• Liputan Khusus
  • PERSMA MASIH RENTAN: Dari Represi Ormawa, Birokrat, hingga Aparat

PERSMA MASIH RENTAN: Dari Represi Ormawa, Birokrat, hingga Aparat

LPM Jumpa pernah mengalami represi dari dalam dan luar kampus. Saat demonstrasi menolak Omnibus Law, anggota persma ini ditangkap polisi.

Ilustrasi. Pembungkaman pers sebagai musuh demokrasi, 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Sifa Aini Alfiyya17 November 2023


BandungBergerak.id - Berita berjudul “Kurangnya Kesadaran Mahasiswa Teknik Terhadap Kebersihan Kampus” yang ditulis oleh calon anggota baru Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Jumpa Fadhilla Nur Islami, itu tayang di website dan akun Instagram LPM Jumpa Minggu, 15 Januari 2023 pukul 03.10 WIB dan tidak butuh waktu lama untuk memanen komentar.

Banyak mahasiswa Fakultas Teknik (FT) Universitas Pasundan (Unpas) menyatakan keberatan mereka terhadap reportase yang mengangkat isu kebersihan lingkungan di sekitar kampus mereka. Beberapa komentar menjurus ke arah intimidasi, seperti “Yuk sini nongkrong di Setiabudi kawan,” demikian salah satu komentar yang dituliskan di kolom komentar Instagram LPM Jumpa.

Para pengurus LPM Jumpa saat itu serta-merta dibuat panik. Terutama mereka yang terlibat langsung dalam penerbitan artikel itu, mulai dari penulis yang masih berstatus calon anggota baru hingga editor.

“Saat itu aku mengkhawatirkan teman-teman aku, khususnya yang kuliah di Setiabudi (kampus tempat FT berada – Red) yang akan mendapatkan tindakan lebih dari itu, karena mereka (mahasiswa FT – Red) terus mengeluarkan nada ancaman di media sosial, baik itu lewat DM atau kolom komentar,” ujar Dhiva Prastian Dwi Ramdani, Ketua Umum LPM Jumpa periode 2022/2023, ketika diwawancarai di Sekretariat LPM Jumpa kampus II Unpas, Jalan Tamansari, Kota Bandung, Kamis, 20 Juli 2023.

Setelah itu, keredaksian menawarkan hak jawab kepada pihak FT untuk menyanggah pemberitaan yang telah diangkat. Akan tetapi, mereka terus menolak karena merasa bahwa LPM Jumpa yang bersalah dan berita tersebut merugikan mereka. Lalu, pada akhirnya permasalahan tersebut telah tercium oleh birokrat kampus dan diadakan pertemuan yang dihadiri oleh pihak kemahasiswaan sebagai mediator dan perwakilan dari LPM Jumpa serta mahasiswa FT.

Dhiva juga menuturkan saat berita itu telah ramai dan pertemuan sudah dijadwalkan, LPM Jumpa segera membuat langkah persiapan untuk menghadiri pertemuan. LPM Jumpa menghubungi Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB) yang diwakili Arya dari BPPM Pasoendan dan Aulia dari LPM Aksara. LPM Jumpa juga telah menghubungi beberapa rekan LBH Bandung dan Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diwakili Dikdik.

Namun, dalam pertemuan yang berlangsung di tempatngopi sekitar Jalan Babakan Siliwangi itu ternyata tidak sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Pihak FT mendatangkan lima orang perwakilan, padahal dalam kesepakatan masing-masing pihak hanya mengirimkan satu perwakilan. Pada saat berdialog, Dhiva mengalami kesulitan dengan jumlah yang tidak imbang ketika pihak FT melayangkan tiga tuntutan yaitu pencabutan berita, klarifikasi dari pihak LPM Jumpa, dan konferensi pers.

LPM Jumpa menolak pencabutan berita. Akan tetapi pihak birokrat menekan untuk menerima pencabutan dengan alasan takut masalah akan semakin panjang dan tak kunjung selesai. Akhirnya, pembicaraan mulai buntu karena seluruh pihak memegang nilainya masing-masing. Oleh karena itu, LPM Jumpa kemudian mengajukan permintaan untuk keselamatan bagi narasumber, penulis, dan pihak yang terlibat dalam terbitan berita tersebut. Terlebih dalam pertemuan itu, menurut penuturan Dhiva, pihak FT beberapa kali melayangkan perkataan yang bernada ancaman seperti, “Kami sebagai orang-orang yang di atas Fakultas Teknik, bisa saja nerima. Tapi kami tidak bisa menahan gerakan yang ada di bawah, mereka punya inisiatif sendiri untuk datang ke sekre Jumpa”.

Setelah pertemuan tersebut, pihak LPM Jumpa berdiskusi lagi karena permasalahan masih belum selesai. Pada akhirnya demi keselamatan pengurus serta anggota, dengan terpaksa berita tersebut dicabut dan mengeluarkan siaran pers berisi kronologi serta alasan pencabutan pemberitaan. Namun, konferensi pers tidak jadi diadakan, karena pihak kemahasiswaan telah berdialog dengan Dekan FT sehingga masalah berhasil diredam.

Akan tetapi, upaya tindak represi tersebut membuat keredaksian sangat terdampak, terutama untuk pengurus dan calon anggota baru. Mereka merasa ketakutan ketika ingin membahas hal-hal yang berurusan dengan FT, padahal seharusnya ada hal-hal yang penting untuk dibahas. Tetapi karena sensitifitasnya tinggi, beberapa anggota menjadi trauma untuk mengangkat isu yang cukup sensitif.

Dhiva yang merasakan perubahan tersebut, berusaha untuk mengobati luka traumatik dan menghilangkan ketakutan anggotanya dengan cara membicarakan secara intens mengenai esensi dan tugas pers mahasiswa (Persma) di setiap rapat redaksi. Ia dibantu dengan beberapa anggota yang tidak terlalu terdampak, menjelaskan mengenai advokasi, serta berusaha menyadarkan bahwa hal ini wajar terjadi karena termasuk pada dinamika Persma yang harus siap dihadapi.

“Aku selalu meyakinkan kalau selama kita menjalankan dengan benar dan yang diangkat itu kebenaran, apa yang perlu ditakutkan?” ujarnya.

Setelah beberapa waktu berlalu, keredaksian berangsur membaik dan mulai berani kembali untuk mengangkat isu yang istilahnya berada ‘di pinggir jurang’, karena rawan sekali penolakan dan menyulut orang-orang.

“Teman-teman sudah berani lagi menyuarakan apa yang harus disuarakan,” pungkas Dhiva.

Data pelaku tindak kekerasan terhadap pers mahasiswa di Bandung Raya dalam 10 tahun terakhir, terbanyak aparat kampus. (Desain: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Data pelaku tindak kekerasan terhadap pers mahasiswa di Bandung Raya dalam 10 tahun terakhir, terbanyak aparat kampus. (Desain: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Di mana Kita Berlindung Jika Represi itu Datang dari Birokrat Sendiri?

Tekanan terhadap LPM Jumpa tidak hanya terjadi pada 2023. Pada 2021, upaya represi juga terjadi. Kali ini pelakunya birokrat kampus.

Agustina Wiguna, Ketua Umum LPM Jumpa periode 2021/2022, menjelaskan, berita berjudul “Kejanggalan dalam Pelaksanaan Pemilihan Raya [Pemira] FH Unpas” yang diunggah pada Rabu, 27 Oktober 2021 pukul 00.14 WIB yang diliput oleh Rizal Fauzan, Dhiva Prastian Dwi Ramdani, dan Ulfa Nuraeni, berbuntut panjang. Merasa nama baiknya dijatuhkan, Erick Ernawan Rachman, Staf khusus Dekan Bidang III Kemahasiswaan FH, meminta agar tulisan tersebut “di-takedown karena ada kesalahan pemberitaan”.

“Waktu itu dibilang pemilihan ini akan diurus oleh mahkamah konstitusi mahasiswa, tapi ternyata (mahkamah itu -Red) belum terbentuk,” kata Agustina, saat diwawancarai di Sekretariat LPM Jumpa kampus II Unpas, Jalan Tamansari, Kota Bandung, Kamis, 20 Juli 2023.

Agustina menjelaskan, sebagai peliput Rizal telah mengikuti keadaan dan jalannya Pemira selama beberapa minggu sekaligus meliput acara itu. Rizal melakukan kerja-kerja sesuai dengan kaidah kejurnalistikan seperti menentukan sudut pandang, juga cover both side dengan mewawancarai berbagai pihak.

Maka dari itu, walaupun suasana dalam kepengurusan panik karena upaya tindakan represi berasal dari birokrat kampus sendiri, Rizal sebagai penulis melakukan upaya bertanya kepada LBH dan relasinya ketika saat itu menjabat sebagai koordinator Humas mengenai advokasi.

Kemudian, Rizal membuka hak koreksi bagi Dekan bersangkutan agar tetap di jalur pemberitaan yang benar. Ia juga bergerak di belakang dengan menghubungi birokrat hukum dan dibantu oleh alumni yakni Hendra, untuk berbicara kepada pihak yang berada di FH. Barulah setelah diupayakan oleh pihak Jumpa dengan menawarkan hak koreksi, akhirnya pihak kampus membuat tulisan klarifikasi mengenai poin kutipan berita “Kejanggalan dalam Pelaksanaan Pemilihan Raya [Pemira] FH Unpas” dan permasalahan tersebut selesai.

Namun, tentu saja permasalahan tersebut menimbulkan ketakutan seperti takut nama LPM Jumpa tercoreng karena dianggap memberitakan hal yang tidak benar. Kesulitannya juga adalah tindak upaya represi datang dari kampus sendiri. Hal itu cukup membingungkan menurut Agustina, karena LPM Jumpa dilindungi oleh kampus, tetapi direpresi oleh kampus itu sendiri.

“Kita ingin melapor, mengadu, berlindung pada siapa ketika orang yang melindungi kita pun melawan kita, pada akhirnya kita bersandar pada keluarga Jumpa itu sendiri. Bahkan, kita juga gak sekuat itu dalam melakukan perlawanan yang dianggap benar, tapi sama kampus dianggap gak benar. Nah muncul ketakutan, takutnya pemutusan adanya Unit Kegiatan Mahasiswa Jumpa ataupun pemutusan anggota di dalamnya,” ujarnya.

Akan tetapi, walaupun ketakutan dan kesulitan muncul karena pemberitaan tersebut, upaya tidak berhenti hingga klarifikasi dari narasumber saja tetapi LPM Jumpa tetap memberitakan Pemira FH hingga tuntas.

Kami tidak Dianggap Pers oleh Aparat

Rizaldi Nugraha, Ketua Umum LPM Jumpa tahun 2020/2021, bercerita pada tahun 2020 salah satu anggota LPM Jumpa Angga Permana Saputra, mengalami tindakan represi yang datang dari aparat ketika aksi menolak Omnimbus Law.

Ia menjelaskan, saat itu Angga ditugasi untuk memantau jalannya aksi dengan siaran langsung melalui Instagram. Ketika itu, Angga tidak sendirian tetapi ditemani oleh Asep yang juga anggota LPM Jumpa. Namun, tiba-tiba sekitar jam tiga atau setengah empat siaran langsung tersebut mati. Ponsel Angga tak bisa dihubungi.

Pengurus LPM Jumpa yang memantau jalannya siraran langsung tadinya menganggap baterai gawai milik Angga mati. Rizaldi kemudian berusaha menghubungi Asep untuk menanyakan keberadaan Angga. Asep mengaku justru sedang mencari Angga karena terpisah. Menurut kesaksian Asep, sekitar pukul setengah lima massa aksi sudah tidak kondusif, saling memprovokasi dan lempar batu.

Rizaldi curiga Angga ditangkap aparat. Kecurigaannya semakin kuat ketika Asep pulang ke sekretariat hanya sendirian. Mereka menunggu Angga hingga pukul tujuh malam, Angga tak kunjung kembali. Padahal situasi di lapangan unjuk rasa sudah mulai mereda.

Rizaldi segera meminta bantuan Hendra yang cukup aktif di LBH. Namun keberadaan Angga tetap tidak jelas. Mereka terus menghimpun informasi mengenai siapa dan berapa orang yang tertangkap dari Unpas. Pada akhirnya, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis membuat daftar orang yang belum kembali ke kampus di Plaza Unpas dan ditulis di papan tulis, kemudian Rizaldi memasukkan nama Angga.

Mulai saat itu, pengurus menginisiasi mencari di media sosial dengan menyebarkan identitas serta foto Angga di Twitter dan Instagram. Ternyata setelah beres menyebarkan informasi, bukan cuman Angga yang hilang tetapi mahasiswa lain juga. Setelah itu, Rizaldi juga menghubungi pihak LBH yaitu Fariz yang saat itu bertugas mengawasi aksi. Rizaldi lantas mendapatkan daftar orang-orang yang tertangkap di demo Omnimbus Law.

“Aku sempat saking pengen konfirmasi Angga ketangkap atau enggak, sekitar pukul sembilan iseng nyari ke Polres. Di sana ada salah satu anggota keluarga yang bertanya ‘anak saya mana?’ di pos tetapi polisinya bilang besok pagi saja. Setelah itu, pulang ke sekre dan menunggu,” ujar Rizaldi ketika diwawancarai Rabu, 19 Juli 2023 di Sekretariat LPM Jumpa kampus II Unpas, Jalan Tamansari, Kota Bandung.

Suasana pengurus saat itu panik dan takut jika benar terjadi adanya represi yang mengancam fisik. Esok paginya Rizaldi ditemani beberapa anggota Jumpa datang ke Polres dan melihat Angga dengan mengenakan PDH Jumpa di antara orang-orang yang sedang berbaris di lapangan.

Angga dibebaskan ketika sudah mengikuti prosedur polisi dan yang menjadi walinya saat itu adalah kakak perempuannya. Menurut keterangan kakaknya, syarat untuk dibebaskan adalah menandatangani surat berisi perusakan fasilitas publik.

Teteh-nya kasian ngeliatnya Angga-nya mau bebas. Akhirnya, bebas setelah tanda tangan dan gak ada catatan kriminal. Padahal di situ kita datang bawa surat bahwa Angga anggota pers, tapi gak dihiraukan. Padahal Angga bukan massa aksi, tapi gak diterima. Kalau mau bebas harus tanda tangan ini, keukeuh,” jelas Rizaldi.

Setelah kejadian itu, LPM Jumpa membuat pernyataan sikap untuk mengkonfirmasi dan menjelaskan kronologi bagaimana Angga ditangkap. Lalu, meminta pertanggungjawaban terkait kondisi Angga saat sudah berada di kampus karena saat itu terdapat luka-luka. Menurut keterangan Angga yang diceritakan kepada Rizaldi, saat itu keadaan sedikit kacau di Gedung Sate dan DPRD, saat hendak mengambil angle yang lebih bagus, Angga ditepuk pundaknya dan direbut gawainya.

“Angga gawainya udah diambil dan di tangkap, lalu dimasukkan ke Gedung Sate. Di sana ada massa aksi dari pukul empat menjelang pukul lima, lalu dibawa pakai truk ke Polres. Saat menolak direbut gawainya, Angga mendapatkan bogem ke perutnya sekali,” jelasnya.

Rizaldi terheran-heran karena pada saat itu Angga sudah memakai identitas berupa kartu pers, surat tugas liputan, surat menyatakan dia anggota pers Jumpa, serta memakai PDH yang jelas ada nama persnya. Namun tetap saja tertangkap dan dianggap menjadi massa aksi, bukan sebagai pers.

Data jenis kekerasan terhadap pers mahasiswa di Bandung Raya dalam 10 tahun terakhir, terbanyak berupa kekerasan verbal. (Desain: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Data jenis kekerasan terhadap pers mahasiswa di Bandung Raya dalam 10 tahun terakhir, terbanyak berupa kekerasan verbal. (Desain: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Jenis Represi, Para Pelaku, dan Wilayah serta Tahun Kejadian

Kasus-kasus represi yang dialami LPM Jumpa terjadi juga di banyak persma di Indonesia. Merujuk riset yang dilakukan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Nasional, dikutip dari artikel berjudul“Nasib Pers Kampus: Dibekukan, Dipersekusi, Sengketa Pengadilan” di website Tirto.id, tercatat sebanyak 185 kasus kekerasan terhadap persma dalam kurun 2020-2021. Bentuknya beragam, mulai dari teguran, pencabutan berita, makian, ancaman, paksaan minta maaf atas pemberitaan, penurunan dana, tuduhan tanpa bukti, penerbitan surat peringatan, teror, ancaman, dipukul preman di luar kampus, hingga pelarangan aktivitas jam malam.

Di kawasan Bandung Raya, situasinya tidak jauh berbeda. Berdasarkan hasil survei bersama yang dilakukan BandungBergerak.id dan beberapa persma, tercatat sebanyak 37 kasus kekerasan terhadap persma yang menimpa 28 lembaga pers mahasiswa. Ada 12 jenis represi, termasuk di dalamnya ancaman verbal atau fisik, pencabutan berita, pembredelan, serta penuntutan hukum.

Sedangkan dari persebaran kasusnya sendiri, terjadi merentang dari Bandung Raya, Cimahi, dan Kabupaten Sumedang. Data yang menghimpun juga menunjukkan sembilan pelaku yang memberi upaya tindakan represi di antaranya pejabat kampus, aparat (TNI, Polisi, dsb), mahasiswa, organisasi mahasiswa, staf kampus, organisasi masyarakat, pengacara pelaku, organisasi mahasiswa ekstra, dan senior anggota pers.

Kampus Siap Melindungi LPM Jumpa dari Tindakan Represi

Staf Kemahasiswaan Unpas Hafidz Fatahurahman Pramadya mengungkapkan, Biro Kemahasiswaan Unpas mewadahi seluruh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan organisasi yang memiliki permasalahan internal maupun eksternal. Biro kemahasiswaan mempunyai kapasitas melindungi dan menjaga anak-anak UKM dari ancaman, gangguan, hingga kekerasan akan mereka selesaikan.

Hafidz menjelaskan, mahasiswa-mahasiswa dari UKM akan menghubunginya ketika menghadapi masalah, seperti pada kasus LPM Jumpa dan mahasiswa FT. Dalam kasus ini, pihak biro kemahasiswaan melakukan pendekatan, lalu memberikan bantuan masalah, dan asesmen untuk mengetahui bagaimana terjadinya permasalahan serta sudah sejauh mana masalah terjadi. Selanjutnya kampus akan menyelesaikan dengan solusi yang telah disepakati bersama. 

By case by experience seperti LPM dengan teknik, pertama ketika kita mendapat laporan represi dari teknik dan diancam, ketuanya kita datangi, hubungi, dan asesmen lewat 5W 1H, lalu kita ambil solusinya lewat pertanyaan ‘apa’. Kita bantu kalau solusi itu tidak tepat dengan mencarikan opsi lain untuk menyelesaikan masalah. Jika dirasa itu solusi terbaik dan LPM tidak bisa menyelesaikannya, kita bantu sampai ke tahap negosiasi. Kemarin negosiasi di kafe, kita di sana jadi penengah dan bukan jadi pembela dari LPM karena kita mencari kebenaran. Kalau LPM salah, kita beri pembinaan sampai masalah itu selesai,” kata Hafidz Senin, 24 Juli 2023 di Biro Kemahasiswaan Unpas.

Ia juga menjelaskan, apabila pihak birokrat yang melakukan represi, maka pihak biro kemahasiswaan akan konfirmasi terlebih dahulu, tidak akan sampai ada intervensi. Saat kasus yang dialami oleh LPM dengan teknik, ia tidak meminta pencabutan dan penarikan berita.

“Bagaimana penyelesaiannya kembali lagi ke LPM. Memang LPM mengakui kesalahan dan alhasil beritanya dicabut untuk penyelesaian masalahnya. Terus selanjutnya, ada masalah yang Kongres Luar Biasa, kita komunikasi dahulu ‘beritanya gimana?’, karena jadi gaduh dan menanyakan bagaimana penyelesaiannya. Akhirnya ada kesalahan redaksi dan diganti. Kami sekadar menjadi pendamping untuk menyelesaikan masalah, bukan intervensi atau upaya untuk sebelah pihak,” jelasnya.

Ia juga menganggap bahwa LPM Jumpa merupakan kegiatan mahasiswa yang luar biasa. Menurutnya,  persma diharapkan sebagai kontrol sosial dan menjadi agen perubahan terhadap dunia dengan memberitakan hal yang positif bahkan negatif. Ia berharap, LPM Jumpa tetap berada di jalannya saat ini dan terus mengembangkan hal tersebut ke arah yang lebih baik.

“Tidak hanya berita baik saja, karena menurut perjunalistikan berita terbaik adalah berita yang buruk,” pungkas Hafidz.

Data jumlah kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa di Bandung Raya dalam 10 tahun terakhir, terbanyak di tahun 2022. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Data jumlah kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa di Bandung Raya dalam 10 tahun terakhir, terbanyak di tahun 2022. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Baca Juga: PERSMA MASIH RENTAN: Patah Tumbuh, Hilang Berganti
PERSMA MASIH RENTAN: Represi Berdalih Nama Baik Kampus
PERSMA MASIH RENTAN: Beragam Represi di Balik Berita

Melakukan Mitigasi Risiko, Mengetahui Advokasi Saat Terkena Tindakan Represi

Ahmad Fauzan Sazli, Koordinator Divisi Advokasi Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, menuturkan langkah yang akan diambil oleh AJI ketika melakukan pendampingan terhadap Persma yang sudah menceritakan permasalahannya adalah mendorong upaya-upaya mekanisme sesuai dengan UU Pers jika tindak kekerasan belum terjadi. Misalnya, memberitahu mengenai bagaimana memberi kesempatan hak jawab kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Namun, jika sudah ada layangan komentar mengenai berita harus diturunkan, hal tersebut sudah menjadi ancaman tidak langsung. Maka dari itu, pihak advokasi AJI akan memberikan pernyataan kepada media bahwa ada upaya ancaman yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dan dianggap sudah mengancam kerja jurnalistik. Namun, apabila ancamannya sudah meluas dari pihak advokasi, AJI akan melaporkannya ke polisi dan mendukung kawan-kawan Persma melaporkannya karena hal tersebut sudah masuk tindak kekerasan.

“Kami berusaha untuk mencegah dan memberikan edukasi juga, karena memang tidak semua orang tahu mekanisme itu termasuk polisi, tentang mekanisme hak jawab yang diberikan bila terjadi kasus sengketa pers. Sehingga, statement ini berdampak ‘apa sih sebetulnya?’ Orang itu menjadi tahu bahwa apa yang dilakukan itu salah dan bisa mencegah terjadinya ancaman yang berlanjut ke lapangan,” ujar Fauzan saat Jumat, 21 Juli 2023 di Sekretariat AJI Bandung.

Fauzan juga mengungkapkan, kampus juga seharusnya melindungi dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk kritis terhadap kampusnya, karena setiap orang bebas menyampaikan sebuah kritik dan masukan mengenai keadaan kampus. Kritik tersebut sebenarnya bagus, tetapi sayangnya pihak kampus biasanya tidak menerima hal itu.

Ia juga menegaskan, ancaman yang datang dari pihak kampus terhadap Persma merupakan sebuah bentuk keangkuhan akademik yang tidak lagi menganggap dan menjunjung tinggi kebebasan akademik serta intelektual. Ia melihat Persma bukan hanya sekadar pers, tetapi sebagai media kampus yang di dalamnya terdapat intelektualitas dan alternatif bacaan di tengah media yang saat ini lebih mengejar kecepatan berita, trending, dan sebagainya.

“Saya pikir ketika pihak kampus membungkam teman-teman yang kritis, muncul ketakutan mahasiswa takut dipecat dan sebagainya sehingga mahasiswa takut kritis dan akhirnya apatis. Lalu, malas melakukan penelitian dan segala macem, itu berbahaya bagi masa depan negara ini dan masa depan demokrasi. Mereka itu adalah orang-orang yang tidak memahami demokrasi dan tidak mendukung demokrasi. Dengan melakukan tindakan mengancam, merupakan intelektual yang tidak paham dunia akademik itu sendiri,” ujar Fauzan.

Fauzan juga mengatakan bahwa kesulitannya ketika melakukan advokasi bersama Persma adalah terkadang informasi ancaman terhadap mahasiswa itu tidak sampai ke AJI, jadi disimpan sendiri atau di kampusnya saja. Selama ini, ketika AJI membantu advokasi, melihat Persma merupakan sebuah kegiatan jurnalistik. Selama mereka melakukan kegiatan jurnalistik dengan benar, maka AJI melihat bahwa upaya-upaya yang mereka lakukan adalah upaya jurnalistik.

Direktur LBH Lasma Natalia mengungkapkan bahwa LBH terbuka untuk konsultasi kasus yang dialami oleh Persma. Namun, untuk mendampingi kasusnya ada proses penyeleksian karena mereka perlu melihat apakah itu kepentingan pribadi atau kepentingan jurnalis.

Ia juga menambahkan, untuk syarat dan ketentuan advokasi harus memiliki bukti dan saksi. Kronologi kasus juga akan dibedah bersama-sama dan dari sana dapat dilihat apakah permasalahan tersebut struktural atau tidak. Jika tidak struktural, LBH tak akan mendampingi.

“Misalnya nih konfliknya uang antar pengurus, kita tidak akan dampingi. Kalau misalnya kalian mendapatkan serangan dari polisi karena mengunggah sesuatu, kita bisa mendampingi dan dibicarakan pendampingan advokasinya bagaimana,” jelas Lasma ketika diwawancarai Jumat, 21 Juli 2023 di Sekretariat LBH Bandung.

Lasma juga menegaskan bahwa LBH dapat mendampingi Persma jika berani untuk maju ke dalam hukum, karena sering kali ia mendapati orangnya tidak berani sampai kasus berakhir. Jika sudah berani untuk maju meskipun itu ada celah, tidak masalah, tetapi memang perlu dihitung celah tersebut.

“Jadi ya harusnya dicek lagi faktanya, kita ga boleh nutupin kesalahan. Entah itu ada human error atau kesalahan prosedur itu tidak apa-apa, tapi bagaimana mekanisme ke depannya,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan, Persma dapat membuat advokasi untuk LPM-nya sendiri guna menghindari tindakan represi seperti membuat dokumentasi atau catatan kasus sendiri. Lalu membuat SOP yang mirip dengan media profesional, minimal untuk proses pemberitaan dan mengetahui pengetahuan dasar saat berhadapan dengan hukum.

Advokasi juga dapat dilakukan dengan mendorong pihak kampus untuk membuat peraturan khusus perlindungan Persma seperti Peraturan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Lasma juga menjelaskan, dapat mengajak kampus yang memihak Persma untuk membuat kebijakan surat edaran mengenai perlindungan Persma.

Koalisi antara Persma juga dapat dibentuk untuk mendorong peraturan tersebut, tetapi tujuannya harus jelas apakah membuat kebijakan perlindungan LPM atau melakukan pencatatan terlebih dahulu, dengan mendokumentasikan kasus-kasus yang terjadi dan mengkampanyekannya. Ia juga mengungkapkan, harus mengetahui terlebih dahulu kebutuhan Persma itu apa lalu dipetakan, setelah melakukan itu, dapat mengajak jurnalis AJI dan LBH untuk membantu.

“Kalau gak sampai aturan, minimal paper position atau kasus-kasus Persma dimunculkan kembali. Kalau gak paham bikin paper position, bisa bikin bareng LBH dan AJI,” pungkas Lasma.

*Artikel ini pertama kali tayang di jumpaonline.com tanggal 3 November 2023 dengan editor Tri Joko Her Riadi/Bandungbergerak.id dan R.Sabila Faza Riana/Jumpa, penulis Sifa Aini Alfiyyah

 *Liputan ini merupakan kolaborasi bersama BandungBergerak.id, LPM Jumpa Universitas Pasundan Bandung, LPM Suaka Universitas Islam Negeri Bandung, BPPM Pasoendan Universitas Pasundan Bandung, LPM Aksara Universitas Telkom Bandung, LPM dJatinangor Universitas Padjadjaran, dan LPM sEntra Universitas Widyatama berkat dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara melalui Project #PersmaMasihRentan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//