• Opini
  • Perilaku Kuno Pelaku Gender Bullying

Perilaku Kuno Pelaku Gender Bullying

Bullying pada dasarnya telah dimulai sejak ratusan ribu tahun lalu ketika manusia purba Neandhertal digantikan oleh Homo Sapiens yang jauh lebih kuat dan berkembang.

Febrian

Alumni S-2 Ilmu Linguistik Universitas Sebelas Maret, aktif secara mandiri menulis tentang gender dan bias-bias gender

Penampilan pantomim dari Suharmoko dan Andini Mardiani yang menggambarkan perundungan yang kerap terjadi di lingkungan sekolah. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

20 November 2023


BandungBergerak.idTesi… tesi… tesi…. lima polo banci… Ejekan itu masih sangat jelas terngiang di kupingku hingga saat ini. Aku masih ingat, ketika kata-kata itu selalu dilontarkan padaku saat usiaku masih sangat belia. Sikap yang dianggap menyimpang dari norma-umum yang berlaku di tengah masyarakat, tentunya membuatku mendapat julukan yang menurutku sangat kuno dan bodoh untuk dituturkan kembali saat ini.

Bullying sendiri secara makna berarti sikap merundung yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Tujuannya untuk mengintimidasi seseorang yang lebih lemah dari segi fisik, emosional, psikologis dan juga sosial. Lantas apa yang dimaksud dengan istilah gender bullying?

Gender bullying pada dasarnya merupakan salah satu bentuk perilaku bullying yang dituturkan secara verbal. Kata ini sebenarnya merujuk pada perundungan korban mengenai sikap mereka yang terbalik 180 derajat dari gender asli mereka. Jika dulu, saya diejek dengan istilah banci, tesi, dan bahkan bencong. Mungkin sekarang julukan-julukan itu bertransformasi menjadi istilah pria tulang lunak seiring perkembangan zaman.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, sejatinya diksi ini dipakai pada istilah transgender atau panggilan terhadap pria yang memiliki karakter seperti wanita. Namun, ilmu pragmatik menegaskan bahwa kata itu bisa diartikan cemoohan atau makian seiring perubahan artikulasi nada yang mewakilinya.

Sejatinya, fenomena ini dialami oleh beberapa orang yang dianggap tak gentlemen. Bahkan, karena masalah pergaulan dengan teman perempuan. Ejekan-ejekan ini ditujukan tanpa dasar kepada mereka dan tentu saja padaku tanpa basa-basi. Tidak hanya itu, orang dengan selera fashion dan penampilan yang rare sejatinya mendapat perlakuan yang sama. Saya dipanggil julukan itu dengan nada makian dan hinaan yang efeknya berpengaruh terhadap kondisi psikis dan mental yang aku rasakan hingga saat ini.

Di media sosial, diksi ini sering sekali dilontarkan apabila perilaku yang kita tampilkan tidak sesuai norma-umum-lurus mereka. Bahkan dalam konten edukasi sekalipun, ketika orang-orang seperti kami menjadi tokoh utama dalam konten tersebut. Gelagat dan bahasa tubuh yang kami representasikan menjadi incaran empuk para pelaku bullying. Candaan dan lelucon murahan dilontarkan secara gamblang dalam bentuk komentar pedas dan kritik kejam.

Jika saya katakan bullying gender adalah perilaku primitif, bisakah hal itu membuat seorang perundung berhenti untuk mengolok-olok pria feminin?

Baca Juga: Mengatasi Perundungan Siber dengan Pendekatan Statistika
Tiga Kolaborator Melawan Perundungan
Kasus Perundungan di Bandung Menunjukkan Wajah Buruk Pendidikan

Sejarah Bullying

Mari kita menilik sejarah bullying itu sendiri. Bullying pada dasarnya telah dimulai sejak ratusan ribu tahun lalu ketika manusia purba Neandhertal digantikan oleh manusia Homo Sapiens yang jauh lebih kuat dan berkembang. Pada saat itu, sejarah merekam perilaku bullying yang merupakan tindakan eksploitasi terhadap yang lemah oleh yang kuat dengan tujuan tertentu. Hal tersebut juga didukung oleh konsep tentang bullying yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1973 oleh Olweus, bahwa bullying adalah perilaku agresif negatif terhadap individu lain yang dilakukan secara berulang kali dan tidak ada keseimbangan dalam kekuatan dan kekuasaan pelaku. Maka saya katakan perilaku tersebut merupakan tindakan yang sangat primitif.

Pada dasarnya seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, perilaku ini dilakukan oleh pelaku dengan menampilkan sifat dominasi untuk menutupi kekurangan yang ada pada dirinya. Sehingga bullying akan terjadi untuk menindas seseorang yang memiliki kelebihan, namun kelebihan tersebut tidak dimiliki oleh pelaku. Bisa kita garisbawahi bahwa tujuan dari bullying adalah sifat dominasi dan usaha yang dilakukan oleh pelaku untuk menutupi kekurangannya. Saya simpulkan bahwa tindakan ini adalah tindakan bodoh orang-orang yang berusaha terlihat superior di mata orang lain.

Di Indonesia, dilansir oleh eposdigi terkait fenomena bullying. Pada tahun 2022, KPAI melaporkan sebanyak 226 kasus termasuk juga 18 kasus bullying yang terjadi di dunia maya. Sebagian besar kasus yang dilaporkan berbentuk kekerasan fisik dan mental yang justru terjadi di lingkungan sekolah. Namun, hal tersebut disanggah karena sesungguhnya jumlah kasus yang dilaporkan lebih banyak dari data kasus yang dirilis oleh KPAI. Hal tersebut dikarenakan banyak kasus yang terjadi tapi korban tidak melaporkan hal itu sehingga tidak adanya kesempatan untuk muncul di sebuah media.

Jika data yang ditunjukkan mengenai bullying banyak berbentuk kekerasan fisik dan mental, bagaimana dengan gender bullying itu sendiri? Saya rasa tanpa berbicara data kita bisa melihat fenomena itu secara langsung di tempat umum melalui verbal-verbal yang ditujukan untuk mengutuk korban jika berperilaku tak seperti norma-umum-masyarakat.

Hal tersebut yang selalu saya dapatkan ketika saya masih belia hingga saat ini. Mereka mengutuk tanpa alasan atas perilakuku yang tak bisa mereka terima karena menyalahi aturan dan kodrat umum seorang manusia. Lantas jika meminta keadilan dan menyuarakan diri di depan banyak orang, bisakah saya berteriak dengan lantang bahwa saya juga tidak minta untuk dilahirkan seperti ini. Atau bolehkah saya mengajukan beberapa pertanyaan. Seperti bisakah para pelaku memahami masa lalu yang dihadapi oleh objek bullying mereka? Bisakah para pelaku peka terhadap efek negatif yang diterima oleh objek bullying mereka? Atau bisakah saya merasa aman tanpa rasa khawatir dari bisikan orang-orang yang mengutuk penampilanku yang mereka nilai sangat berbeda? atau mungkin bisakah saya merasa aman di lingkungan umum untuk sekedar menyendiri di tempat terbuka tanpa cemoohan dan ejekan verbal lirih yang tak sengaja kudengar?

Saya rasa jawabannya sudah jelas tidak. Mereka tidak akan pernah memikirkan hal-hal sedetail itu. Mereka merasa bahwa produk gender yang dikonstruksi secara sosial itu harus dipatuhi dengan mutlak. Bahwa sudah sepatutnya seorang pria harus berperilaku layaknya seorang laki-laki yang jantan tanpa ada cacat sedikit pun dan tak bisa menoleransi faktor x yang mempengaruhi perilaku rare dibalik itu.

Lantas di mana letak kunonya?

Tidak perlu saya jelaskan dengan detail, jika kita membaca tulisan ini dari awal. Maka anda akan menemukan sebuah statement bahwa perilaku bullying merupakan tindakan eksploitasi terhadap sesuatu yang lemah oleh yang kuat sejak manusia purba hidup beribu-ribu tahun lalu. Jika zaman dahulu perilaku itu dilakukan oleh pelaku yang lebih kuat dan berkembang. Maka saat ini, pelaku adalah orang lemah yang merasa superior karena tak memiliki kelebihan seperti yang dimiliki oleh si korban. Bisa saya premiskan bahwa perilaku bullying bukan hanya bersifat kuno dan primitif semata tetapi juga menjadi tindakan abusif dan perilaku bodoh orang-orang yang tak mempercayai diri mereka sendiri.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//