• Berita
  • Mendiskusikan Jejak Pers di Bandung dari Zaman Kolonial ke Era Disrupsi

Mendiskusikan Jejak Pers di Bandung dari Zaman Kolonial ke Era Disrupsi

Ngadu Buku Bandung bertajuk “Pers, Bandung, dan Nasib Kuli Tinta” mengulas kondisi pers di zaman kolonial sampai era disrupsi.

Diskusi Ngadu Buku Bandung bertajuk Pers, Bandung, dan Nasib Kuli Tinta di Kedai Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Jumat malam, 20 Oktober 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman21 Oktober 2023


BandungBergerak.id - “Saya merasa banyak kehilangan ketika baca (berita) di online dibandingkan ketika saya memegang (koran). Saya coba bedah dari foto, konten, topografi hingga komposisinya itu ternyata banyak sekali yang berbeda dibandingkan media online yang sangat terbatas,” tutur Agung, peserta diskusi Ngadu Buku Bandung #3, Jumat malam, 20 Oktober 2023.

Di tengah disrupsi teknologi yang mengancam bisnis media konvesional, Agung masih setia dan merasa nyaman membaca berita langsung dari koran dibanding mengakses portal-portal berita daring. Dia beralasan, berita yang dibaca langsung dari koran punya nilai lebih karena diproses melalui disiplin jurnalistik dibanding berita-berita online yang lebih mengedepankan kecepatan.

Saat ini memang arus informasi bisa menyebar ke banyak tempat dengan cepat, tapi hal itu menyebabkan bias informasi. Bahkan saat ini kebanyakan orang sulit membedakan antara tulisan jurnalistik dan tulisan content creator. Akibatnya tak sedikit orang yang menjadi korban hoaks.

Pada diskusi Ngadu Buku Bandung bertajuk “Pers, Bandung, dan Nasib Kuli Tinta” itu, hadir narasumber Indra Prayana (penulis buku Jejak Pers di Bandung), Tri Joko Her Riadi (koordinator penulisan buku Di Sini Cerita Kami Titipkan), dan Rana Akbari (akademisi). Mereka membahas kondisi dan tantangan pers dulu dan kini.

Rana Akbari, mantan jurnalis Tempo yang juga aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung menilai, penggunaan kata disrupsi untuk menggambarkan kondisi media saat ini sebetulnya kurang tepat. Disrupsi itu terjadi secara tiba-tiba, sementara perkembangan teknologi terjadi secara bertahap.

Pada saat internet masuk ke Indonesia, sikap media pada saat itu memandangnya sebagai sesuatu yang biasa. Namun internet berkembang cepat hingga memberikan dampak dan perubahan yang cukup besar pada media.

“Ketika ada internet, bisnis media berubah cepat. Ada yang sudah mempersiapkan teknologinya sejak awal seperti Tempo yang punya Tempo Interaktif lalu beranjak jadi tempo.co. Ada pula yang tidak siap dengan perubahan itu. Sekarang pilihannya mau ikut atau tidak,” ucap Rana, pada diskusi yang diselenggarakan di Kedai Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi.

Tri Joko Her Riadi yang pernah menjadi jurnalis di Pikiran Rakyat selama 13 tahun menyebutkan, disrupsi media kian terasa sejak tahun 2015. Saat itu banyak bersebaran kabar soal media konvensional yang mulai membatasi jumlah edar dan eksemplarnya, menutup harian minggunya, bahkan beberapa sudah sama sekali tidak menerbitkan koran lagi. Keresahan ini semakin diperparah saat dunia dihantam pandemi Covid-19.

Merespons kondisi krisis tersebut, Joko menuturkan, 22 jurnalis Pikiran Rakyat berinisiatif membuat buku “Di Sini Cerita Kami Titipkan”. Buku ini kumpulan tulisan esai menyinggung soal apa yang harus dilakukan oleh koran dan jurnalisme supaya tidak sampai tergerus oleh zaman. Buku ini juga diperkaya oleh dengan tulisan visi tiap-tiap jurnalis tentang masa depan jurnalisme.

“Salah satu alasan buku ini kami terbitkan karena waktu itu kondisi memang sudah sangat suram oleh disrupsi dan pandemi. Lalu saya kontak beberapa teman untuk segera terbitin buku. Ya selagi masih bekerja untuk Pikiran Rakyat, selagi masih segar ingatannya,” tutur Tri Joko Her Riadi.

Buku ini terbit di tengah iklim bisnis media yang sudah sangat tidak bagus. Joko menyebut ada banyak kegamangan pada bisnis media termasuk bagi Pikiran Rakyat sebagai koran terbesar di Jawa Barat. Beberapa keputusan seperti efisiensi karyawan dan lainnya mulai diambil.

Kondisi pers dari waktu ke waktu memang selalu dihadapkan dengan situasi yang berbeda. Namun kondisi hari ini betul-betul memaksa pers untuk merombak banyak hal. Supaya tetap relevan dan melayani publik.

Jejak Pers di Bandung Dulu

Pengarsipan jejak-jejak pers, apalagi di Bandung, masih sangat minim didokumentasikan. Penulis buku “Jejak Pers di Bandung” sekaligus penjual buku-buku antik Indra Prayana menyebutkan, minimnya pendokumentasian pers biasanya karena perawatan yang sulit dan mudah rusak.

Meski memiliki tingkat perawatan yang sulit, Indra tidak patah arang untuk mengumpulkan arsip koran-koran lama terutama di Bandung. Dengan modal arsip pribadi yang cukup banyak, Indra akhirnya menuliskan dan menerbitkan buku “Jejak Pers di Bandung”.

“Saya selalu terinspirasi oleh WS Rendra yang mengatakan bahwa perjuangan adalah pelaksana kata-kata. Itu jadi motivasi saya untuk melaksanakan penulisan soal pers di Bandung,” ungkap Indra.

Indra menegaskan tidak ada ketentuan dan persyaratan media apa saja yang mesti masuk ke dalam bukunya. Ia memasukkan daftar pers yang ada sesuai dengan koleksi yang dia miliki.

Medan Prijaji yang dikelola Tirto Adhi Suryo menjadi media yang paling awal dibahas dalam bukunya. Alasan Indra memasukkan Medan Prijaji di urutan pertama karena media tersebut menjadi perintis pers di Indonesia. Dalam arti lain, media pertama yang dikelola oleh pribumi.

Tak luput Indra juga menyoroti tokoh-tokoh pers pada saat itu. Pada saat itu media digunakan sebagai alat perjuangan dan propaganda para tokoh-tokoh nasional, seperti Sukarno yang selalu diidentikkan dengan Fikiran Rajat.

Lalu ujung pembahasan buku ini adalah soal peran pers mahasiswa yang mulai semakin aktif pada era 70-an hingga puncaknya di era 98-an. Hadirnya pers mahasiswa menjadi wadah pemikiran dan suara-suara kritis mahasiswa yang membawa perubahan dan mendobrak kekuasaan rezim saat itu.

“Paling tidak hadirnya buku Jejak Pers di Bandung menjadi cermin para pemimpin-pemimpin bangsa bahwa dulu itu bapak-bapak bangsa kita itu seorang jurnalis. Kita itu merindukan sosok-sosok pemimpin yang penulis. Jadi ketika kampanye tidak hanya pamflet saja yang disebar, tapi ada karya yang bisa disebarkan,” tutup Indra.

Baca Juga: Jejak Langkah Tirto Adhi Soerjo, Pers Bumiputera dan Pers Advokasi
Jejak Pers, Jejak Intelektualitas Bandung
Keputusan MK Menolak Uji Materi UU Pers Harus segera Disosialisasikan kepada Masyarakat

Diskusi Ngadu Buku Bandung bertajuk Pers, Bandung, dan Nasib Kuli Tinta di Kedai Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Jumat malam, 20 Oktober 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Diskusi Ngadu Buku Bandung bertajuk Pers, Bandung, dan Nasib Kuli Tinta di Kedai Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Jumat malam, 20 Oktober 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Masih Bisakah Idealisme ala Koran Diterapkan di Media Daring?

Hari ini kecepatan dan kuantitas jadi kunci utama yang diterapkan oleh kebanyakan media daring. Proses panjang yang diterapkan ala media konvensional sudah mulai ditinggalkan dan tak mungkin diterapkan.

Konsep mengutamakan kecepatan dalam menyebarkan informasi ini tentu memiliki risiko. Penulis tidak sempat mencari data dan melengkapi narasumber karena tuntutan waktu. Akibatnya tulisan yang tayang kurang utuh dan mendalam.

Lalu pertanyaannya, masih bisakah media daring hari ini tetap memiliki kualitas dengan mengikuti proses disiplin ala koran?

Tri Joko Her Riadi masih percaya bisa membangun media yang seperti itu. Namun ada risiko yang harus ditanggung dan tantangan yang harus dihadapi, tapi bukan berarti itu menjadi suatu hal yang mustahil.

“Aku masih yakin kalau proses disiplin ala koran yang sering disebut sebagai slow journalism masih bisa diterapkan di media daring kalau diterapkan secara serius,” ucap pemimpin redaksi BandungBergerak.id tersebut.

Meski perkembangan teknologi hari ini mengancam dan meresahkan para jurnalis dan media, tapi kondisi itu tidak serta merta mematikannya. Baik dulu atau sekarang media punya tantangannya tersendiri.

“Dalam setiap zaman pers selalu menghadapi tantangannya sendiri-sendiri. Jurnalis lalu berada dalam posisi bagaimana menghadapi zaman yang menuntut ia untuk terus berperan untuk publik,” tutup Joko.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Reza Khoerul Iman, atau artikel-artikel lain tentang pers dan jurnalisme

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//