Kontroversi Perpres Publishers Rights, untuk Kepentingan Pers atau Ada Maksud Lain?
Merancang regulasi di zaman demokrasi harus terbuka. Berbeda dengan di masa Orde Baru yang serba ditutup-tutupi.
Penulis Iman Herdiana1 Agustus 2023
BandungBergerak.id - Presiden Joko Widodo mendapat desakan dari organisasi media dan jurnalis agar mengkaji kembali naskah Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Jurnalisme yang Berkualitas (Perpres Publishers Right). Perpres ini memicu kontroversi karena diduga mengandung poin-poin yang belum disepakati seluruh pemangku kepentingan di industri media.
Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masysrakat (LPPM) Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung Nursyawal mengatakan, draft Perpres Publishers Right seharusnya dibuka ke publik. Kontroversi mengenai Perpres Publishers Right saat ini sangat tidak produktif karena tidak ada draft rancangan perpres yang diakui sebagai draft perpres yang dapat dibaca publik.
“Jadi, saat ini kita hingar bingar mengomentari komentar dan opini yang dasarnya tidak valid juga. Hingar bingar yang tidak jelas. Seharusnya jajaran Kominfo yang baru dilantik, segera membuka draft itu. Bukankah jajaran baru Kominfo berasal dari kelompok sipil yang prodemokrasi? Sudah saatnya cara-cara pembentukan peraturan perundang-undangan dibuat sesuai norma yang ada,” kata Nursyawal, saat dihubungi BandungBergerak.id, Selasa (1/8/2023).
Sebelumnya, Senin (24/7/2023), hanya sepekan setelah dilantik, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi memastikan naskah rancangan Perpres tersebut sudah disetorkan kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangani Presiden.
Nursyawal yang juga Ketua Forum Diskusi Dosen Stikom Bandung Sakola Nusa sekaligus Majelis Pertimbangan Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung mengingatakan, pembuatan regulasi di zaman demokrasi saat ini berbeda dengan di masa Orde Baru. Pada masa Suharto berkuasa, peraturan dibuat di ruang-ruang tertutup agar titipan agenda yang disembunyikan dengan mulus masuk ke dalam perundang-undangan.
Nursyawal menegaskan, urusan pers adalah urusan yang menjadi hak azasi warga negara dan dilindungi konstitusi. Maka dari itu, peraturan yang mengurusi pers harus tunduk dalam bingkai konstitusi. Tidak boleh ada kepentingan lain yang bertentangan dengan konstitusi.
Menurutnya, Perpres Publishers Right harus memiliki ruh bahwa negara memiliki kewajiban melindungi kepentingan warga negara dalam memperoleh informasi yang akurat dan lengkap, agar bermanfaat untuk membangun pendapat secara mandiri. Dengan demikian negara menjadi semakin cerdas dan sehat.
“Perpres bukan alat untuk menghidupkan kembali sensor oleh lembaga tertentu atau quasi negara,” tandas Nursyawal.
Desakan dari Organisasi Pers
Sejumlah organisasi meda dan jurnalis yang meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak buru-buru mengesahkan Perpres Publishers Right terdiri dari Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Indonesian Digital Association (IDA). Mereka menyatakan, substansi Perpres seharusnya tidak lepas dari upaya memperbaiki ekosistem jurnalisme di Indonesia.
"Tujuan kita semua adalah menciptakan bisnis media yang sehat dengan konten jurnalisme yang berkualitas," kata Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut, dalam siaran pers 28 Juli 2023, dikutip Selasa (1/8/2023).
Namun, Wens mengingatkan, platform digital juga perlu dilibatkan sebagai pemangku kepentingan ekosistem informasi di Indonesia. Menurutnya, kebuntuan dalam pembahasan rancangan Perpres harus dipecahkan dengan mencari win win solution.
Solusi yang sudah diterapkan di negara lain, misalnya "designation clause" yang ada dalam Media Bargaining Code di Australia, bisa diterapkan di Indonesia. Dengan pasal itu, hanya platform yang menolak berkontribusi secara signifikan pada upaya memperbaiki ekosistem media yang diwajibkan memenuhi ketentuan dalam peraturan. Sampai saat ini, draft terakhir Perpres Publishers Rights yang beredar, tidak memasukkan klausul tersebut.
Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito menegaskan pentingnya memastikan semua kompensasi dari platform untuk penerbit media benar-benar digunakan untuk membiayai produksi jurnalisme yang berkualitas.
"Harus ada jaminan bahwa peraturan ini berdampak pada kesejahteraan jurnalis. Karena itu penting draft terakhir rancangan Perpres dibuka ke publik untuk mendapat masukan dan hasil terbaik," kata Sasmito.
Sasmito juga menekankan bahwa penting peraturan ini dapat diawasi dan ditegakkan oleh badan pelaksana atau komite yang independen dari kepentingan platform, industri media, maupun pemerintah. Namun demikian, kewenangan badan pelaksana atau komite tersebut harus tunduk kepada Undang-Undang Pers dan tidak mengambil kewenangan dari Dewan Pers.
Ketua Umum IDA Dian Gemiano mengungkapkan aspirasi organisasinya agar Perpres ini tidak menjadi langkah mundur untuk industri media digital di Indonesia. Pihaknya sangat mendukung regulasi untuk memastikan keberlanjutan jurnalisme berkualitas di Indonesia.
“Namun dengan pertimbangan dinamika industri saat ini harus dilihat pula dengan bijak risiko-risiko yang dapat mendisrupsi keberlangsungan bisnis media jika seluruh pemangku kepentingan belum sepakat dengan rancangan regulasi yang ada,” katanya.
Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan meminta agar regulasi ini semata mata untuk menciptakan rasa keadilan bagi seluruh penerbit media termasuk yang berskala menengah maupun kecil sehingga tercipta ekosistem media digital yang sehat, berkualitas, profesional dan mensejahterakan para jurnalisnya.
"Regulasi ini dibuat untuk memastikan media yang memproduksi dan melaksanakan kerja kerja jurnalistik yang berkualitas dapat terus tumbuh. Jangan sampai regulasi ini hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Sementara banyak penerbit kecil, lokal, dan independen, yang juga harus terlindungi oleh adanya aturan semacam ini," katanya.
Google Indonesia merespon rencana penandatanganan Perpres Publishers Rights ini dengan sebuah siaran pers pada 25 Juli 2023 yang menegaskan rencana mereka untuk tak lagi menayangkan konten berita di platformnya. Aksi serupa pernah dilakukan Google di Australia dan Kanada. Di Australia, perusahaan teknologi itu akhirnya melunak setelah pemerintah setempat melakukan renegosiasi dengan tawaran win-win solution.
Jika ancaman Google benar-benar dilaksanakan, maka platform mesin pencari Google dan situs agregator video Youtube, tidak akan lagi menayangkan konten yang berasal dari penerbit media di Indonesia. Selain kehilangan traffic pembaca, penerbit media juga berpotensi kehilangan miliaran rupiah pendapatan yang selama ini disalurkan oleh perusahaan teknologi raksasa tersebut. Publik juga bakal kehilangan akses pada informasi penting dan kredibel yang diproduksi redaksi media massa, di periode krusial menjelang Pemilihan Umum 2024.
Desakan AMSI, AJI, IJTI dan IDA agar Presiden Joko Widodo mengkaji kembali isi Perpres Publishers Rights sesuai dengan prinsip global untuk relasi yang lebih adil antara penerbit media dan korporasi teknologi yang dirumuskan di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 14 Juli 2023 lalu. Forum ini didukung oleh 75 penerbit, jurnalis, dan peneliti media dari 25 negara di dunia.
Forum tersebut menegaskan pentingnya setiap mekanisme yang mengatur hubungan platform digital dan perusahaan media tetap mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. AMSI dan AJI merupakan dua organisasi dari Indonesia yang terlibat dalam perumusan prinsip global tersebut.
Peraturan Publishers Rights diharapkan tidak hanya mengatur soal kompensasi untuk konten berita, tapi juga melindungi hak cipta dari penerbit media yang kini terancam oleh keberadaan mesin kecerdasan buatan (Generative AI). Keberadaan aturan yang bisa mengakomodasi kepentingan penerbit media dan platform digital di tengah berbagai perubahan teknologi saat ini adalah solusi ideal untuk memastikan ekosistem informasi digital lebih kredibel dan bermanfaat untuk publik.
Baca Juga: PROFIL AJI BANDUNG: Bukan Sekadar Kumpulan Wartawan Antiamplop
AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat
Lapor Covid-19 dan 57 Pegawai KPK Mendapat Tasrif Award 2021 AJI
Dalam Bingkai UU Pers
Sebelumnya, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menegaskan bahwa Perpres ini harus bertumpu pada upaya menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas. Dewan Pers meminta perpres ini tetap harus mendasarkan pada Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan demikian, tata kelola tentang penyelenggaraan Publisher Rights untuk jurnalisme berkualitas tetap dalam bingkai UU Pers.
“Kami akan tetap mengawal perpres ini. Kami terus berkomitmen dan ingin bersama masyarakat pers ikut menjaga kemerdekaan pers dan jurnalisme berkualitas,” ungkap Ninik, dikutip dari laman Dewan Pers, Jumat (14/7/2023).
Ninik menjelaskan, Perpres ini sekaligus untuk mengawal karya jurnalistik berkualitas yang juga ikut didistribusikan oleh platform digital global. Apalagi ini menjelang pemilu sehingga masyarakat memerlukan berita dan informasi yang akurat dan berkualitas.
“Jangan sampai masyarakat memperoleh informasi yang hoaks apalagi sampai menyebabkan disintegrasi bangsa. Pengaturan ini niat utamanya adalah agar negara hadir dalam memenuhi hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan kredibel untuk membangun situasi yang kondusif dalam rangka jurnalisme berkualitas,” paparnya.
Ninik menambahkan, regulasi ini tidak lain dalam rangka menjaga kedaulatan dan kemandirian digital yang dikawal oleh pemerintah dan Dewan Pers. Substansi draf perpres yang diharapkan adalah mengedepankan aspek kemandirian digital dan mengawal jurnalisme berkualitas.
“Upaya-upaya inovasi digital yang dilakukan oleh pemerintah harus didukung melalui peraturan ini. Perpres ini sebagai cara menghadirkan negara (presiden) untuk memastikan, bahwa media kita mendapatkan keadilan dari penghasilan yang selama ini belum dirasakan,” ujar Ninik.
Ia mengajak semua pihak kembali pada argumen awal perlunya dibentuk regulasi tersebut, yakni demi keadilan, keterbukaan, dan jurnalisme berkualitas. Regulasi itu bukan melulu soal bisnis atau periklanan tetapi juga soal jurnalisme yang baik.