, sumber dana dalam penanganan kasus sangat terbatas. Banyak juga yang belum memiliki shelter atau ruangan khusus untuk korban, sehingga penanganan kasus kekerasan seksual seadanya.

Suharti mengungkapkan bahwa salah satu advokasi yang dilakukan saat ini yakni advokasi dana khusus yang disediakan oleh negara melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang masuk ke Dinas Pemberdayaan Perempuan di seluruh kabupaten kota di Indonesia, yang jumlahnya cukup besar, antara 300 juta rupiah hingga 400 juta rupiah.

Semestinya dana tersebut dapat dioptimalkan untuk penanganan kasus dengan mendukung lembaga-lemabaga layanan nonpemerintah yang ada di wilayah tersebut. Para pendamping di layanan nonpemerintah selama ini bekerja secara sukarela, namun mereka memiliki kapasitas yang mumpuni dalam penanganan terhadap korban kekerasan.

Keterbatasan dana pada pendamping nonpemerintah membuat mereka harus merogoh kocek pribadi dalam mengikuti pelatihan penanganan kasus kekerasan seksual maupun penanganan kasusnya. Sehingga, pemerintah perlu memperhatikan lembaga penyedia layanan di daerah-daerah tersebut.

Mengambil contoh dari Lembaga Penyedia Layanan Rifka Annisa, dalam setahun dapat menanganani sebanyak 400-an kasus, dan semua tidak berbayar. Jika pemerintah dapat menjamin lembaga layanan nonpemerintah, ini akan sangat baik dalam penganan kasus ke depannya.

“Dan di daerah-daerah itu masih sangat minim sekali shelter atau rumah aman untuk korban kekerasan itu. Jadi ada banyak kasus yang konselornya itu kadang-kadang menggunakan tempat tinggalnya sendiri itu untuk menampung korban,” ungkapnya.

“Nah inikan melanggar prinsip prinsip penanganan kasus dan juga membahayakan untuk konselornya. Karena dia harus menjaga korban 24 jam. Nah ini yang saya kira harus jadi perhatian kita bersama,“ imbuhnya.

Suharti, Dewan Etik Forum Pengada Layanan. Pendamping korban kekerasan seksual kurang mendapat perhatian dari pemerintah. (Sumber Foto: Dokumen Pribadi)
Suharti, Dewan Etik Forum Pengada Layanan. Pendamping korban kekerasan seksual kurang mendapat perhatian dari pemerintah. (Sumber Foto: Dokumen Pribadi)

Cerita Perjalanan Pendampingan Korban

Suharti, tumbuh dan besar di daerah pinggiran Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lahir dari keluarga petani. Awal ia bergabung dengan gerakan masyarakt sipil dilatar belakangi kenangan pahit, ia dan keluarga adalah korban penggusuran. Tanah tempatnya tinggal digusur untuk keperluan tambang.

Kala itu, sekitar tahun 2004 hingga 2005, ada dua kejadian besar, kawasan daerah perkampungannya menjadi lokasi tambang pasir besi, dan proyek transmigrasi. Rumahnya digusur. Dari situlah ia mulai terlibat aktif bersama organisasi gerakan sipil. Saat itu, ia masih menjadi mahasiswa Peternakan di Universitas Gajah Mada.

Dari peristiwa tersebut, ia mulai akrab dengan dunia aktivisme karena berinteraksi dengan organisasi masyarakt sipil yang membantu korban penggusuran dalam memperjuangkan hak-haknya. Ia mulai belajar bagaiman mengadvokasi masyarakat. Pada 2007, ia mulai tergabung dengan lembaga Rifka Annisa.

Saat itu, Suharti tak langsung mendampingi korban kekerasan seksual. Tapi ia lebih banyak membantu pada pencegahan dan advokasi di lapangan. Tak terhitung jumlah kasus yang turut ia tangani hingga ia pernah menjadi Direktur Rifka Annisa.

Dalam perjalanannya mengadvokasi kasus, Suharti menceritakan beberapa kasus yang sulit untuk diadvokasi, yaitu kasus yang melibatkan nama-nama orang besar. Kerap kali perempuan korban kekerasan seksual justru malah dikriminalkan, dilaporkan balik. Korban sampai harus tinggal di rumah aman berbulan-bulan.

“Dalam kasus-kasus yang lain, selain yang kasus ini kasus kekerasan seksual yang melibatkan misalnya tokoh-tokoh agama, pondok pesantren, dan lain sebagainya, itu rumit sekali untuk bisa diungkap,” ungkap perempuan yang lahir pada 31 Januari 1982 itu.

Kebanyakan kasus yang ditanganinya terkait dengan relasi kuasa yang kuat. Hal ini membuat korban ketakutan untuk melapor. Ada korban yang saat kasusnya terjadi justru sedang dalam keadaan menumpang tempat tinggal di rumah pelaku.

“Itu hal-hal yang seperti itu yang beberapa kali kita nggak berhasil mengungkapnya kalau melibatkan orang-orang besar, dan kasusnya agak (tak terdengar atau viral),” katanya.

Baca Juga: Menghukum Pelaku Pelecehan Seksual dengan Larangan Naik Kereta Api Seumur Hidup
Data Pelaku Kekerasan Seksual di Indonesia dalam Ranah Komunitas 2020, Kasus yang Terlaporkan Banyak Dilakukan oleh Teman Korban
Data Korban Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia 2020 Berdasarkan Jenjang Pendidikan, Banyak Kasus Menimpa pada Usia Produktif dan Anak

Harapan Pendamping Korban Kekerasan Seksual

Penanganan pendampingan korban kekerasan seksual memang membutuhkan strategi khusus. Di Rifka Annisa sendiri pihaknya telah mulai mengembangkan strategi transformasi gender agar isu gender tidak hanya didekati dengan program-program pemberdayaan perempuan tetapi juga harus ada transformasi pada sisi laki-lakinya. Hal ini yang belum banyak disentuh oleh banyak pihak.

Misalnya, berbicara mengenai program Keluarga Berencana (KB) selama ini identik dengan perempuan. Padahal KB untuk laki-laki juga ada. Ketika berbicara mengenai pengasuhan anak, laki-laki juga perlu terlibat. Begitu juga dalam pekerjaan-pekerjaan domestik atau rumah tangga di mana laki-laki harus berperan.

Menurutnya, transformasi gender erat kaitannya dengan upaya mengikis budaya maskulin di masyarakat, sekaligus mendorong perpektif masyarakat pada isu seksualitas yang selama ini dianggap sebatas isu moralitas sehingga perempuan sendirilah yang harus bertanggung jawab.

“Seperti yang saya sampaikan ekosistem di masyarakt kita yang tidak mendukung pada korban itukan salah satunya juga dikontribusikan dari cara pandang laki-laki di dalamnnya. Olehnya, membangun ekosistem yang baik di masyarakat tentunya juga dengan merubah pola pikir laki-laki ini dalam memandang isu gender dan isu seksualtias,” terangnya.

Harapan lain, Suharti mengingatkan tentang pentingnya pemenuhan hak para pendamping korban kekerasan. Bukan saja soal materi yang terkait dengan pendapanatan dan kesejahteraan, para pendamping juga perlu mendapat pemulihan mental. Tak jarang dari mereka banyak yang juga mengalami trauma.

Jadi, tugas pemerintahlah yang seharusnya memenuhi hak para pendamping tersebut. Pemerintah harus tahu bahwa beban para pendamping sangatlah besar. Mereka ikut terdampak oleh kekerasan yang dialami korban yang didampinginya. Bahkan ada pendamping yang dikriminalisasi atau mendapatkan teror dan intimidasi dari pelaku.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//