• Nusantara
  • Indeks Kebebasan Pers 2023 Turun: Kesejahteraan Jurnalis Bermasalah, Media Belum Ramah Disabilitas

Indeks Kebebasan Pers 2023 Turun: Kesejahteraan Jurnalis Bermasalah, Media Belum Ramah Disabilitas

Survei Dewan Pers untuk Indeks Kebebasan Pers (IKP) 2023 menunjukkan penurunan di semua indikator survei. IKP untuk pertama kalinya turun dalam enam tahun terakhir.

Koran-koran yang masih bertahan di tengah palagan media digital. Tak terhitung media cetak yang migrasi ke onlinnya, yang lainnya gulung tikar. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul30 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Dewan Pers mengumumkan Indeks Kebebasan Pers (IKP) 2023 dengan poin 71,57 menempatkan kemerdekaan pers di Indonesia berada di kategori “Cukup Bebas”. IKP 2023 untuk pertama kalinya turun setelah lima tahun berturut-turut terus naik. Adapun IKP Jawa Barat naik 1,49 poin yang menempatkan Jawa Barat berada di urutan dua nasional.

Ketua Komisi Pendataan, Penelitian, dan Ratifikasi Pers, sekaligus anggota Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro mengatakan, IKP 2023 dengan nilai 71,57 poin turun 5,3 poin dibandingkan IKP 2022. Secara berturut-turut, hasil survei IKP 2018 yaitu 69 (kategori “agak bebas”), pada tahun 2019 meningkat menjadi 73,71 (kategori “cukup bebas”), selanjutnya menjadi 75,27 tahun 2020, 76,02 tahun 2021, dan 77,87 tahun 2022.

“Penurunan angka IKP ini merupakan yang pertama sejak enam tahun lalu,” ungkap Sapto dikutip dari siaran pers Dewan Pers.

Turunnya nilai IKP 2023 disebabkan terjadinya penurunan di semua indikator survei. Pada lingkungan Fisik Politik, penurunan besar, sekitar tujuh poin terjadi pada tiga indikator Kebebasan Berserikat bagi Wartawan, Kebebasan dari Intervensi, dan Kebebasan dari Kekerasan. Pada lingkungan Ekonomi penurunan terbesar, sekitar delapan poin pada indikator Independensi dari Kelompok Kepentingan yang Kuat. Pada lingkungan Hukum penurunan besar terjadi pada indikator Kriminalisasi dan Intimidasi Pers dan Etika Pers.

“Pada IKP 2023 secara nasional, tidak ada indikator yang mendapatkan nilai lebih besar dari 80,00. Mayoritas indikator (yaitu 16 indikator dari 20 indikator IKP), mendapat nilai lebih besar dari 70,00 yang dapat dipandang sebagai gambaran bahwa kondisi Kemerdekaan Pers Nasional ‘Cukup Bebas’,” dikutip dari dokumen hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers 2023 Dewan Pers.

Sapto menyebutkan, sepanjang tahun 2022 masih terjadi kekerasan terhadap wartawan dan media, baik fisik, non-fisik, dan digital. Pun juga dengan intervensi terhadap redaksi, baik dari dalam maupun dari luar. Sapto menegaskan, beberapa indikator ini memberi kontribusi pada penurunan IKP 2023.

Baca Juga: Kontroversi Perpres Publishers Rights, untuk Kepentingan Pers atau Ada Maksud Lain?
Mendiskusikan Jejak Pers di Bandung dari Zaman Kolonial ke Era Disrupsi
Catatan AJI Bandung terhadap Naiknya Indeks Kemerdekaan Pers di Jawa Barat, Kekerasan dan Kesejahteraan Jurnalis Menjadi Persoalan Utama

IKP Jawa Barat Naik, tapi Masih Memprihatinkan

Ketua Bidang Advokasi dan Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Ahmad Fauzan Sazli menilai, kebebasan pers di Jabar masih memprihatinkan. Dua yang disorotinya yakni masalah kekerasan pada jurnalis serta kesejahteraan jurnalis.

AJI Bandung mencatat ada tiga kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2022 yakni di Sukabumi, Bandung, dan Karawang. Dari tiga kasus yang dicatat itu, menunjukkan sebenarnya indeks kebebasan pers di Jabar masih sangat memprihatinkan. Belum lagi jika merujuk pada kasus-kasus yang terbaru.

“Dari tiga kasus itu ada lima korban. Satu korban saja sudah masalah yang serius, apalagi masalah sebelumnya tidak selesai. Aji menganggap Jabar masih belum aman,” terang Fauzan kepada BandungBergerak.id melalui Zoom Meeting, Rabu, 25 Oktober 2023.

Persoalan kesejahteraan jurnalis terlihat dengan masih adanya jurnalis yang dibayar Rp 5 ribu sampai Rp 20 ribu per berita. Fauzan menilai hal ini menunjukkan profesi jurnalis masih dianggap rendah, sepele, dan tidak penting. Upah yang rendah akan mempengaruhi profesionalitas jurnalis dan demokrasi di Indonesia.

“Kami pikir ini juga mempengaruhi aspek demokrasi, karena dengan rendahnya gaji itu bisa mempengaruhi profesionalitas jurnalis,” lanjut Fauzan.

Ia menambahkan, bagaimana bisa jurnalis menyuarakan suara kritis bagi publik jika aspek ekonominya belum tercukupi. Ketika ekonominya tidak tercukupi, sangat mungkin jurnalis akan melanggar kode etik. Hal ini pula yang membuat independensi jurnalis dengan kelompok kepentingan menjadi abu-abu. Belum lagi menjelang tahun politik.

Selanjutnya masih ada media yang belum optimal mewujudkan kesetaraan bagi kelompok rentan, salah satunya pada kelompok disabilitas. Perusahaan media misalnya belum semuanya menyediakan teknologi yang memudahkan kelompok disabilitas mengakses dan memahami informasi dengan mudah.

“Ini menjadi PR buat media di Indonesia agar teknologi di media bisa diakses oleh teman-teman disabilitas, jadi media itu inklusi. Ini butuh waktu ya untuk ke arah sana, kalau ada regulasi yang mendorong supaya media punya kapasitas itu lebih baik,” ujar Fauzan.

Terpisah, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Barat, Ika Mardiah mengatakan bahwa pemprov terus berusaha agar IKP Jabar semakin baik dan meningkat meski tantangan kebebasan pers di era digital demikian banyak. Kenaikan IKP Jawa Barat yang menempatkannya di posisi dua nasional menunjukkan adanya peningkatan literasi masyarakat dan jurnalis yang semakin mudah mendapatkan informasi. Ia mengklaim, pemprov turut aktif dalam meningkatkan literasi masyarakat dan mendorong jurnalis untuk mengikuti Uji Kompetisi Wartawan (UKW).

“Ada kepentingan dari Pemdaprov Jabar untuk memberikan dan melindungi informasi yang diterima masyarakat.  Salah satunya dengan peningkatan kapasitas dan profesionalisme penulis berita atau jurnalis melalui UKW,” ujar Ika saat sosialisasi hasil survei IKP 2023, Kamis, 19 Oktober 2023, dikutip dari siaran pers Jabar.

Kesejahteraan Jurnalis dan Kesetaraan Akses untuk Kelompok Rentan

Survei IKP merupakan survei tahunan Dewan Pers untuk menilai kondisi kemerdekaan pers pada periode tahun sebelumnya. Survei IPK 2023 ini dilakukan di 34 provinsi, meliputi tiga lingkungan dengan 20 indikator, serta melibatkan 408 Informan Ahli sebagai responden dan 10 anggota Dewan Penyelia Nasional (National Assessment Council, NAC).  Survei ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif melalui kuesioner sebagai instrumen penelitian.  Ada tiga kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi indikator isu-isu utama kemerdekaan pers pada IKP 2023.

Kriteria pertama adalah minimal 11 provinsi mendapat nilai indikator kurang dari 70,00 sebagai representasi cakupan sepertiga dari jumlah provinsi Indonesia. Kedua, nilai indikator lebih kecil dari nilai IKP nasional sebagai representasi kondisi kemerdekaan pers di bawah ambang rata-rata nasional. Kriteria terakhir adalah nilai indikator lebih kecil dari 70,00 sebagai representasi kondisi indikator masih pada kategri “Agak Bebas”.

Dewan Pers menyebut ada empat indikator isu utama pada IKP 2023. Yakni Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan, Indenpendensi dari Kelompok Kepentingan yang Kuat, Tata Kelola Perusahaan yang Baik, dan Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas. Dari empat isu utama tersebut, ada dua yang dinilai Dewan Pers sebagai permasalahan utama dalam IKP 2023 yakni tidak optimalnya pemenuhan kesejahteraan insan pers dan dependensi pers kepada kelompok kepentingan yang kuat dan belum ada regulasi yang tegas menjamin pemenuhan hak akses informasi bagi penyandang disabilitas melalui media secara mudah.

“Jurnalis yang menghadapi permasalahan kesejahteraan ekonomi dapat terperosok pada perilaku tidak terpuji dan rawan tergiur untuk menerima bantuan atau gratifikasi (berupa uang, materi, atau fasilitas) dari pihak lain. Independensi media menjadi lebih rentan terpengaruh apabila pemilik, pengelola, dan wartawan terafiliasi ke kelompok kepentingan yang kuat,” tulis hasil IKP 2023.

Selain itu, media baru sebatas mengakui namun belum memenuhi hak akses informasi bagi kelompok disabilitas. Dewan Pers menilai permasalahan ini bermula karena kondisi lingkungan hukum yang belum ideal, sebab belum adanya peraturan yang mewajibkan media menyiarkan berita untuk dapat diakses dan dicerna oleh penyandang disabilitas.

Beberapa informan survei IKP menyebutkan, bahwa media sering terkendala sumber daya manusia dan teknologi untuk membuat media yang inklusif. Atau keluhan terkait pengalih bahasa yang mahal, media cetak yang terbatas ruang, bahkan persoalan media yang “harus” memilih berita yang menarik dan laku untuk pasar sehingga menyisihkan disabilitas.

Terkait ini, Dewan Pers memberikan rekomendasi kepada pemerintah maupun legislatif di seluruh tingkat untuk membuat regulasi atau peraturan yang mendorong perusahaan pers agar memberikan ruang pemberitaan dan fasilitas akses informasi bagi penyandang disabilitas.

*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain tentang Kebebasan Pers.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//