PERSMA MASIH RENTAN: Patah Tumbuh, Hilang Berganti
Pers mahasiswa di Bandung Raya masih sangat rentan mengalami tindak represi. Namun persma-persma baru terus bermunculan untuk merawat iklim kritis di kampus.
Penulis Awla Rajul13 November 2023
BandungBergerak.id - Di suatu siang pada pertengahan Agustus 2021, Azmi Mahatmanti menemui Dekan dan Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Sebagai sebagai Ketua BEM, dia mengajak Kabid Pengembangan Sumber Organisasi (PSDO) bersamanya. Menurut undangan, perjumpaan di ruang Dekan itu sebenarnya hanya akan membahas Mokaku, kegiatan penerimaan mahasiswa baru. Namun di akhir pertemuan, terselip juga obrolan tentang unggahan kritis tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tayang di Instagram BEM UPI dan BEM FIP sebulan sebelumnya.
Dalam pertemuan tersebut, pejabat Dekanat FIP UPI waktu itu meminta Azmi, selaku pemimpin tertinggi BEM fakultas, menegur BEM universitas agar menghilangkan semua propaganda tentang UKT di akun Instagram. Azmi menolak. Dia tak mau menjadi alat pembungkam demokrasi.
“Kita malah mengkritisi tindakan yang dilakukan oleh pejabat fakultas BEM kita. Akhirnya kita bikinlah semacam respons dan itu juga dalam tulisan, di-up juga di Ig (BEM) Fakultas,” tutur Azmi ketika ditemui BandungBergerak.id di kawasan Dago, Minggu (16/7/2023).
Belajar dari kasus unggahan ini, Azmi menyadari bahwa para mahasiswa FIP UPI memiliki daya nalar kritis yang bagus dan mereka berani menyuarakannya. Pada saat bersamaan, dia juga menyadari bahwa BEM tidak akan cukup menjadi satu-satunya wadah karena organisasi ini terikat pada periode kepengurusan.
“Untuk menampung daya kritis itu dan keinginan-keinginan mengkritik hal yang tidak benar, dibuatlah LPM (Lembaga Pers Mahasiswa), mulai dikumpulin anak-anak yang basic-nya suka nulis, suka beropini,” ucapnya.
Pada Mei 2022, LPM Dewantara Moeda secara resmi dinyatakan berdiri. Penamaan “Dewantara Moeda” dipilih untuk meniru semangat tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara yang ketika muda juga aktif sebagai jurnalis. Rifai Gunadi dipilih sebagai Pimpinan Umum LPM Dewantara Moeda pertama.
Gugun, demikian Rifai Gunadi kerap disapa, mengamini bahwa mahasiswa FIP UPI memang membutuhkan wadah untuk mengirimkan tulisan. Apalagi Isolapos, lembaga pers mahasiswa skala universitas, redup dibekap pandemi Covid-19. Demikian organisasi-organisasi mahasiswa lainnya.
“Itu (LPM) jadi salah satu wadah untuk mahasiswa aktif dalam tulisan,” ucap Gugun, mahasiswa Pendidikan Khusus FIP UPI.
Demikianlah LPM Dewantara Moeda didirikan dalam bayang-bayang pandemi. Persma ini menayangkan berita dan tulisan-tulisan yang diterima dari para kontributor.
Dalam Ancaman Pembubaran
Pada Januari 2020, dua bulan sebelum masa pagebluk, sebuah lembaga pers mahasiswa (LPM) didirikan di Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung. Reaksi, nama LPM tersebut, mengantongi surat keputusan (SK) sebagai Badan Semi Otonom (BSO) di lingkungan Fakultas Saintek.
Pembentukan LPM Reaksi bermula dari sebuah komunitas jurnalistik yang menamakan dirinya sebagai Buletin of Saintek pada tahun 2015 lalu. Empat tahun kemudian, nama komunitas ini diubah menjadi Redaksi of Saintek (Reaksi).
Semangat LPM Reaksi tak jauh beda dari Dewantara Moeda, yakni menjadi wadah literasi dan kejurnalistikan. Meski terbilang muda, organisasi ini pernah memberitakan kasus sensitif di kampus, yakni isu kekerasan seksual. Imbasnya bisa ditebak, awak Reaksi mendapatkan tindak represi.
“Jajaran Dekanat mengancam bahwasanya Reaksi ini bisa dibubarkan dan sebagainya,” tutur pemimpin umum (PU) LPM Reaksi 2023, Mahran Rangga, ketika diwawancarai melalui Google Meet, Selasa (25/7/2023).
Liputan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Fakultas Saintek itu tayang di akun Instagram Reaksi pada tahun 2022. Dekanat Fakultas, BEM Fakultas, dan jajaran Himpunan meminta unggahan itu diturunkan. Karena banyaknya tekanan dan ketiadaan payung hukum spesifik yang melindungi persma, pengurus LPM Reaksi terpaksa mencabut berita itu.
“Waktu itu emang kita rada patah semangat karena lumayan takut juga masa depannya Reaksi apabila memang ujungnya kita dibubarkan karena masalah kritisi pelecehan seksual itu,” ungkap Rangga. “Tetapi untuk periode yang sekarang alhamdulillah-nya teman-teman punya semangat lagi untuk mengkritisi.”
Baca Juga: Peta Sebaran Kasus Tindak Kekerasan terhadap Pers Mahasiswa di Bandung Raya 2013-2023
PERSMA MASIH RENTAN: Represi Berdalih Nama Baik Kampus
PERSMA MASIH RENTAN: Beragam Represi di Balik Berita
Sejarah Pers, Sejarah Suara Kritis
Sejarah pers mahasiswa merentang panjang sejalan dengan sejarah bangsa Indonesia. Amir Effendi Siregar dalam bukunya Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti (1983) membagi sejarah pers indonesia dalam dua periode, yakni “sebelum kemerdekaan” dan “setelah kemerdekaan”.
Di era sebelum kemerdekaan, kemunculan pers mahasiswa beriringan dengan naiknya gelombang pergerakan nasional di awal abad ke-20. Beberapa produk persma yang bisa disebut di antaranya adalah berkala Jong Java yang diterbitkan oleh pelajar dan mahasiswa pada tahun 1914 dan Indonesia Merdeka yang diterbitkan oleh mahasiswa Indonesia di Belanda pada tahun 1924. Di Bandung, terbit Jaar Boek oleh mahasiswa TTS, sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), pada tahun 1930-1941.
Tentang kelahiran dan kiprah persma-persma sebelum kemerdekaan ini, Amir mengutip pendapat Nugroho Notosusanto yang menyebut mereka belum cukup profesional secara kejurnalistikan. “Baru sesudah kemerdekaan, pers mahasiswa berkembang ke arah profesionil dengan tata cara internnya sendiri,” tulis Nugroho.
Pertumbuhan pers mahasiswa di Indonesia memperoleh momentumnya dalam era demokrasi liberal pada awal 1950-an. Salah satu titik puncak terjadi pada 1955. Penerbitan pers mahasiswa bisa ditemukan, dan dalam jumlah yang signifikan, di kota-kota besar di Indonesia. Di Bandung, Amir mencatat sedikitnya 10 produk pers mahasiswa, yakni Bumi Siliwangi (IKIP), Gema Physica, Gunadharma, Intelegensia (FT ITB), Mesin, Suluh Pengetahuan, IDEA (PMB), Scientia (FIPIA), Synthesia (CMB-CGMI), dan Ganeca.
Dalam era demokrasi terpimpin (1959-1965), pemerintah melakukan kontrol ketat terhadap kerja pers. Banyak persma mengalami kemunduran. Bahkan berhenti terbit. Di Bandung, beberapa persma yang masih sanggup bertahan adalah Arena (1959), Tjarano (1960), Pembina - Sospol Unpad (1960), Harian Berita-berita - ITB (1961), dan Gelora Teknologi - Dewan Mahasiswa ITB (1964).
Di masa Orde Baru, sikap kritis semakin melekat pada jati diri pers mahasiswa, baik yang terbit di dalam kampus maupun di luar kampus. Di tahun-tahun awal Orba, gerak persma berpusat pada anak-anak muda yang mengekspresikan kebebasan mereka setelah sebelumnya dicengkeram kebijakan-kebijakan Orde Lama. Di Bandung, misalnya, terbit mingguan Mahasiswa Indonesia dan Mimbar Demokrasi.
Namun memasuki tahun 1980-an, ketika terjadi kemandekan ekonomi yang berbuntut pada krisis politik dan bermunculannya berbagai masalah sosial di tengah masyarakat, pers mahasiswa tampil sebagai gerakan kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Didik Supriyanto, dalam bukunya Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK//BKK (1998), menyebut bahwa dalam periode tersebut, persma menjadi bagian dari gerakan masyarakat sipil (civil society).
Namun, Didik juga menandai beragam tantangan yang dihadapi oleh persma untuk mewujudkan idealisme mereka sebagai pers kritis. Kesulitan ini terutama dialami oleh generasi persma yang muncul sejak tahun 1985. Merujuk tulisan Amir Husin, Didik menyebut kelemahan persma terletak pada aspek kelembagaan dan kaderisasinya. Berada di lingkungan kampus, persma terikat pada kesementaraan kegiatan mahasiswa yang dibatasi masa kuliah.
“Padahal regenerasi dan kaderisasi yang tidak mapan akan membawa pengaruh kepada kualitas penerbitan, baik dalam hal kebijaksanaan redaksional maupun kontinuitas penerbitan,” tulis Didik.
Hambatan-hambatan tidak lantas menumpas eksistensi pers mahasiswa. Di setiap momen-momen penting bangsa, persma hadir. Termasuk di tahun-tahun seputar keruntuhan Orde Baru pada 1998.
Satrio Arismunandar, dalam bukunya Bergerak!: Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto (2005), memaparkan bagaimana buletin Bergerak! menyumbang peran signifikan di kalangan mahasiswa Universitas Indonesia. Bergerak! tampil sebagai “penyampai informasi dan wacana sosialisasi”. Ia juga menyediakan diri sebagai wahana debat dan diskusi.
Penerima manfaat utama buletin Bergerak!, menurut Satrio, adalah para mahasiswa awam yang tidak memiliki sumber informasi alternatif. Maka, perubahan sikap, pemahaman, dan pandangan mahasiswa UI terhadap gerakan mahasiswa 1998 itulah yang menjadi kontribusi terbesar buletin mahasiswa tersebut.
“Perubahan sikap, pemahaman, dan pandangan mahasiswa inilah yang kemudian memudahkan para elite aktivis dalam memobilisasi massa mahasiswa UI untuk mendukung berbagai aksi,” tulis Satrio.
Represi di Mana-mana
Idealisme pers mahasiswa untuk menyampaikan suara kritis bukannya tanpa risiko. Ia berada di posisi yang serbasulit karena berstatus lembaga yang jadi bagian pengelolaan kampus. Ditambah lagi cap “bukan pers profesional” yang membuat persma amat rentan.
Di sepanjang sejarahnya, persma mengalami berbagai bentuk tekanan atau bahkan tindak kekerasan. Di kampus-kampus di Bandung Raya, merentang panjang sejarah tindak represi terhadap lembaga pers mahasiswa.
Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB) mencatat total 38 Lembaga Pers Mahasiswa di kawasan Bandung Raya. Murujuk hasil survei yang dihimpun secara kolaboratif oleh Bandungbergerak.id dan enam LPM di Bandung Raya dari Mei hingga Juni 2023, tercatat total 34 kasus yang menimpa pers mahasiswa di Bandung Raya dalam rentang waktu 10 tahun terakhir. Dari 34 kasus tersebut, teridentifikasi sejumlah 61 tindak represi dalam berbagai macam bentuk. Mulai dari kekerasan lisan, tuntutan pencabutan berita, hingga ancaman ke ranah hukum.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka UIN Sunan Gunung Djati menjadi pers mahasiswa dengan kasus tertinggi, yaitu lima kasus. LPM Aksara Telkom University dan LPM Jumpa Universitas Pasundan (Unpas) menyusul dengan masing-masing empat kasus tindak represif.
Dilihat dari jenisnya, tindak kekerasan verbal menjadi yang paling banyak terjadi, sebanyak 15 kasus, disusul dengan ancaman pencabutan berita sebanyak 14 kasus. Di peringkat ketiga, terdapat kasus intimidasi dan teror sebanyak 10 kasus.
Dilihat dari pelaku tindak represif, pihak-pihak di lingkungan kampus, mulai dari pejabat dan staf kampus hingga organisasi mahasiswa lain, ada di urutan pertama. Pejabat kampus menjadi pelaku tindak kekerasan terbanyak dengan sembilan kasus, disusul mahasiswa dan organisasi mahasiswa dengan masing-masing tujuh kasus. Sementara itu, staf kampus tercatat menjadi pelaku enam kasus tindak represif terhadap persma.
Di kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), LPM Warta Kema dan Pena Budaya pernah menghadapi ancaman dari pihak luar terkait reportase isu kekerasan seksual yang mereka terbitkan. Di sepanjang prosesnya, kampus terang-terangan memilih lepas tangan dengan tidak membela para mahasiswa. Bahkan mereka cenderung mendukung tuntutan pengacara untuk mencabut berita.
Masih di Unpad, LPM dJatinangor juga pernah mengalami tindak represi. Salah satu penulis artikel yang tayang di situs web dan akun media sosial mereka dipanggil oleh pihak kampus.
Di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung, LPM Suaka pernah berselisih dengan banyak pihak. Sebanyak 200 eksemplar majalah mereka pernah dirampas oleh pihak satuan pengamanan dan office boy. Untuk isu liputan yang lain, ancaman lisan untuk men-drop out para reporter pernah keluar dari mulut pejabat kampus.
Di Universitas Widyatama, LPM sEntra harus memikul sanksi pembatasan kegiatan setelah liputan mereka dipermasalahkan oleh organisasi mahasiswa lain. Dampak terberat adalah sulitnya kaderisasi dan produksi berita-berita kritis.
Sementara itu, di Universitas Pasundan (Unpas), BPPM Pasoendan berulang kali harus berurusan dengan pihak birokrat kampus akibat reportase yang mereka kerjakan. Dalam banyak pemanggilan, mereka diminta untuk membatalkan liputan atau mencabut berita yang sudah tayang.
Kepala Divisi Kampanye Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono mengamini betapa rentannya pers mahasiswa dalam kerja peliputan mereka. Ia mencontohkan, dalam beberapa aksi unjuk rasa, anggota pers mahasiswa yang sedang melakukan peliputan malahan ditangkap polisi. Padahal mereka sudah mengaku sebagai pers sambil menunjukkan atribut.
“Banyak juga yang punya anggapan persma itu adalah dari kampus aja, bukan seperti media konvensional. Padahal kalau dilihat kan kerja-kerjanya sama. Ada peliputan, ada editor, ada strukturnya, ada infrastrukturnya, bahkan ada hasilnya kan,” ucap Heri ketika ditemui di Kantor LBH Bandung, Jumat 21 Juli 2023.
Patuh Kode Etik dan Berjejaring
Koordinator Advokasi dan Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Ahmad Fauzan Sazli menyebut bahwa AJI mengakui persma sebagai bagian dari pers Indonesia. Sepanjang pers mahasiswa melakukan kegiatan jurnalistik dengan benar dan menaati kode etik jurnalistik, karya yang dihasilkan juga tergolong dalam kerja jurnalistik. Reportase kritis merupakan bagian dari tanggung jawab persma menjalankan peran dalam demokratisasi akademik.
“Ketika persma dibungkam oleh kelompok tertentu, oleh kampus, oleh temen-temen mahasiswa sendiri, maka hilang demokrasi,” ungkap Fauzan di Sekretariat AJI Bandung, Jumat 21 Juli 2023.
Menurut Fauzan, kampus seharusnya memberikan kesempatan kepada pers mahasiswa untuk mengkritik. Di dunia akademik, dan didukung oleh Undang-undang, setiap orang berhak dan bebas menyampaikan kritik dan masukan dengan tujuan pengembangan kampus yang lebih baik.
Fauzan menjelaskan, agar terhindar dari tindak represi, pers mahasiswa harus melakukan mitigasi risiko sejak awal sebelum peliputan dijalankan. Mitigasi yang paling utama adalah mematuhi kode etik jurnalistik. Pers mahasiswa juga harus mengukur risiko ketika melakukan peliputan lapangan.
“Jadi riset dulu temen-temen mau liputan di mana, risikonya seperti apa,” katanya.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah membangun jejaring di luar kampus seluas-luasnya. Tanpa jejaring, kampus atau pihak yang lain bisa semena-mena menekan kerja persma.
Direktur LBH Bandung Lasma Natalia menyebutkan bahwa setiap tindak represi yang terjadi kepada masyarakat merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Termasuk tentu saja apa yang dialami oleh para jurnalis, baik jurnalis profesional maupun pers mahasiswa.
“Salah satu tonggak demokrasi itu kebebasan pers. Nah terus tempat orang bisa mengasah analisa itu kampus. Pers mahasiswa itu punya dua hal itu. Dia sebagai media, dia juga di kampus,” ungkap Lasma.
Menurut Lasma, salah satu langkah penting yang bisa diambil adalah mendorong peberbitan kebijakan yang melindungi pers mahasiswa, seperti perlindungan terhadap kekerasan seksual di kampus. Jika bukan level kementerian, bisa juga surat edaran di kampus-kampus.
Lasma juga menyebutkan, membentuk suatu kelompok kecil untuk advokasi represi terhadap pers mahasiswa yang berkelanjutan juga sangat mungkin untuk dilakukan. Namun sebelum ke sana, langkah yang perlu dilakukan adalah kampanye bersama terkait kasus tindakan represi yang dialami persma. Tak perlu kasus per kasus, namun bagaimana pola yang dialami.
LBH Bandung, juga AJI Bandung, selalu membuka diri untuk memberikan pendampingan advokasi kepada pers mahasiswa yang mengalami tindak kekerasan. Dalam banyak kasus yang pernah terjadi, komitmen ini telah teruji.
Tiga Langkah untuk Persma
Dosen Prodi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad), Justito Adiprasetio masih melihat harapan bagi pers mahasiswa. Meski saat ini berada di posisi problematik sebagai subordinat pihak kampus, kehadiran persma penting sebagai kekuatan penyeimbang.
Justito menawarkan tiga langkah strategis yang bisa diambil persma agar menjadi relevan sekaligus agar bisa mengubah sistem menjadi semakin inklusif, yakni langkah jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Kalau langkah jangka pendeknya adalah kepatuhan pada kode etik dalam setiap peliputan, langkah jangka panjangnya berupa dorongan memperbarui Undang-undang tantang Pers yang mengakui pers mahasiswa. Caranya, meski terdengar klise, ya dengan menempuh jalan panjang legislasi.
Sebagai langkah jangka menengah, Justito menyebut kerja membangun kesadaran politik mahasiswa. Harus ada upaya penyadaran bahwa persoalan yang dialami pers mahasiswa merupakan persoalan bersama.
“Kalau pers mau dibelain, maka massanya harus banyak gitu. Karena kalau nggak, dia akan semakin sendirian,” tutur Justito ketika diwawancarai melalui Google Meet, Sabtu 29 Juli 2023.
Menurut Justito, kerja membangun jejaring dengan serikat pekerja jurnalis penting, tapi pers mahasiswa jangan melupakan jejaring dalam dunia akademik yang melibatkan mahasiswa dan dosen. Titik berangkatnya bisa dengan memberitakan juga persoalan-persoalan yang dihadapi dosen, seperti upah rendah dosen yang belakangan disuarakan kalangan akademisi.
Satu langkah lain dalam jangka menengah adalah membuat persma relevan untuk semua orang. Meski menjadi media alternatif dan bernada gerakan, pers mahasiswa harus mengemas karya-karyanya agar mudah dicerna oleh publik.
“Kan kalau kita lihat persma itu semua tone-nya itu abang-abangan, ya warnanya hitam, kepalan tangan, penting gitu. Tapi ketika semuanya begitu, bagaimana kita bisa menggapai puluhan ribu mahasiswa?” ungkap Justito. “Dengan persma mau seradikal apapun, kalau nggak ada yang baca, ya percuma.”
Berumur Panjang
Di kampus-kampus di Bandung Raya, di tengah deretan kasus kekerasan yang terus mendera, persma-persma baru terus bermunculan dan tumbuh. Mereka ibarat oase di lahan kering.
Di Universitas Muhammadiyah Bandung, ada LPM Bewara Pers yang terbentuk sejak tahun 2018, tak lama setelah universitas berdiri. Diniatkan awalnya sebagai tempat mahasiswa untuk ‘sekadar’ menulis, Bewara secara perlahan mengambil peran sebagai wadah melontarkan kritik. Imbasnya, persma muda usia ini pernah mengalami ancaman ditutup oleh oknum kampus akiabt pemberitaannya.
“Karena kampus tidak akan pernah berkembang ketika tidak ada orang yang mengkritik,” ungkap Hanif Mujaddid, demisioner pengurus LPM Bewara Pers ketika ditemui di Kampus UM Bandung, Sabtu 22 Juli 2023.
Demikianlah persma-persma baru di Bandung Raya, seperti Bewara Pers, Dewantara Moeda, dan Reaksi, tumbuh dalam idealisme tentang kerja jurnalistik. Meski ada kekhawatiran tentang seberapa panjang umur, dengan melihat riwayat panjang tindak represif terhadap persma, mereka berkomitmen untuk terus berkarya. Harapan mereka tak muluk-muluk: berumur panjang.
*Liputan ini merupakan hasil kolaborasi LPPM dJatinangor bersama Bandungbergerak.id, LPM Suaka UIN SGD Bandung, LPM Aksara Telkom University, LPM Jumpa Universitas Pasundan, BPPM Pasoendan Universitas Pasoendan, dan LPM sEntra Universitas Widyatama dengan dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) melalui program Jaring Aman